Menyusui Itu (Tidak) Mudah
Demi menyusui, saya bawa Audrey ke kantor saat ada kerjaan mendadak di hari Sabtu. Saya susui sambil bekerja.
Februari 2012, Audrey sudah masuk 4.5 bulan. Sampai saat ini, puji Tuhan saya masih bisa memberi ASI untuk Audrey. Gampang kan kasih ASI? Ternyata tidak. Berawal dari sudah keluarnya cairan ASI sejak hamil 5 bulan, ternyata tidak berarti menyusui jadi super gampang. Sejak menginjak remaja, aku tahu kalau putingku datar. Kata Mama, "Itu turunan Mama tuh. Mama juga". Saat itu tentu saja tidak ada pikiran apa-apa. Yang ada di otak hanya ngeceng di mall, kenalan sama cowok, belajar buat ulangan... Sampai akhirnya saya menikah, hamil, dan mulai mempersiapkan kelahiran.
Beberapa orang selalu bilang, "Wah, puting rata kan susah tuh nyusuin, Yu". Saya mulai panik. Cari info sana-sini. Mulai tenang ketika di beberapa toko bayi, menemukan nipple puller. Kata Mama lagi, "Jaman dulu kayaknya nggak ada". Tapi saya urung membelinya, pasalnya saat hamil, puting saya keluar. Tidak pernah masuk. Bahkan kadang-kadang suka tembus dari bra yang tipis jadi selalu saya sumpal breast pad. Percaya diri meningkat.
Tanggal 24 September 2011 Audrey lahir. Niat untuk IMD menggebu-gebu, ditambah pihak RS tempat bersalin yang sangat pro ASI dan kooperatif. Hampir sejam Audrey dibaringkan di dada untuk IMD, tapi malah ngamuk-ngamuk karena nggak bisa bertemu puting. Mulai panik lagi. Setelah pindah ke kamar rawat inap, saya cerita kepada Mama, beliau ikutan bingung, sedih takut Audrey bernasib sama seperti saya, minum sufor karena Mama stress lihat saya nggak nemu puting sejak umur 2 minggu.
Untungnya di RS tersebut ada layanan konsultasi laktasi. Konselor laktasi mendatangi saya, mengecek posisi menyusui, mengecek apakah Audrey ada tounge-tie atau tidak, mengecek apakah ASI sudah keluar atau belum, dan tentu saja melihat bahwa puting saya rata. Saran beliau? "Coba saja dirangsang ditarik-tarik keluar sebelum menyusui (dan saya teriak kesakitan), dan harus PD karena bayi menyusui bukan dari puting... plus diresepkan nipple puller. Beliau menawarkan nipple shield juga, karena melihat puting saya sudah mulai berdarah. Tentu saja saya ambil.
Selama di rumah sakit, saya selalu ketakutan kalau Audrey menangis. Pasti lapar. Tapi puting saya ga keluar. Lalu bagaimana? Apa dia mau? Nanti kalau nangis terus, kasian juga nggak makan. Padahal saya sudah punya info bahwa bayi baru lahir tahan 3 hari puasa. Ternyata Audrey harus disinar karena level bilirubinnya cukup tinggi. Maka saya hanya bisa memompa dan mengantar ASIP, untuk diminumkan oleh bidan lewat cup feeder. Ya ampun, napsunya anak saya itu kalau sudah lapar, cup feeder dicaplok begitu saja langsung habis. Saya semakin khawatir, semakin nggak PD untuk menyusui. DSA bilang saya boleh menyusui langsung supaya Audrey tidak jauh dari mamanya, tapi sehari max 3-4 kali, supaya fototerapinya bisa maksimal. Tapi justru setiap ditawarkan oleh bidan, "Bu, silakan disusui langsung boleh kok, Bu." Saya justru menjawab, "Ah, nggak papa suster, pake cup feeder aja".
Ketakutan berlanjut sampai di rumah, mulai coba pake nipple shield, Audrey lebih tenang saat menyusui. Damai banget rasanya. Beberapa ibu baru di kukenal lewat TUM ini ternyata punya hal serupa, menggunakan nipple shield, tapi berhasil menyusui langsung setelah memakai selama 2 minggu. Saya? Sampai Audrey mau masuk 2 bulan, masih pakai nipple shield.
Tekad saya bulat, Audrey harus bisa menyusui langsung. Kenapa? Karena bagi saya memakai nipple shield begitu melelahkan. Saya tidak bisa menyusui sendiri, harus ada mama atau suami yang menemani untuk menahan nipple shield supaya tidak lepas saat Audrey mengamuk. Ditambah baju yang selalu basah ketumpahan ASI yang tertampung di corong shield. Dan frustasi luar biasa saat dia menangis kelaparan karena artinya saya harus menyusui.
