Ibu Bekerja: Dulu, Sekarang, dan Nanti
Saya dan Ibu memandang wanita bekerja dengan cara yang sangat berbeda. Kami sama-sama wanita bekerja, ibu saya seorang guru dan sudah mengajar lebih dari 30 tahun. Saya berpindah-pindah profesi, dari guru, translator, project officer, sampai jadi translator lagi, dan berakhir jadi guru lagi. Kami sama-sama setuju bahwa menjadi perempuan harus bisa mandiri dan bisa diandalkan keluarga. Tapi kami juga selalu terperangkap dalam perdebatan panjang setiap kali membicarakan sampai sejauh mana sebaiknya seorang perempuan bekerja.
Ibu saya mulai bekerja pada awal tahun 80-an, saat jalan raya masih jauh dari macet, pembantu rumah tangga masih banyak yang setia, jam kerja masih 'ramah keluarga', dan kehidupan bersesama masih murni, jauh dari kecurigaan akan satu sama lain. Sementara saya bekerja pada zaman teknologi canggih, di mana waktu yang seharusnya bisa dipersingkat berkat jasa email, justru membuat saya selalu kehabisan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan. Ini zamannya pembantu rumah tangga mengenal hak-nya, walau belum tentu kewajibannya. Ini pula waktunya orang harus berjuang lebih keras untuk kepentingan keluarganya masing-masing, walau jika itu berarti harus menyikut orang lain yang sama-sama berjuang untuk keluarganya. Di masa ibu bekerja, masih banyak pohon dan sedikit sekali motor. Dia bisa berjalan kaki mencari angkot tanpa merasa mual karena asap kendaraan. Sayangnya, jika saya bekerja, saya harus berjejalan dengan banyak orang di kereta. Lalu berlomba dengan bis tua, ojek, dan mobil pribadi yang makin tidak sabar, demi mencapai kantor tercinta. Selama puluhan tahun Ibu menempuh jarak Condet-Depok hanya selama 30 menit. Sementara saya pernah mendengarkan track iPod selama 1 jam di sepanjang Kuningan-Rasuna Said. Yah, memang perwajahan tantangan wanita yang bekerja kini sudah jauh lebih berat.
Semalam, sambil bercanda dengan ibu dan anak saya, saya melontarkan pertanyaan, "Mama dulu gak bisa menikmati aku sebagai bayi, ya? Habis kerja terus." Dengan bangga, Ibu menjawab," Aduh, mana sempat... Mama sibuk kerja, kerja, kerja, apalagi mama masih baru diterima waktu itu." Lanjut saya, "Mama gak sedih? Aku sedih kalau harus pisah sama Giselle." Dan saya terkejut waktu Ibu bilang, "Gak sedih sih.... Habis dulu hidup itu enak. Pulang cepat, pembantu kamu tuh, si Mba Inah kan baik banget. Semua beres di tangannya. Padahal gajinya cuma Rp15,000,-. Terus tetangga baik semua. Jadi tidak khawatir meninggalkan kamu. Mama bersyukurlah sama Tuhan, dulu waktu kamu kecil, hidup Mama dipermudah."
Tidak heran bukan, jika ibu saya tidak mendukung saya waktu saya memutuskan keluar dari pekerjaan? Katanya:
- (memikirkan biaya keperluan bayi) "Yah, kamu nanti mau makan apa? Mana cukup cuma gaji suami?"
- (bercermin pada pengalamannya sendiri) "Semua orang juga kayak kamu, baru punya anak, sudah harus kerja."
- (menyerang pola kerja kutu loncat saya) "Kamu itu bukan anak gadis lagi, sekarang sudah punya anak, harus mikir kalau gak mau kerja lagi."
