I am Indonesian
“Mama, am I a Norwegian?”
Agak terkejut juga saya, saat mendengar celetukan Alma tersebut.
“You are Indonesian, Alma. Just like me and Papa…”
“But mama, we live in Norway..."
Itu beberapa tahun lalu, saat belum lama kami pindah ke Norwegia dan Alma baru masuk sekolah. Saya mencoba menghibur diri dengan pikiran mungkin Alma yang saat itu belum mengerti. Namun celetukan Alma tersebut menjadi pengingat saya dan suami bahwa salah satu tugas kami adalah agar Alma tidak lupa akan akar budayanya.
Alma lahir di negeri jiran, paspornya hijau bergambar Garuda dan sekarang sedang menikmati masa kecilnya di lingkungan barat yang santai sekali. Guru dan teman-temannya, kebanyakan adalah orang Norwegia. Bahasa pengantar di sekolah? Bahasa Norwegia dan Inggris. Setelah beberapa tahun, saya perhatikan banyak cara berinteraksi dan beberapa kebiasaan anak-anak Norwegia yang sudah Alma adaptasikan. Sejauh ini masih yang bagus-bagus sih, seperti Alma jadi lebih mandiri, memakai baju sendiri, serta makan lebih tertib menggunakan sendok garpu. Namun saat Alma mulai meminta privasi dan banyak mendebat ucapan kami, tidak bisa tidak, jadi kepikiran juga. Saya dan suami tumbuh besar dalam lingkungan budaya Indonesia yang kental. Namun bagaimana kalau nantinya kami keenakan tinggal di negeri orang nan makmur ini, lantas menjadi lebih ‘Norwegia’ dan lupa mengajarkan nilai-nilai budaya Indonesia kepada Alma? Belum lagi semakin Alma besar, dia akan lebih banyak melihat contoh interaksi dari teman-temannya yang kebanyakan adalah orang Norwegia. Tarik-tarikan pengaruh antara orang tua dan teman adalah sesuatu yang tak terhindarkan dan saya tidak bisa membayangkan kalau jadinya terlalu jauh karena jurang budaya yang lebar.
Menurut saya, konsep ‘nationality’ terhitung abstrak untuk diterima oleh pikiran anak usia 4 tahun. Yang kami jelaskan kepada Alma sekarang masih sebatas yang singkat saja: papa-mama adalah orang Indonesia, maka Alma adalah orang Indonesia. Lalu menunjukkan paspor milik Alma yang bergambar burung Garuda. Lalu menceritakan legenda burung Garuda, burung besar yang bersinar terang, saking besar dan terangnya sampai bisa menghalangi matahari. Lalu anaknya lupa akan pertanyaannya di awal tadi. Ha!
Saat dibahas bersama suami, kemudian kami sama-sama berpikir: kalau menjelaskan ‘nationality’ dengan bantuan buku paspor saja, jangan-jangan nantinya Alma malah menganggap ‘nationality’ sebatas kertas dokumen saja? Aduh.
Dunia anak kecil adalah dunia kongkrit. Anak kecil belajar dari apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dihirup, dirasakan dan disentuh. Agar anaknya merasa ‘orang Indonesia’, saya pikir Alma harus tahu seperti apa ‘Indonesia’ itu. Seminggu sekali, saat akhir pekan selalu saya usahakan untuk memasak makanan Indonesia. Soto ayam, tempe goreng, tahu telur, bakso, bakwan, kue cubit, nasi uduk, ayam goreng, gadon, gudeg, sate kambing… satu persatu saya perkenalkan kepada Alma, selain jadi obat homesick juga untuk saya dan suami. Kami bilang, ini makanan Indonesia, eyang dan opung selalu masak makanan ini waktu mama-papa masih kecil. Sejauh ini Alma menyukainya, bahkan lahap sekali kalau ketemu tempe goreng, soto dan sate kambing! Bisa tambah berkali-kali. Hanya saja Alma belum bisa makan hidangan pedas; kalau saya dan suami sedang ingin makan yang pedas-pedas, selalu saya pisahkan bagian yang tidak pedas untuk Alma. Dari yang tadinya hanya mengenal nasi-telur kecap, sekarang saat saya masak sesuatu berbumbu pekat seperti petis, Alma sudah bisa berkomentar “What are you cooking, Mama? Smells good!”