Akhirnya, satu hari yang menentukan, saya menyusui tanpa memanggil suami/ Mama ke kamar. Posisi Audrey saya rebahkan di bantal di atas paha, cepat-cepat kubuka bra dan kupancing putingnya supaya keluar. Aha, mulai keluar! Saya ambil Audrey ke posisi menyusui seperti biasa, saya menekan payudara dan saya sangga kepala Audrey, akhirnya berhasil! Audrey menangis selama beberapa detik, tapi kemudian dia bisa menyesuaikan. Saya sangat terharu. Nikmatnya melihat Audrey menyusui langsung dan mendengar tarikannya saat dia menelan ASI. Bangga bukan main.
Persis Audrey usia 3 bulan, saya masuk kembali ke kantor. Saya pikir tidak akan ada masalah berarti. Saya sudah cari info sebanyak-banyaknya tentang pumping at work. Sudah menyimpan stok 200 botol ASIP untuk Audrey sejak dia lahir, jadi pastinya aman tidak akan kejar tayang. Lalu apa masalahnya? Pekerjaan saya membuat agak mustahil untuk bisa pulang pukul 16.30 seperti yang tertera di peraturan perusahaan. Otomatis frekuensi menyusui Audrey jauh berkurang dibandingkan saat cuti. Ditambah dengan beban deadline dan adaptasi dengan lingkungan kantor lagi, kepala selalu berdenyut setiap malam saat Audrey bangun minta susu. Mata ini seperti di-lem dengan super glue. Badan remuk redam, bahkan untuk menyangga tubuh mungilnya saja saya tidak bisa, sehingga seringkali dia terlepas saat menyusui, dan akan ngamuk tiada henti. Suami turun tangan selalu menjaga supaya saya kuat, tapi ada kalanya saya benar-benar tidak tahan. Lelah. Pingin tidur saja setiap malam tanpa harus menyusui.
Lalu kemudian teringat betapa gigihnya saya saat hamil mencari informasi tentang ASI. Masak baru 2 minggu masuk kantor, sudah menyerah? Bukankah saya baru saja merasakannya nikmatnya menyusui malaikat mungil ini? Lalu kenapa mau secepat ini diakhiri?
Akhirnya saya membuat kesepakatan dengan suami. Saat menyusui malam, suami harus mengajak saya ngobrol. Bulan Desember adalah masa-masa yang menegangkan. Antara ingin lanjut memberi ASI, atau berhenti saja supaya tidak perlu frustasi.
Tapi memang apapun yang dilakukan dengan niat, puji Tuhan selalu membuahkan hasil. Niat saya bulat, menyusui Audrey supaya bisa menebus waktuku yang hilang saat di kantor. Menyusui Audrey supaya dia bisa mendapat ASI dan saya bisa merasakan jutaan ibu di luar sana yang mungkin punya perasaan / pengalaman yang sama. Karena itu saya hanya ingin berbagi, supaya mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri, dan terus semangat menyusui.
wah...liat fotonya pas kerja jadi bercermin diri sendiri.
ditempat ak kerja, tanggal merah tetap masuk (hiks....)
biar ga kehilangan momen dengan Angger, kubawalah dia ke kantor. sambil ngetik sambil menyusui... temen boleh sirik, menyusui jalan terus.
semoga bisa ampe dua tahun ya
wah... tenyata memang aku tidak sendiri,, berjuang untuk ASIX dan bekerja memang melelahkan,, di awal2 juga sempat stress dan nangis2.. Alhamdulillah sekarang Saga udah 5 bulan masih ASIX dan akan berusaha sampai 2thn (doakan ya mama semua)
I am a newbie here :)
Baby aku Kiandra 7 bulan skr, smpet ngalamanin juga tuh susahnya ngasih ASIX..huhuhuhu,, Semangat ya para Mommy buat kasih ASIX buat baby'nya... It is really not easy
Cheers..
waktu hamil, saya kira ganti diaper itu bakalan jadi hal yang menyusahkan...setelah anak saya lahir, saya baru sadar masalah ganti diaper itu ga ada apa-apanya dibandingkan masalah menyusui. bukan hanya menyusuinya yang susah, tapi juga pengorbanan yang kadang harus dilakukan untuk tetap bisa menyusui itu banyak. terimakasih buat sharingnya yang menguatkan saya.
ugh bener banget mom Ayu, awal pemberian ASI terutama di malam hari bener-bener melelahkan.
Kadang-kadang saking ngantuknya banyak cara yang saya lakukan seperti membasuh muka atau bahkan yang paling ekstrim biar bisa langsung sadar menampar pipi sendiri. Sadar sebentar tapi ngantuk tetap menyerang. Sering juga saya tertidur sambil menyusui dalam posisi duduk, untung Dewaji- now 4 months- tidak terjatuh.
Sejak itu saya berusaha mengenali kondisi Dewaji, bila saya pulang kerja dalam kondisi capek, saya usahakan mandi dan istirahat sebentar. Memang intinya anggota keluarga lain harus bisa membantu. Biasanya saya mengambil waktu dari jam 8 sampai 10 malam saya usahakan tidur. Nah giliran jam 10 malam sampe pagi saya ronda, hehehe. Jadi kalo Dewaji bangun sampai jam 4 pagi pun bisa dijalani tanpa rasa capek.