Bimbang? Pasti! Tapi saat saya kembali berkutat dengan tekanan lingkungan, saya tahu ada sesuatu yang lebih baik buat saya di luar sana. Asalkan saya berani, berdoa, dan didukung oleh suami tercinta, saya tahu saya tetap bisa bekerja dengan cara yang lebih baik, tanpa harus mengorbankan waktu berharga bersama si kecil ataupun akal sehat dan kesehatan saya. Saya tersadarkan bahwa Giselle hanya menjadi bayi satu-tiga tahun saja, tidak selama-lamanya. Sementara pekerjaan (sama dengan rejeki) akan selalu ada, saya percaya. Saya tahu keuangan saya akan mempengaruhi kelayakan hidup keluarga, tapi bagi anak saya, yang disebut layak adalah ada mama di rumah. Di kereta, saya mengagumi ibu-ibu di gerbong wanita yang sebagian besar mungkin meninggalkan keluarganya untuk sebuah perjuangan. Tapi saya tahu saya terpanggil untuk cara hidup yang berbeda. Di rumah, saya teringat perjuangan Ibu. Dia wanita luar biasa yang tidak mengenal lelah, sampai menyangkal dirinya saat dia seharusnya beristirahat karena kelelahan. Walau ia menyangkalnya, saya rasa ibu saya seorang perfeksionis. Saya bukan orang perfeksionis, saya realis.
Berangkat dari perenungan, doa, dan pengumpulan keberanian selama sembilan bulan masa mengandung, saya memberanikan diri untuk mengundurkan diri dari kantor dan mengajukan diri menjadi konsultan. Saya seorang penerjemah dan sebelumnya bekerja secara permanen dengan segala manfaat menggiurkan yang diperlukan seorang tulang punggung keluarga. Tapi dengan dukungan penuh suami, saya kini bekerja sebagai freelancer kontrak, dan hanya datang ke kantor sekali sebulan. Resikonya? Saya kehilangan asuransi keluarga, gaji bulanan, dan tunjangan-tunjangan lainnya. Saya bekerja berdasarkan 'order' terjemahan yang jumlahnya fluktuatif. Tidak ada kepastian, tidak ada jaminan. Yang ada hanya niat terbaik seorang ibu untuk ada bagi keluarganya sambil tetap terkoneksi dengan dirinya sendiri lewat pekerjaan yang ia cintai. Puji Tuhan, sampai hari ini, bisnis rumahan saya ini justru berbuah lebih besar dari pada saat saya bekerja di kantor.
Apa maksud saya menceritakan ini? Saya bukan menulis untuk membenarkan/menyalahkan SAHM (stay at home mom), WAHM (work at home mom), atau FAWM (full at work mom). Setiap kali merasa jalan hidup yang saya pilih ini paling tepat, saya teringat ibu saya yang berpuluh-puluh tahun bekerja di luar rumah demi melihat foto wisuda saya terpampang di ruang keluarga. Tidak, yang terbaik bagi saya belum tentu yang terbaik bagi orang lain. Yang saya ingin katakan adalah semua ibu punya pilihan. Dulu, saya sering menyalahkan keadaan, suami, orang tua, dan siapa saja selain saya. Tapi saya tahu saya salah. Saya selalu, selalu punya pilihan. Dan semua wanita harus menghormati dan mendukung pilihan yang dibuat wanita lainnya demi keluarganya.
Begitu putri saya dewasa nanti, entah sekejam apa lagi dunia bekerja di luar sana. Saya rasa keadaan mungkin tidak akan lebih manusiawi. Jadi saya ingin menanamkan pada diri anak saya bahwa ia bisa membuat keajaiban dengan pilihan apa pun yang ia akan buat sebagai wanita, entah dengan ibu yang bekerja ataupun sebagai ibu rumah tangga. Saya ingin ia mengejar keseimbangan hidup dan kedamaian sebelum materi dan kemapanan. Saya mau ia melihat saya nanti dan mengatakan bahwa saya adalah contoh yang baik buat dia, idolanya sebagai wanita, karena saya berani mengejar ketenangan dan kualitas hidup meskipun menaruh eksistensi dan materi sebagai resikonya. Saya membayangkan ia menjadi perempuan yang cerdas dan berani, yang fasih menempatkan prioritas hidup pada tempatnya dan hidup sebagai juara sejati, baik di keluarga maupun masyarakat. Dan jika ia nanti bertanya pada saya, "Mama dulu bisa gak nikmatin aku sebagai bayi?" Dengan nada bangga yang sama yang saya dengar dari mama saya, saya akan menjawab, "Aduh, pastinya! Memang repot karena Mama kerja dari rumah, tapi Mama bisa sombong karena Mama bisa mendengar kata pertama kamu: MAMA!"
