In Her Shoes

Jihan Davincka Simply a mom of 2, Nabil and Narda. 100% Buginese. Since 2009, living abroad along with her husband. Having many tremendous experiences from Tehran (Iran), Jeddah (Saudi Arabia) and now in Athlone (Ireland).

Sebuah pepatah kuno mengatakan, "Ada sembilan perasaan dan satu akal pada perempuan."

Karena itulah katanya konon, perempuan itu makhluk lemah, mudah dibohongi, kalau berdiskusi  gampang meledak, nonton film sedih mudah galau dan menangis, hidupnya pun penuh drama.

[caption id="attachment_98470" align="aligncenter" width="496" caption="Gambar : www.paradise4women.com"][/caption]

Waktu masih gadis kalau melihat adegan orang melahirkan di televisi, saya terpikir, "Berlebihan sekali sampai itu urat keluar semua. Sesakit apa sih?"

Tidak lama kemudian, seorang teman mengirim sebuah artikel tentang proses fisiologis dan biologis dalam tubuh saat melahirkan. Sehabis membaca, rasanya mau pingsan. Kata artikelnya, rasa sakit yang ditanggung seorang perempuan saat melahirkan bisa sampai ribuan kali lipat daripada rasa sakit normal yang sanggup ditanggung manusia secara umum. Saya yang penakut ini apa sanggup melahirkan?

Ternyata, baru sebulan setelah menikah saja sudah lupa semuanya dan sibuk berdoa minta diberi kesempatan untuk hamil. And the rest is history. I'm a mom of 2 now.

Benar tidak isi artikelnya? Tidak pakai pikir panjang, BENAR SEKALI! Walau berjuang susah payah mempraktikkan hypnobirthing dan terlihat tenang sampai-sampai sempat membuat suster panik, masa-masa kontraksi memang benar-benar 'penuh perjuangan'. Saya rasa, sama saja kalau dengan yang melahirkan lewat proses operasi. Membayangkan perut dirobek terus dijahit lagi juga membuat bergidik.

Setelah melahirkan apa duduk manis dan tidur-tiduran? Tentu saja langsung dilanjutkan dengan drama ASI. Yang ibu kantoran kekhawatirannya bertambah karena harus mempersiapkan perasan ASI di kulkas. Sampai kurang tidur karena mengejar target. Subuh-subuh terbangun untuk memompa.

Selesai ASI, perjuangan masih panjang. Jam kantornya tidak ada. Siaga penuh sepanjang hari. Apalagi kalau anak sakit. Rasanya dada, pikiran serta sekujur tubuh ikut berdentum-dentum. Saat anak sakit, sanggup begadang sampai beberapa malam juga mendadak kuat. Padahal dari pagi sampai siang banyak juga rutinitas lain yang tidak mungkin ditinggalkan. Logikanya, kalau memakai akal saja, bagaimana cara seorang perempuan yang sudah mejadi seorang ibu bisa melewati semua itu?

Baru-baru ini beredar sebuah video. Kalimat pembukanya: "We created a fake job."

Berikutnya dalam video terlihat beberapa orang mulai melamar. Deskripsi pekerjaannya sungguh berat. Pekerjaan menuntut untuk lebih banyak berdiri, bukan duduk di kursi. Siap sedia selama 24 jam sehari. Para pelamar mulai bingung, ragu, dan skeptis. Pekerjaan apa ini? Mereka pun bertanya soal gaji. Sang pewawancara mengatakan, "The position gonna pay absolutely nothing."

Hah? Pekerjaan seperti itu dengan penghasilan 0 rupiah. Siapa yang mau? Hanya yang tidak punya akal mungkin akan tertarik.

This world's toughest job requires us to stand by for 24 hours per day (mostly standing), to have an excellent skill in finance-communication-interpersonal-negotiation etc, and to be able to get nothing in nominal. As it's said before, the position gonna pay absolutely nothing.

According to that video, becoming a mom is the world's toughest job.

Karena begitulah Sang Pencipta Yang Mahatahu dan Mahasempurna menciptakan sosok perempuan. Cikal-bakal para ibu mungkin terlihat rapuh, cengeng, labil. Ya maklumlah perasaannya sering berperan lebih besar. Karena kalau perempuan diciptakan seperti laki-laki yang katanya mudah berpikir logis dan dominan akalnya, apakah ada yang mau bertarung di kamar bersalin knowing the fact that she's going to bet her life for doing that?

Setelah melahirkan, 'pekerjaan' masih terus berlanjut tanpa deskripsi kerja yang jelas dan menyita sebagian besar waktu tanpa ada jaminan penghasilan tertentu. Kalau hanya akal dan logika yang digunakan, akan banyak perempuan yang menolak untuk menjadi ibu.

