After-School Program dan Membangun Karakter

Hari Minggu yang lalu keponakan saya yang baru saja bergabung di klub renang bercerita tentang pertandingan pertamanya. Abang, begitu saya biasa memanggilnya, menyampaikan bahwa ia belum berhasil juara dan dia ada di ranking 6 dari 14 peserta.

“Tapi ngga apa-apa, ini kan baru pertama kalinya aku ikut lomba,” ujarnya. “Nanti kalau semakin rajin latihan lagi aku bisa lebih baik...” Tentu saya bangga mendengarnya. Bagi saya yang menarik dari partisipasi anak-anak di berbagai kegiatan, baik di sekolah maupun di luar sekolah, bukanlah semata-mata tentang menang atau menjadi juara, tetapi proses belajar yang jauh lebih besar manfaatnya daripada menjadi juara dan mendapat piala.

Biasanya, anak-anak, atau orang tua, menentukan pilihan les, klub, atau ekskul (after-school program) berdasarkan minat atau kemampuan yang ingin dikuasai. Misalnya, karena ingin lebih fasih berbahasa Inggris, maka ikut les bahasa Inggris, karena ingin sehat sekaligus mahir berolah raga, maka ikut ekskul renang, bisbol, atau basket. Supaya motoriknya baik dan jiwa seninya kuat, ikut kursus melukis, musik, dan sebagainya. Yang menarik, sebenarnya bukan hanya keterampilan men-dribble bola, berenang gaya kupu-kupu, atau menggunakan cat air saja yang dipelajari anak-anak dari after-school program, tetapi mereka juga berlatih untuk membangun karakater. Di sini, saya ingin berbagi dua hal penting yang bisa dipelajari anak lewat after-school program:

Latihan untuk Belajar Secara Mandiri

Anak-anak dapat dilatih untuk menentukan minat, kecepatan dan tujuan belajar secara mandiri. After-school program (yang ideal) bukanlah program yang dirancang seperti sekolah yang mempunyai kurikulum yang sudah baku. Karena itu, anak-anak mempunyai kesempatan untuk memilih kegiatan sesuai minatnya, dan belajar sesuai kemampuannya, tanpa diburu waktu “sebentar lagi mau ujian!” atau tekanan tidak naik kelas.

Seperti yang dialami Abang, anak-anak bisa belajar untuk mengukur kemampuan mereka, berefleksi dan mengevaluasi apa yang perlu mereka tingkatkan. Saya ingat ketika masih aktif softball, saya selalu sadar bahwa kemampuan saya memukul bola (batting, istilahnya) kurang, sehingga saya sering menambahkan porsi latihan tersebut. Ketika Abang, keponakan saya itu, menyadari bahwa nafasnya kurang kuat ketika di dalam air, ia punya waktu untuk berlatih. Di after-school program tidak ada istilah sudah terlambat atau “sudah lewat materi belajar itu, sekarang kita harus belajar bab yang lain,” atau “jam belajar sudah habis, sekarang kita harus belajar mata pelajaran lain.” Sehingga proses belajar tidak dihentikan karena masalah waktu, tetapi anak terus belajar sampai bisa.

Pada umumnya, sekolah belum optimal untuk memberikan kesempatan anak untuk berlatih belajar mandiri, dan ini bukan kasus di Indonesia saja. Contohnya, gurulah yang selalu menentukan belajar apa hari ini dan bagaimana pelajaran itu akan dilakukan, tugas apa yang akan dikerjakan anak, dan seterusnya. Anak-anak cenderung menjadi follower. Saya tidak menyalahkan guru sama sekali, karena memang guru punya tanggung jawab, ibaratnya sudah punya daftar yang berisi hal-hal apa yang harus diajarkan dalam satu semester. Sehingga mereka berada dalam posisi yang sulit untuk berkutat pada pengajaran satu skill saja.

Tetapi di after-school program, karena tidak ada tekanan tersebut, anak-anak bisa lebih leluasa mengembangkan keterampilan mereka bahkan sampai lebih dari apa yang direncanakan instruktur/pelatihnya (saking berminatnya, anak bisa memainkan lagu lebih banyak ketika les piano daripada yang diminta pelatihnya), bahkan tidak jarang secara kreatif anak-anak mengembangkan strategi untuk melatih dan mengembangkan skill mereka. Karena sifatnya lebih fleksibel, after-school program bisa memberikan kesempatan anak-anak untuk lebih meresapi proses pembelajarannya sendiri atau dengan kata lain mereka mempunyai sense of ownership yang lebih besar atas proses belajar mereka.

