Perlukah Anak Tes IQ?

Anna SurtiNina Family & child psychologist di Klinik Terpadu, Fakultas Psikologi UI, Depok (021-78881150) dan Medicare Clinic, Menara Kadin, Kuningan, Jaksel (021-5274556)

Mungkin pernah ada yang bertanya pada Urban Mama Papa, "Berapa sih IQ anak Anda?"

Ketika menyebutkan satu angka, teman Anda mungkin membelalakkan mata kagum atau sebaliknya mengangguk-angguk prihatin. Ups, adakah yang salah dengan angka yang Anda sebutkan?

Apa sih IQ?
IQ sebetulnya singkatan dari intelligence quotient, diterjemahkan sebagai hasil bagi dari inteligensi. Inteligensi berarti ‘keterampilan berpikir dan kemampuan beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari’ (Santrock, 2002). Artinya semakin mampu seseorang menemukan makna dari pengalamannya, juga mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dialaminya sehari-hari, maka dia semakin cerdas.

Kenapa inteligensi diukur dalam quotient alias hasil bagi? Karena pada dasarnya cara pengukurannya sederhana, ini dia rumusnya:

Yang disebut MA adalah Mental Age atau usia mental, yaitu bagaimana kemampuan seseorang – baik anak maupun dewasa – dibandingkan teman-temannya pada usia yang relatif sama. Chronological Age alias CA adalah usianya sebenarnya. Kedua ukuran ini, MA dan CA, dihitung dalam bulan. Contohnya seorang anak berusia 6 tahun 2 bulan (CA = 74 bulan), setelah diperiksa ternyata memiliki kemampuan setara dengan teman-teman yang berusia 6 tahun 9 bulan (MA = 81 bulan). Maka IQnya adalah 81 dibagi 74 dikali 100, menghasilkan angka 109. IQ 90-110 dianggap sebagai IQ yang rata-rata. Semakin tinggi IQ, seseorang dianggap semakin cerdas karena kemampuan mentalnya setara dengan mereka yang usianya jauh di atas usianya.

Dari mana mendapatkan skor MA? Para psikolog mendapatkannya lewat menanyakan rangkaian soal kepada anak, menghitung seberapa banyak soal yang dijawab dengan benar, lalu membandingkannya dengan anak yang usianya setara.

Contoh, anak 7 tahun 1 bulan akan dibandingkan dengan anak berusia 7 tahun 0 bulan sampai 7 tahun 3 bulan, tidak akan dibandingkan dengan anak 6 tahun 11 bulan ataupun 7 tahun 4 bulan. Perbandingan ini telah melewati pengujian terhadap begitu banyak orang sehingga didapatkan skor yang valid (betul-betul mengukur inteligensi) dan reliabel (menghasilkan skor yang setara saat diulang kembali).

Isi IQ
Pemeriksaan inteligensi yang benar tidak hanya menghasilkan 1 skor IQ tunggal, melainkan kumpulan dari berbagai skor. Beberapa di antara skor IQ adalah daya tangkap, daya ingat, kemampuan konsentrasi, kemampuan analisis-sintesis, kemampuan matematika, kemampuan bahasa, dll. Tes IQ yang baik (ini rahasia: sebetulnya para psikolog lebih suka menyebutnya ‘pemeriksaan inteligensi’, bukan tes IQ) juga akan mampu mengukur sikap kerja seperti ketelitian, kecepatan kerja, ataupun sistematika kerja. Sikap kerja yang baik dapat diinterpretasikan berbagai hal, salah satunya kesiapan anak untuk bersekolah.

Pada anak-anak bermasalah, selain mendapatkan skor IQ, psikolog juga mendapatkan berbagai data lain, misalnya jenis gangguan yang mungkin dialami anak, mulai dari gangguan perkembangan sampai gangguan kepribadian. Data-data tersebut kemudian jadi bala bantuan dalam menegakkan diagnosis.

Karena banyaknya kumpulan skor, maka bisa saja dua anak yang memiliki skor IQ total yang sama, misalnya sama-sama ber-IQ 110 tapi ternyata memiliki kemampuan yang berbeda, karena skor-skor di dalamnya berbeda. Oleh karena itu sebetulnya memprediksi prestasi anak hanya dari satu skor IQ saja sangat mungkin menghasilkan prediksi yang kurang tepat.

Perlu tes IQ?
Mengingat begitu banyak manfaat tes IQ, perlukah semua anak melakukannya? Jawabannya: TIDAK. Ya, Anda tak salah membaca. Saya serius lho, tak semua anak harus melakukan tes IQ.

Pemeriksaan inteligensi lengkap hanya perlu dilakukan jika ada kecurigaan tentang gangguan psikologis. Salah satu contoh apabila anak selalu lambat menangkap, perkembangannya selalu terlambat dibandingkan teman seusianya, ia mungkin mengalami tuna grahita, dan harus dibuktikan lewat pemeriksaan inteligensi.

Jika anak baik-baik saja, maka sebetulnya ia dapat distimulasi dengan berbagai cara yang disarankan oleh para psikolog. Alasan lain yang terkadang membuat tes IQ perlu dilakukan adalah permintaan dari pihak sekolah. Beberapa sekolah membutuhkan pemeriksaan inteligensi untuk melakukan seleksi atau penempatan murid, atau untuk memahami kondisi murid sehingga penanganan sekolah lebih tepat. Sedikit komentar, sebetulnya sekolah tidak boleh lho menolak seorang anak hanya karena IQ-nya dianggap rendah (apalagi kalau yang dinilai hanya skor total IQ), kecuali memang ada gangguan lain yang memang tak dapat ditangani oleh sekolah tersebut. Kalau orangtua hanya ingin tahu saja? Tidak perlu lakukan tes IQ.