'Sembilan perasaan dan satu akal' ini pula yang seharusnya perempuan gunakan untuk memahami banyak polemik di dunia perempuan, yang seringnya tak mudah ditakar dengan memakai nalar saja. Misalnya, mengapa ada perempuan yang sampai mau melacurkan diri untuk menghidupi anak-anaknya? Adalah sangat lugu kalau ada yang berani bilang, "Ya itu karena dia malas saja. Maunya kerja enak-enak terus dapat uang?"

Kerja enak-enak? Jujur saja, kalau sekadar melayani suami sendiri saja kadang butuh 'perjuangan' berat, maka mengapa sampai bisa berpikir ada perempuan yang bercita-cita untuk menghabiskan malam-malamnya berbagi ranjang dengan pria-pria yang mungkin tahu namanya saja tidak. Bayarannya pun kadang cuma sekadarnya. Karena kadang, keputusan seberat ini diambil bukan pakai akal saja. Perasaan ibu mana yang bisa tahan kalau anak-anaknya hidup susah butuh makan, butuh ini-itu.

Manusia tidak diciptakan dengan kondisi kekuatan batin yang sama merata. Tak sedikit yang diterpa kesulitan ekonomi, demi anak-anak akhirnya menyingkirkan akal sehat dan memutuskan untuk berlari di lintasan yang tidak mudah.

Bijaksanalah. Kalau tak sanggup memberi solusi setidaknya jangan menyakiti dan menyindir macam-macam. Kita sama-sama perempuan. Put ourself in their shoes. Masing-masing dari kita dibentuk dari jalan hidup berbeda-beda dengan situasi-kondisi yang tidak sama. Kata orang bijak, "Knowledge knows what to say, but wisdom defines when to say it."

Mari kita fokus kepada peran pemerintah. Bagaimana mencegah kaum perempuan terjerumus kepada hal-hal tersebut. Setidaknya bisa kita kurangi mereka yang terpaksa membenamkan diri pada jalan hidup seperti ini. Itulah tugas berat pemerintah untuk menjamin kesejahteraan mereka yang kurang berpunya khususnya anak-anak yatim dan terlantar yang ditinggal oleh pemberi nafkah di keluarganya. Tak sedikit ayat dalam kitab suci agama saya yang memerintahkan kita untuk mengasihani anak yatim. Beban si ibu seharusnya tidak dipikulnya sendiri. Seperti yang ditulis oleh John Steinbeck dalam East of Eden Hazard, “Perhaps it takes courage to raise children.”

Despite all the drama, sifat moody, susah dimengerti, dengan "9 perasaan dan 1 akal" yang katanya ada pada perempuan, masih merasa kaum perempuan adalah makhluk yang lemah? 

Masihkah?

13 Comments

  1. avatar
    Retno Aini July 16, 2014 9:20 am

    Thanks yaa tulisannya Jihan. Terbukti bgt, keseharian jadi ibu-ibu terasa lebih damai-tentram kalau bisa berempati ke sesama wanita. Judging ppl makes us unhappy :P

    1. avatar

      As .



  2. avatar
    meilina July 14, 2014 2:53 pm

    maacih ya artikelnya, jd mewek inget mama ku yg udah pergi, very tough woman n also my great role model for being a mom...ya, every mother have their own strength n faith to raise her children

    1. avatar

      As .



  3. avatar
    Ani July 14, 2014 9:48 am

    menyentuh sekali tulisannya mba..sampe menahan tangis karena di kantor :D semoga saya termasuk salah satu wanita yang mampu menjaga mulut untuk tidak berkomentar apapun yang terlintas di pikiran saya. Pernah spontan berghibah ttg wanita yang mencari nafkah dengan cara yg salah.

    1. avatar

      As .



  4. avatar
    Eka Gobel July 12, 2014 12:19 am

    Tulisannya bagus banget, ji.
    Setuju, udah ga ngetrend saling sindir & menyalahkan. Sesama wanita, apalagi ibu2, seharusnya bahu membahu dan saling menguatkan.

    1. avatar

      As .



  5. avatar
    meta.serenity July 11, 2014 8:58 pm

    Seandainya saja pemerintah kita bisa melihat itu semua...
    bisa mengurangi bayi dan anak2 yg tiap pagi dan sore di bawa buat cari duit jadi joki 3in1.
    Bisa mengurangi pengemis yg membawa bayi dan anak2.
    Bisa mengurangi sodomi dan pemerkosa anak2
    Memmenciptakan pekerjaan sehingga mereka tdk mejadi pemalas

    1. avatar

      As .