Luigi Pralangga
Married but assigned single (menikah, namun karena tuntutan tugas menjadi lajang).
Kira-kira begitulah istilah miris yang cukup ampuh disandang kita-kita para UN Peacekeepers. Ditengah setting kehidupan modern dan globalisasi dimana perihal peace and security adalah juga menjadi ongkos yang harus dibayar mahal oleh para pekerja kemanusiaan dan para personil anggota pemelihara perdamaian PBB yang notabene pilihan lokasi penugasannya adalah daerah pasca-konflik atau daerah pasca-bencana yang dengan sendirinya tidak memungkinkan untuk dirinya membawa serta sanak-familinya ke medan penugasan.
Itulah yang dialami oleh kita, termasuk saya sendiri sejak tahun 2004 mulai bertugas di Liberia hingga saat ini. Kendati situasi di Liberia per hari ini sudah jauh membaik dari ketika pertama kali tiba menginjakkan kaki di Monrovia, kebijakan operasi dari manajemen misi PBB tidak memperbolehkan para staffnya membawa serta keluarga untuk tinggal bersama di Liberia. Hal ini cukup beralasan karena secara umum, Liberia dan beberapa negara di kawasan West Africa ini masih rentan terhadap gejolak dinamika politik serta stabilitas keamanan kawasan regional masih dirasa terlalu dini untuk menaikkan status klasifikasi dari "Security Phase III" naik menjadi II dimana kebijakan operasi dinilai cukup aman untuk anggota keluarga staff PBB yang bersangkutan bisa tinggal bersama.
Namun, di sisi lain, saat saya cuti mudik di tanah air, melihat beberapa kawan yang karena tuntutan tugasnya acapkali malah jarang sekali dapat meluangkan waktu bersama anak-istrinya, padahal mereka tinggal dan bekerja di Jakarta. Sementara kesempatan bagi kebanyakan dari kita staff misi PBB, paling tidak 3-4 bulan sekali mesti mengajukan cuti mudik untuk 2-3-minggu lamanya. Secara pribadi sejak tahun 2008 lalu, saya sudah cuti mudik sebanyak 4 kali ditahun itu dengan masa cuti yang relatif panjang 3-4 minggu lamanya tiap kunjungan, dan memang sudah berjanji pada diri sendiri bahwa secepat mungkin bisa manuver ke penempatan tugas yang memungkinkan bersama keluarga.
Aktivitas favorit saat berada cuti di tanah air adalah, waktu kebersamaan di tempat tidur dimana anak-anak dan istri tercinta dengan piyama/baju tidurnya masing-masing bisa ngobrol santai sambil tidur-tiduran. Biasanya kita ngobrol ngalor ngidul, sampai tiba saatnya anak-anak harus kembali tidur ke kamarnya masing-masing. Pengecualiannya adalah saat saya baru saja mendarat tiba di Jakarta - itulah saat mereka bisa desak-desakan tidur bersama satu ranjang. Perlu dimaklumi bahwa tidak hanya sang istri saja yang rindu akan suaminya, namun urusan itu mesti terkalahkan dengan permintaan anak-anak untuk bisa melalui malam bersama ayah mereka - lengkap dengan bunda mereka disebelah.
Banyak ragam obrolan berkualitas yang saya rasakan bisa mengalir saat kita santai di kamar tidur - seperti layaknya 'pillow talk' pasangan suami-istri, anak-anakpun merasa lebih luwes dalam hal menceritakan unek-uneknya tentang keseharian di sekolah kepada saya di sesi obrolan 'pajama talk' ini. Di sinilah saya mendengar update/ kabar terbaru nama - nama teman Alif dan Abigail dan bagaimana perangai mereka terhadapnya di sekolah, atau bahkan dengan kehadiran Arjuna - putra bungsu kami (anak ketiga), yang berumur 16 bulan saat ini, bernyanyi bersama dan menanggap Arjuna berjoget di atas kasur adalah sesi pemersatu kita sekeluarga hingga larut malam.
Selain itu, acara berlibur keluar kota tanpa melibatkan anggota sanak-famili lingkar luar selain kami berlima adalah kesempatan untuk membangun 'presence' dan figur ayah yang selama ini absen.
Harus diakui bahwa berlibur itu membutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit serta perencanaan yang baik. Itulah mengapa saat ini, upaya berlibur bersama "hanya kita-kita saja" adalah tips jitu buat saya pribadi untuk menambal 'kehadiran' yang selama ini kosong dikarenakan tuntutan tugas. Dan itu bukanlan tipe berlibur macam jalan-jalan ke mall dan lain sebagainya, lebih kepada wisata alam dimana interaksi antara ayah dan anak-anaknya sedemikian terlibat sehingga membekas dalam ingatan dan sanubari mereka.
Saya percaya, terlepas dari sulitnya merencanakan manuver karir dan implementasinya agar dapat memenangkan sekaligus dua dunia: "karir & keluarga" - rumus pemikiran manusia tentu tidaklah selalu sejalan dengan ridho illahi. Life is not as straight forwards as we think.. saya percaya bahwa kedepan ini, manuver karir yang barokah bisa diraih dan dapat mempersatukan kembali utuh antara keluarga dan dinamika karir. Dengan upaya gigih dan dukungan totalitas mereka, insya Allah berhasil.
Hebat! Baca ceritanya senyum2, pekerjaannya sepertinya seru yah, even harus meninggalkan keluarga sekian lama, tapi dari pekerjaan tersebut, pastinya banyak banget hal yang bisa dipelajari, salah satunya untuk bisa lebih bersyukur atas hidup yang sudah dimiliki saat ini.
Thanks for sharing :)
Salut bgt.....saya jadi merasa ga ada apa2 nya dech sering ditinggal suami yang tugas nya masih di indonesia juga.....di daerah yang sangat aman.....kok yo masih suka ngeluh kalo ditinggal2 hehehehehe....nice share kang....
wah..ktemu mas luigi di sini :)...ini teh baru aja nata2, ketemu lagi deh post card dari mas luigi buat anak anak :)..apa kabar mas? smoga masih inget kami yang masih aja beku di jerman..hehehe...masih dinas di liberia juga mas?
saya suka sekali kalimat "Life is not as straight forwards as we think", kalimat ini menjadikan kita untuk selalu berhati2 dan bijak. share yang sangat "indah".
Salam kenal...
setuju banget tuh yg berlibur bersama "hanya kita-kita saja"
bagi yg ditinggalkan tidak ada yg lebih nikmat dari liburan hanya keluarga inti saja :)
salam kenal mas!