Sekali waktu saat sekolahnya mengadakan international potluck party, kami datang membawa kue semar mendem. Alma suka sekali dengan kue gurih isi daging ayam suwir ini. Saat di sekolah, dengan bangganya Alma menjelaskan kepada gurunya bahwa semar mendem adalah makanan Indonesia dari nasi (ketan) dan daging ayam yang dibungkus pancake (dadar gulung asin). Lebih gembira lagi saat melihat semar mendem yang kami bawa tersebut ludes sekejap, “Look Mama, they like Indonesian food! Let’s make some more... for me!” ucap Alma. Ya tentu saja habis ludes Nak, soalnya tidak pakai cabe :D
Berawal dari iseng bercampur penasaran, sekarang saya jadi rajin membuat tumpeng nasi kuning saat Alma dan ayahnya berulang tahun. Repot? Awalnya saja sih, setelah beberapa kali ternyata asyik juga membuat tumpeng. Alma sendiri girang bukan main melihat tidak hanya dibuatkan kue ulang tahun saja tetapi juga tumpeng nasi kuning penuh hiasan bunga dari wortel dan tomat, berisi lauk ayam, tempe, telur dan perkedel favoritnya. Sekali waktu, gurunya penasaran akan apa itu tumpeng karena sepanjang hari Alma bercerita bahwa mamanya membuatkan tumpeng yang menurut Alma adalah “Indonesian yellow rice, bigger than my birthday cake!”
Satu hal yang lucu, Alma sempat protes saat melihat saya makan pakai tangan saja, "Why you don’t use your spoon, Mama? It’s yucky! My teacher said that when you eat, you use your spoon!”
"You know what, Alma? Eating with bare hand is the best way to enjoy Indonesian food!” jawab saya
“But your hands are dirty!”
Saya dan suami cekikikan mendengar Alma mendebat kami, "Not if you wash your hand first, Alma. In fact, with or without spoon, you must always wash your hand before you eat.”
Tiba-tiba saja Alma meletakan sendok-garpunya, lalu cuci tangan dan berkata, “OK, I want to eat my nasi like you!”
Jadilah saya mengajarkan cara makan menggunakan tangan kepada Alma. Sepanjang makan, anaknya tertawa antusias. Nasi kemana-mana? Sudah pasti. Saya jadi ingat waktu diajari makan pakai tangan oleh almarhumah eyang. Apa yang dulu eyang ajarkan, sekarang saya ajarkan kepada Alma: sikut tidak naik ke meja, cuci tangan dan basahkan jemari terlebih dahulu, makan pakai tangan saja hanya boleh untuk makan nasi dan lauk; selalu gunakan sendok-garpu untuk makanan basah, mie dan sop. Yang paling Alma sukai adalah bagian memulung-mulungi nasi sebelum disuapkan ke mulut, katanya seperti main playdough.
Untuk mengenalkan Indonesia, kami juga suka membacakan cerita-cerita rakyat dalam buku kumpulan cerita nusantara. Tentunya sudah kami pilih terlebih dahulu mana cerita rakyat yang cocok dibacakan untuk anak seusia Alma, atau ceritanya kami modifikasi sedikit. Minus unsur-unsur mistis, menurut kami cerita rakyat nusantara membawa banyak pesan bagus, salah satunya tentang kegigihan, kerja keras dan kepatuhan kepada orang tua. Beberapa tempat tujuan wisata di Indonesia pun kami kenalkan kepada Alma lewat cerita legendanya, seperti cerita candi Prambanan, legenda danau Toba dan kawah Kelimutu. Sekarang Alma sedang menyukai cerita-cerita yang ada tokoh princess dan monster. Hampir setiap malam Alma minta dibacakan cerita rakyat. Alma antusias saat dikenalkan dengan berbagai princess a la Indonesia seperti puteri dari Jawa, Ambon, Aceh, Dayak, Bali dan sebagainya, bolak-balik mengagumi baju-baju daerah yang indah penuh warna. Apalagi saat saya putarkan beberapa video tarian daerah seperti tari menjangan, tari saman, tari merak, serampang duabelas serta tari legong. Diam-diam saya merasa agak sedih saat Alma meminta diajarkan tarian tersebut, karena saya tidak bisa menari.
