Ketika Perkataan Mama Papa Diuji oleh Anak
Welcome to terrific two milestones! Atau yang juga dikenal dengan setiap hari kesabaran ibu diuji oleh polah anak berusia dua tahun yang mengidamkan kemandirian.
Semangkuk mi instan dan semangkuk nasi. Di suatu malam, keduanya adalah makanan saya pukul 23.30. Bukan karena lapar atau lagi ngidam makan mi instan. Saya berusaha menghabiskan nasi yang telah diambil si kakak jelang tidur malamnya. Untung saja, saya berhasil menghabiskan duo karbo ini. Saya lebih memilih keduanya menjelma menjadi lemak ketimbang membiarkan nasi sebanyak itu dibuang begitu saja. Kenapa mi instan? Sesederhana karena tak ada lauk yang memikat untuk menghabiskan nasi bekas makan anak saya dengan porsi besar itu.
Kondisi tersebut berawal dari keinginan Kafi (28 bulan) untuk makan jam 10 malam. Padahal, saat itu ia sudah menyantap makan malamnya. Ternyata ayahnya Kafi yang baru saja pulang kerja dan ingin makanlah yang mendorong Kafi untuk ikut bersantap lagi.
Urban mama bisa membayangkan, bocah umur dua tahun memiliki keinginan yang menggebu-gebu untuk mandiri. Saya pun ingin memeliharanya sejak dini sehingga selalu berusaha memberikan Kafi kesempatan untuk melakukan banyak hal sendiri sesuai keinginan hati. Harapannya, kebiasaan untuk mandiri ini terbawa seiring bertambahnya usia. Saya khawatir kalau terlalu banyak larangan justru dapat mematikan kemandiriannya tersebut. Karena itulah, saya membiarkan Kafi mengikuti kemauannya untuk makan lagi.
Tawaran saya untuk membantu pun Kafi tolak mentah-mentah. Mulai dari mengambil mangkuk sampai menciduk nasi, semua ingin ia lakukan sendiri. Salah satu negosiasi yang berhasil hanyalah tawaran saya untuk mengeluarkan wadah penanak nasi dan menaruhnya di lantai. Dengan begitu, ia dapat lebih mudah mengambil isinya. Ini karena sebelumnya, Kafi malah ingin mengambil nasi langsung dari rice cooker yang letaknya di atas kulkas.
Sembari duduk di sampingnya dan menyaksikan ia menciduk nasi, saya memperingatkan, “Nasi yang Kafi ambil harus dihabiskan semua, ya.” Ia pun menjawab, “Oke.”
Namun ternyata, banyak pula nasi yang diambil. Mungkin porsinya lebih cocok untuk orang dewasa yang kelaparan. Karena ragu, saya memberanikan diri untuk memperingatkan konsekuensi lainnya. “Kalau nasinya enggak habis, Kafi enggak nenen ya pas mau tidur nanti,” saya melanjutkan.
“Oke,” jawab Kafi lagi.
Tentu bukan tantangan mudah karena setiap mau tidur, Kafi pasti selalu minta menyusu dan tak jarang diikuti rengekan yang cukup mengganggu tidur adiknya.
(Image credit: www.pixabay.com)
Nasi yang Kafi ambil pun mulai ia makan sendiri sedikit-sedikit. Saya mulai sangsi ia dapat menghabiskannya paling tidak setengah porsi. Benar saja, lama-kelamaan ia hanya menjilat-jilati sendok yang dipakai makan. Sampai akhirnya, ia benar-benar meninggalkan makanannya dan asyik main senter sendiri.
Saya kembali mendekatinya dan mengingatkan lagi konsekuensi yang telah disampaikan tadi. Awalnya, Kafi tak menggubris, namun kemudian ia megiyakan.
Ketika gelagat hendak tidur terlihat, saya mengingatkan konsekuensi lain yang juga saya sampaikan sebelumnya: sikat gigi lagi. Ini karena Kafi makan setelah ia menyikat gigi.
Saat suami gagal mengajak si sulung yang lagi leyeh-leyeh untuk sikat gigi, saya pun langsung menggendongnya untuk menjalankan konsekuensi sikat gigi.
Untungnya, sesi sikat gigi berjalan lancar tanpa pemberontakan berarti.
Semua beres? Oh tunggu dulu, kini kami masuk ke tantangan utamanya.
Awalnya, Kafi minta nenen ketika sudah tiduran di kasur. Namun saya sampaikan lagi konsekuensi yang telah disepakati dan menyarankan ia untuk tidur dengan ayahnya saja. Saya agak kaget karena setelah berbicara begitu, tak ada rengekan lebih jauh sampai ia tertidur lelap. Seolah Kafi paham ia harus menghadapi konsekuensinya.
Konsekuensi dan konsistensi
Dan Kindlon penulis buku Raising Cain: Protecting the Emotional Life of Boys menjelaskan di situs BabyCenter, “Sikap tegas dan konsisten mengajarkan anak bahwa orang tua mengharapkannya untuk berperilaku bertanggung jawab.”.
Kata kuncinya adalah konsistensi dan konsekuensi. Tegaskan kepada si kecil bahwa orang tua selalu serius dengan hal yang diucapkan. Jangan membuat janji atau ancaman yang tidak akan orang tua penuhi.
Semoga Mama Papa dapat konsisten untuk menghindari ancaman kosong di berbagai situasi. Harapannya, anak dapat mengerti bahwa Mama Papa selalu melakukan hal-hal yang telah diucapkan. Say what you mean, and mean what you say.
Saat ini saya sedang berada di tahap membuat anak mengerti akan konsekuensi, dan memang kitanya juga harus konsisten ya. Kadang suka nggak tega liat anak nangis, tapi kalau nggak gitu nanti aturan yang sudah dibuat nggak ada artinya.
Meskipun butuh usaha, tp hasilnya nggak sia-sia ya mbak. Seneng baca cerita mbak Febi. Makasih sharingnya, mbak.
Terima kasih utk sharingnya ya Febi :) wah betul sekali ini, anak begitu usia 2 tahun itu sudah mulai apa2 inginnya dikerjakan sendiri tapiiii... kalau ortu tidak mulai membiasakan konsisten mengingatkan anak akan konsekuensi dari pilihannya, nanti2nya bisa puyeng. Mending sedikit 'lelah' di awal2 utk tegas dan konsisten, daripada memberikan ancaman kosong.
Setuju, mba Aini :) Semoga kita bisa terus konsisten, ya! Aku nggak nyangka, lho, terkadang upaya kita untuk konsisten tsb bisa menguras energi. hihii semangaat