Team work dan leadership

Saya akan menggunakan contoh kegiatan olah raga beregu untuk menjelaskan hal ini, karena terus terang konteks ini yang paling relevan dengan pengalaman saya.

Di olah raga seperti bisbol atau basket, anak-anak bisa belajar untuk berinteraksi dan bekerja sama, serta bagaimana membangun rasa saling membutuhkan dan saling mendukung. Hal tersebut saya pelajari bertahun-tahun yang lalu, namun hingga hari ini saya merasakan betul manfaatnya. Dalam permainan sofbol atau bisbol, misalnya, tidak ada gunanya jika seorang anak begitu hebatnya melempar bola apabila teman satu timnya tidak dapat menangkap. Dalam olah raga ini seorang anak belajar memahami arti dirinya dalam kelompok, bagaimana ia berkontribusi dan bertanggung jawab untuk sama-sama berjuang. Sehingga tidak jarang dalam kegiatan olah raga beregu yang saya alami, kami saling membantu satu sama lain, saling memberi semangat dan dukungan.

Di kegiatan olah raga, anak juga belajar tentang konflik dan bagaimana menghadapinya. Karena suasana belajarnya berbeda, interaksi antar anak-anak pun bisa sangat berbeda antara di kelas dengan di ekskul/klub. Tuntutan bekerja sama dan saling membutuhkan tidak jarang memicu konflik, dan skenario seperti ini sangat bermanfaat untuk anak belajar tentang menghadapi konflik secara arif dan menyelesaikan masalah dengan berorientasi pada kepentingan bersama: "kita harus kompak kalau mau menang!"

Salah satu hal yang saya belajar betul dari olah raga adalah bagaimana memisahkan antara kepentingan di dalam dan di luar lapangan. Tidak jarang saya bertanding melawan teman sendiri, sehingga di dalam lapangan kita “musuhan” tetapi di luar lapangan kita kembali berteman. Dan ketika bekerja di kantorpun, keluar dari ruang meeting saya merasa sudah dilatih untuk seolah-olah lupa tentang debat ketika rapat karena kembali kita hahahihi bareng.

 

Semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa after-school program memberikan pelajaran yang sulit diberikan guru dalam kelas atau sekolah secara formal, selain kegiatan ini juga mendukung prestasi belajar di sekolah (untuk hal ini belum saya bahas sekarang).  Kegiatan yang tidak terikat kurikulum; misalnya olah raga, musik dan seni pertunjukan, seni lukis, dan sebagainya, berpotensi untuk mengajarkan hal-hal tersebut. Sayangnya, sekali dua kali saya kecewa juga dengan format after-school program yang dirancang seperti model program sekolah: banyak PR, penuh persaingan tanpa melatih kerja sama, orang dewasanya (pelatih/instruktur) otoriter sehingga hilanglah potensi dari after-school program yang saya gambarkan di atas. Apalagi kalau kegiatan olah raga sudah terlalu "dirusak" oleh ambisi menjadi juara, yang diajarkan pada anak-anak malah hal-hal yang cenderung negatif dan akibatnya kegiatan tersebut gagal membangun karakter anak.

Orang tua tentu akan mencari tempat tumbuh dan belajar yang baik untuk anak sesuai dengan minatnya; tetapi ada hal lain yang dapat dilakukan orang tua ketika anak sudah mulai aktif di after-school program, yaitu: berdialog. Misalnya ngobrol tentang apa yang menjadi harapannya, keunggulannya, hambatannya, apa kebutuhannya, dan sebagainya termasuk tentang konflik yang dialaminya. Dialog ini juga baik dilakukan antara orang tua dan pelatih/ instruktur. Dialog seperti ini dapat menjadi panduan yang sangat mendukung anak melatih kemampuan belajar secara mandiri. Dan lagi, banyak kasus menunjukkan bahwa banyak anak-anak (apalagi remaja)  lebih nyaman membicarakan tentang tim olahraga atau pementasan musik mereka daripada membicarakan matematika dan ujian akhir semester. Nah, dengan begitu, membicarakan after-school program mungkin bisa menjadi strategi yang baik untuk pelan-pelan masuk pada pembicaraan tentang pelajaran di sekolah dengan anak, seperti yang sering dilakukan ayah saya dulu ;)