Saya harap dengan melihat princess a la Indonesia, Alma belajar akan body image yang sehat, bangga dengan kulit kuning langsat dan rambut hitamnya, serta menerima bahwa kecantikan datang dalam berbagai bentuk penampilan dan ras. Salah satu yang diam-diam membuat saya bangga adalah waktu acara Syttende Mai. Syttende Mai adalah hari konstitusional Norwegia, dirayakan dengan berpawai di kota dan para wanitanya mengenakan gaun bunad, pakaian tradisional Norwegia. Saat akan dibelikan bunad, Alma menolak dan malah meminta dipakaikan kebaya yang saya bawa dari Indonesia, "I want to be a princess Jawa, Mama. My teacher said I can dress as Princess Jawa!". Saat saya tanyakan ke gurunya, beliau menjawab tentu saja Alma boleh mengenakan kebaya dan batik untuk acara pawai sekolah.
Kami juga mengenalkan flora dan fauna khas Indonesia lewat tontonan TV. Bukan acara dokumenter yang serius, tetapi lewat serial Wild Kratz! Baru tahu juga kalau sudah ada kartun dokumenter untuk anak yang bercerita tentang tapir, orangutan, bekantan serta komodo dan dengan jelas menyebutkan habitatnya di Indonesia. Yang sekarang masih menjadi PR adalah mengenalkan lagu-lagu daerah Indonesia kepada Alma. Sejauh ini masih kalah dengan lagu 'Do You Want To Build A Snowman'.
Dalam hal mengenalkan Indonesia kepada Alma, kami juga cukup terbantu oleh sekolah. Sedari awal gurunya Alma menjelaskan bahwa bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Norwegia, namun untuk komunikasi di rumah diusahakan tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Karena bersekolah di taman kanak-kanak kampus, para guru di sekolah Alma terbiasa mengajar anak-anak yang berasal dari berbagai negara. Di sekolahnya suka diadakan acara kecil seperti pengenalan budaya dan bahasa (mengucapkan selamat datang dalam bahasa asal masing-masing), pembacaan cerita kisah rakyat, serta potluck party. Saat menyiapkan acara pawai Syttende Mai, para murid diajak membuat hiasan bendera negara masing-masing yang akan ditempelkan bersisian dengan bendera Norwegia. Semua dilakukan dalam bahasa Norwegia, namun isinya mengajarkan anak-anak untuk memperkenalkan budaya masing-masing dan belajar mengenali budaya lainnya.
Alma juga kami ajak untuk rajin videocall dengan para kakek-neneknya di Indonesia. Kadang Ibu saya suka bertanya, “Alma ingat Jakarta?"
"Ingat… Yang Alma jalan-jalan naik mobil kan? Yang Alma makan ayam ete'?" jawab Alma, "Kalau yang banyak angkotnya itu apa?"
"Itu Bogor," jawab saya, "Tapi Jakarta dan Bogor itu di Indonesia."
"Is it far away from here?"
Kalau Alma sudah bertanya seperti itu, adalah saat yang tepat untuk membuka peta dan menunjukkan di mana letak Indonesia. Biasanya sih ujung-ujungnya Alma akan bilang, "I want to go to Indonesia... Di Indonesia Alma bisa pake pretty sandal terus naik angkot!"
Hanya ada sebelas orang Indonesia yang tinggal di kota sekecil Tromso. Meskipun begitu, kami rutin mengadakan acara kumpul-kumpul. Kalau anak-anak ikut serta, sebisa mungkin Alma selalu saya ajak untuk ikut. Simpel saja sih, agar Alma melihat bahwa orang Indonesia ada dimana-mana. Ada yang belajar, ada yang bekerja, tinggalnya bukan di Indonesia tetapi tetap orang Indonesia, through and through.
Hal-hal kecil yang kami bagi kepada Alma agar belajar mengenali budaya tanah airnya juga menjadi 'pengingat' bagi saya dan suami akan identitas kami sebagai orang Indonesia. Saya dan suami berharap kemanapun nanti Alma melanglang buana menjadi warga dunia, semoga hal-hal kecil ini akan menumbuhkan kecintaan dan rasa rindunya terhadap Indonesia, menjadi jangkar yang menambatkan hatinya kembali ke Indonesia.
@MamakAisha tempe ada, cuma ya terhitung makanan mewah... soalnya mahal, hihi.
Mom Ai, di norway ada tempe juga?
@Cindy mauuu... Semoga kita bisa ketemuan ya Ndy, pengen euy bisa ketemu kyk ikutan outing bareng2 juga :D
@Arie iya, memang menantang banget ya PR kita :D thank uu tante Arie!
Baca artikelnya Teh Aini jadi terharu..
Jadi pengen ketemu sama princess Jawa yang lagi main di Norway deh :)