*Mama Giselle, menulis ini sambil memastikan Giselle tidak memasukkan mainan di sekitarnya ke mulutnya.
Akkkkhh!!!!! Ibu-ibu yang luar biasa! Setahun lewat saya ga mampir liat postingan saya dan ternyata masih banyak yang dikuatkan lewat sharing sederhana ini. Saya senang dan berdoa supaya kita semua segera mendapatkan 'titik damai' dengan diri sendiri dan semua orang di sekitar kita ya. We don't loose anything after all, we only gain more time to do what we love, being with the family! I loooovee you all, mommies! #rangkulan rame-rame
"Saya sebenarnya kangen banget loh sama yang namanya hang out after lunch, make baju kerja, dan *pastinya* THR euy! Bekerja dari rumah itu menuntut seni manajemen kelas berat. Saya kayanya malah lebih jago ngurusin proyek kantor deh."
benerrr bgt.. kangen masa2itu dan jauh lebih sulit manage waktu sbg WAHM
dulu anak pertama pas habis kontrak kerja dan mantap jd WAHM walaupun ga didukung sm mama sampe takut jd anak yg ga berbakti.
skrg bisa punya babyshop inababy online dan offline sudah syukur bgt dan mama mulai bisa menerima walaupun tetep dicap 'ga kerja'
eh tiba2 temen kantor nawarin kerjaan krn ada yg vacant, uh jadi kepikiran kerja lagi.. ini kesempatan, cobaan atau godaan?
padahal skrg anak udah 2. si kakak 3thn dan adenya 9bln. suami blg "kita bs harmonis begini juga krn kamu ga kerja jd aku tenang brgkt ke kantor, mengurangi konflik yg mungkin terjadi klo lembur atau hrs bekerja saat weekend, ga pusing klo anak sakit atau ga ada ART"
semua itu bikin aku urung utk balik kerja kantoran lagi, walaupun kdg suka kepikiran klo lihat ibu2 lain yg bs sukses di karirnya.
insyaallah msh bnyk bentuk bakti yg bs kita berikan kpd org tua selain bekerja kantoran, mudah2an seiring berjalannya waktu ortu bs mengerti dan mendukung. peran suami sgt penting utk mendukung dan memberi apresiasi kpd isterinya, aku pun terharu saat dg santai suami blg 'aku seneng kmu ga kerja'
Mommy Giselle, aku baru baca artikel ini setelah memutuskan resign dari kantorku bekerja selama 6 tahun terakhir. Ya, bisa dibilang sejak lulus udah ngantor disini, hihi bareng sama Mom Arninta yg komen di tahun 2012 lalu. Dapet info artikel ini dari sesama temen pumping di kantor.
Seneng, sekaligus terharu berkaca2 baca-nya, ternyata bener2 banyak yang sehati sama aku. Setelah lahiran sampe skrg masih tinggal d rumah nyokap, dan rencananya mau pindahan April-Mei nanti ke rumah sndiri, inilah yg jadi pemicu aku mau resign. Papaku sempet kasi usul, supaya my baby Sharlene dititip d rumah ortu selama wkdys, waduuhh, ngebayanginnya aja aku ud ga kuat :(. Banyak alternatif yang udah dipikirin, tp kayanya ga ada yang ok untuk dijalanin, terutama yang bikin ga tahan jauh dari anak selama ber-jam2, cuma bisa menikmati video kiriman papa mamaku di jam2 kerja, dan denger perkembangan Sharlene tanpa ngelihat langsung itu rasanya.. :( :( :(.
Waktu memutuskan mau resign dan bilang ke ortu, sedih banget sbnrnya ngelihat mereka antara setuju dan engga, sementara aku sendiri galau, worry karena sebagian finansial d rumah masih ku-support, walaupun ga banyak, tp setidaknya dengan tidak lagi menerima gaji bulanan, maka pengetatan-pun harus dilakukan toh. Awalnya mama-ku setuju dan mendukung, tapi belakangan sempat berusaha supaya aku tetap beekrja, begitupun papa, "kamu ga sayang keluar dr kantor? kan udah lama, udah cocok dan lingkungannya baik banget sama kamu, blalalaala.." *galau mendadak* tapi masih bisa bilang ke papaku, "aku mau urus Sharlene sendiri pa.."