14 Comments

  1. avatar
    Novi Nur Asih February 11, 2013 11:13 am

    Salam kenal mbak Nisa, artikel yang sangat bagus dalam menjawab kegalauan saya memilih les/kursus/kegiatan setelah sekolah. Awalnya saya mikir ikut les ini-itu harus langsung terlihat hasilnya dalam jangka waktu tertentu eh ternyata gak harus begitu ya karena yang terpenting anak dapat menikmati kegiatan tsb dan bukan cuma prestasi yang dikejar tapi lebih ke interaksi dengan teman-temannya, kemampuan mengukur dan meningkatkan kemampuan diri anak, dan manfaat lain untuk membangun karakternya.

    1. avatar

      As .



  2. avatar
    AFRILL February 3, 2013 2:31 pm

    Saya juga pernah punya pengalaman seperti ini. Dulu saya mengamati anak saya, dia menyukai banyak hal di bidang musik dan kesenian. Awalnya saya khawatir ia jadi tidak suka dengan pelejaran utama di sekolah, jadi saya mendaftarkan anak saya di beberapa tempat les. Dalam 4 hari dalam seminggu, sepulang sekolah anak saya ikut les musik, kelas menggambar&melukis, berenang, dan les mata pelajaran utama. Setelah dijalani, akhirnya anak saya mulai malas les berenang dan ia juga sudah merasa cukup dengan pelajaran utama di sekolah, dan memang nilai dan perkembangan di sekolah juga cukup baik. Terbukti anak saya memang lebih minat di seni lukis dan musik, mungkin kedepannya akan menyusut jadi satu yang terpilih. Tapi apapun yang ia pilih, atau mungkin nanti ada pilihan lain lagi, biar saja anak yang memilih, orang tua hanya mendukung dan tetap mengawasi. :)

    1. avatar

      As .



  3. avatar
    wulandini January 12, 2013 1:56 pm

    Salam kenal mba nisa, kebeneran banget saya lagi cari cari after school program buat si kecil..thanks untuk infonya..

    1. avatar

      As .



  4. avatar
    elisa_sby January 11, 2013 3:33 pm

    salam kenal mbak nisa....saya punya pengalaman yg persis kayak gitu, terutama ttg dialog dgn anak.
    Waktu anak saya (sandra) umur 3thn, saya ikutkan les organ, itupun setelah saya tanya ke dia pengen belajar/les apa, dia jawab les piano/organ, dia tertarik setelah beberapa kali saya ajak nonton konser piano.
    Tapi setelah berjalan buku ke 3 (1 thn), dia mulai mogok (nggak mau latihan di rmh, di kelas les jg sering nggak perhatian ke gurunya). Kebetulan les organ ini bukan les privat tp les berkelompok, jd saya bisa membandingkan progressnya.
    Saya sempat marah krn dia kelihatan semakin malas, kemudian saya tanya/dialog, sandra bercerita klo dia nggak mau les lagi karena gurunya diganti, teman2 sekelasnya sering berisik, sehingga materi yg disampaikan jadi.terasa makin berat buat dia.
    Lega rasanya buat saya dan sandra, berhenti les organ adalah solusi terbaik supaya dia tdk tertekan, skr dia lebih enjoy ikutan les menggambar.

    1. avatar

      As .



  5. avatar
    wikit January 10, 2013 2:59 pm

    Wow... artikelnya Mba Nisa OKE banget nie.
    Danny-boy memang baru 18m dan baru 6 bulan ini join Baby Class.
    Sampai sekarang saya dan suami selalu perhatikan kebiasaan Danny-boy yang lebih ke arah physical activity (seperti maen bola & dancing - alias joget). Jadi kami ingin menyalurkan hobi GERAKnya ini ke aktivitas fisik semacam dancing class dan sport club toddler.

    Menurut Mba Nisa, apakah masih terlalu dini ya jika toddler diikutkan ke program seperti yang barusan saya sampaikan di atas?

    Thanks

    1. avatar

      As .