Sedikit bocoran, pemeriksaan psikologi bukan hanya tes inteligensi. Ada yang dinamakan ‘tes kepribadian’, untuk memahami dinamika kepribadian seseorang, atau masalah emosional yang mungkin muncul. Kepada anak terkadang diberikan jenis ‘tes psikomotor’, untuk memahami koordinasi visual-aural-motorik anak. Ada pula jenis lain yang disebut ‘tes minat/bakat’, biasanya dilakukan oleh para psikolog pendidikan untuk mengenali dan mengarahkan minat/bakat remaja. Untuk seluruh jenis tes psikologi, ada begitu banyak variasi tesnya. Agak sulit untuk ditebak apakah psikolog yang satu akan menggunakan variasi tes yang sama atau tidak dengan psikolog lain. Jika ditanya lagi apakah semua orang membutuhkan segala jenis pemeriksaan psikologi ini? Kembali, jawabannya adalah: TIDAK.

Apa yang harus disiapkan?
Jika ternyata anak diminta melakukan pemeriksaan inteligensi, apa yang harus disiapkan? Persiapan yang perlu dilakukan hanya: anak sehat. Usahakan anak sudah istirahat cukup dan makan cukup. Jika anak sedang sakit atau kurang fit, lebih baik orangtua menjadwalkan ulang pemeriksaan inteligensi karena hasilnya mungkin kurang optimal.

Pada anak yang usianya di bawah 9 tahun, lebih baik pemeriksaan inteligensi dilakukan secara individual, artinya satu anak diperiksa oleh satu psikolog. Jika pemeriksaannya massal, satu psikolog menghadapi sekaligus banyak anak, maka dikhawatirkan konsentrasi anak mudah teralih, dan tentunya dapat berpengaruh negatif pada hasilnya.

Data yang harus diberikan oleh orangtua adalah tanggal lahir yang benar, untuk menentukan CA/chronological age. Beberapa psikolog juga meminta data tentang perkembangan anak, misalnya usia mulai bicara atau berjalan.

Tidak perlu ada latihan apapun kok. Jauh lebih baik kalau anak santai dan tak punya prasangka apapun terhadap pemeriksaan, karena hasilnya akan jauh lebih murni (sehingga saran yang diberikan pun lebih sesuai dengan kondisi sebenarnya). Tak perlu lho orangtua sibuk mencarikan buku tes IQ dan melatih anak dengan soal-soal di dalamnya. Selain bisa berpengaruh terhadap hasil (terkadang pengaruhnya negatif, karena anak cenderung lebih cemas), belum tentu apa yang dilatihkan memang sesuai dengan jenis tes yang diberikan, mengingat begitu banyaknya variasi tes psikologi.

Nah, cukup paham kan tentang tes IQ? Marilah kita bijak dalam menggunakannya!

9 Comments

  1. avatar
    Intan Rastini March 19, 2018 9:26 am

    Dulu saya tes IQ di TK, SMP dan SMA. Tetapi anak saya yang baru PAUD belum pernah sama sekali tes IQ

    1. avatar

      As .



  2. avatar
    elisa agustina August 7, 2017 11:00 am

    Iya setujuh keren klo semuanya dapat diukur dengan proposional

    1. avatar

      As .



  3. avatar
    Desy Aprilia October 9, 2014 4:08 pm

    artikelnya menarik,tapi sedikit share,kenapa yaa anak aku usia 6,7th kelas 1 SD,bila mengerjakan tugas di sekolah selalu salah,tapi pas soal tersebut aku ulang dirumah dan aku suruh kerjakan dia pasti bisa kerjakan tanpa aku bantu,kami tinggal jauh dikabupaten yang tidak ada dokter buat ngukur IQ anak,dan sedikit bocoran anak aku mengalami speech delay,tapi alhamdulillah sekarang dah mulai ngomong walaupun masih terbalik-balik apabila dia bicara...apakah di antara para mama n papa ada yang memiliki anak mirip anak aku??tolong share dunk pendapat n nasehat kalian...trims

    1. avatar

      As .



  4. avatar
    mimicao March 5, 2014 3:06 pm

    cukup melegakan membaca artikel ini,karena anak saya 2 kali di test psikologi hasilnya jelek semua, karena tidak bisa menyusun puzzle,balok, tidak bisa menjawab pertanyaan: kalau anak kecil laki2 besarnya jadi ayah, anak kecil perempuan besarnya menjadi (jwban yg benar pastinya ibu pdhl blm tentu), bicaranya kurang jelas,ditanya tidak maksud dan cepat bosan. pdhl dirumah dia baik2 saja, bisa menyusun mainannya secara rapi dan ada maknanya urutannya, keinginantahuannya tinggi,kalau nanya tidak berhenti2, kalau sudah menyukai sesuatu akan fokus betah berlama2 ngutak atik kesukaannya.tapi mnrt standar test yg digunakan psikolog hasilnya tidak demikian. saya tetap yakin anak saya "normal" dan baik2 saja dengan caranya,meskipun demikian saya terima baik masukan dari psikolog.

    1. avatar

      As .



  5. avatar
    nikenpramusinta September 11, 2013 3:39 pm

    mengerti sekarang

    1. avatar

      As .