Untungnya, aku masih bisa freelance design, dan memang awalnya itulah profesiku sebelum kerja kantoran seperti sekarang. Bulan ini adalah bulan terakhirku bekerja kantoran, dan masih deg2an seperti apa dunia nanti rasanya setelah resign ya. Baca artikel ini sungguh..sungguh..sangat membantu, thanks ya mommy2 atas sharing2nya, terlebih buat mama Giselle yang udah open sharing duluan. Menerima dan menjalani keputusan itu yang paling susah, moga2 kita semua kuat ya Mom, aminnn.
aduuuh berkaca2 nih mom..... stiap ibu pasti pengen liat perkembangan anak qt. suami belum siap ambil keputusan ini. smoga dpet jalan terbaik amien...
Hi mom giselle,
waah.. telat banget sepertinya sy baru baca artikel ini. tapi saya terharu sekali sekaligus tersenyum sembari membaca artikel tsb. kebetulan cerita sy hampir sama dg mba Anita Rahmanita.. saya memutuskan untuk hamil di saat2 tahun terakhir perkuliahan S2 saya, yang mana pada saat itu sempat ada keinginan untuk "mem-pending" urusan punya anak dulu (gosh,untung hal tsb tdk terjadi.memikirkan perempuan lain yg sampai saat ini masih blm diberikan momongan,kok bisa2nya saya menunda hal tsb). Kebetulan cuti 3 bulan kerja saya berakhir tepat sewaktu Proyek itu berakhir. Jadi saya pun tidak melanjutkan untuk ikut proyek di perusahaan asing tsb setelah masa 3 bulan kelahiran anak saya..
Alhasil, saya pun memutar otak agar tetap bekerja & memiliki penghasilan tapi dengan tidak kembali pada rutinitas seperti dulu.. (bagi saya yg berdomisili di daerah pinggiran JKT) sempat terpikir juga, kalau harus pagi2 sekali berangkat ke kantor kemudian baru tiba kembali di rumah sewaktu anak sudah tidur (saking jauhnya lokasi rumahnya+kemacetan JKT). 3 bulan tepatnya setelah anak saya lahir, saya sdh cukup paham kebiasaan bayi sy tsb, akhirnya saya merintis usaha sendiri berlokasi di rumah sbg Sub Agent Tour & Travel. Lama kelamaan karna kebanjiran order (Alhamdulillah) jadi saya memutuskan untuk memakai jasa pembantu untuk membantu mengurus anak saya.. (karena pada saat kita memulai untuk berbisnis, profesionalisme tetap harus di maintance)..
Alhamdulillah, sampai 2 Tahun saya berhasil memberikan ASI Ekslusif untuk anak saya sembari bekerja dari rumah WAHM (work at home mom). Bedanya dg mom giselle, saya sempat berdebat dg adik saya mengenai soal pekerjaan ini. Saya typical wanita yang “idealis” prefer bekerja untuk menguntungkan diri sendiri ketimbang org lain (Wirausaha – mksdnya), keinginan untuk hal tsb sangat besar namun terpentok oleh modal. Tetapi untuk kembali lagi bekerja di kantor dan meninggalkan anak saya diasuh oleh Baby Sitter (misal), sepertinya saya harus berpikir berkali2. Dan jawaban dari Adik saya (laki2) “trus, blm bisa Wirausaha ngga mau balik kerja kantoran akhirnya Kakak jadi Ibu Rumah Tangga aja kan”.
Mendadak tidak bisa menjawab, sedih, sebel. Ya itu sudah semua jawabannya.. Saya ingin berdebat kembali dan menjelaskan pun, pasti Adik saya belum mengerti perasaan Perempuan2 yang memiliki posisi seperti saya skrg ini.
semoga kita bisa menjadi Ibu yang terbaik buat anak kita dan anak kita bisa menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat bagi banyak orang.
maaf kepanjangan curhatnya