Ritme Keseharian Anak dalam Filosofi Pendidikan Waldorf

Febi Purnamasari A new mother of two who loves sharing whatever she has learned from seminars and books especially related to parenting issues. She’s now developing her career path as journalist for a national television. Belly-dancing is her hidden obsession.

Pernahkah Urban Mama mendengar tentang Metode Pendidikan Waldorf Steiner? Saya juga baru pertama kali mengetahuinya Agustus lalu ketika menghadiri diskusi parenting yang diadakan oleh Indonesia Waldorf Steiner Association. Narasumbernya adalah Edith Van Der Meer, yakni mentor komunitas Waldorf Steiner di Tanah Air. Edith sendiri sudah belasan tahun mengajar anak-anak usia prasekolah hingga sekolah dasar.

Diskusi bertema “Rhythm as A Gift for The Child and Family” ini tak hanya berhasil menarik perhatian saya sebagai ibu-ibu biasa, tapi juga figur publik seperti Penyanyi Andien Aisyah beserta suami dan Blogger Ashtra Dymach yang turut hadir dalam acara tersebut.

Sekilas tentang pendidikan Waldorf

Pada 1919 di Stuttgart (Jerman), Emil Molten, pengawas pabrik rokok Waldorf-Astoria memutuskan untuk membuka sebuah sekolah bagi anak-anak para buruh pabriknya. Molten pun menggandeng Rudolf Steiner yang merupakan filsuf, ilmuwan, sekaligus guru berkebangsaan Austria. Steiner menerima proposal Molten dan sekolah pertama dengan metode pendidikan Waldorf akhirnya berdiri.

Pendidikan Waldorf berusaha mengembangkan kemampuan intelektual, artistik, dan praktis para muridnya secara terpadu dan holistik. Selain itu, fokus sentral dari pendidikan Waldorf adalah pengembangan imajinasi dan kreativitas anak.

Pendidikan ini juga sangat menekankan upaya-upaya menjaga alam. Salah satu filosofi yang ditekankan dalam pendidikan Waldorf adalah koneksi dengan alam. Caranya dengan menunjukkan ritme alami kehidupan dan kekerabatan manusia dengan seluruh makhluk hidup kepada murid-muridnya.

Karena itulah, rutinitas anak untuk bersentuhan langsung dengan alam menjadi bagian dari kurikulum sekolah-sekolah dengan metode pendidikan ini. Misalnya, mulai dari keterlibatan murid di kebun sekolah sampai ketersediaan banyak waktu istirahat dan kelas-kelas di luar ruangan.

Perkembangan pendidikan Waldorf di Indonesia dan dunia

Menurut Kenny Dewi dari Indonesia Waldorf Steiner Association, perkembangan metode pendidikan ini di Indonesia cukup pesat. Waldorf education hadir di sini sekitar lima tahun yang lalu. Indonesia Waldorf Steiner Association pun berawal dari sebuah kelompok belajar di Balikpapan, Kalimantan Timur, yang mendalami pendidikan Waldorf.

Setelah melakukan study group, Komunitas Indonesia Waldorf Steiner Association mendirikan playgroup dan TK bernama Jagad Alit Waldorf School di Bandung yang sudah diizinkan menggunakan nama Waldorf. Selain di Bandung, sekolah yang menggunakan pendidikan Waldorf juga terdapat di Ubud, Bali, dan Yogyakarta. Di Bogor, Sekolah Cipta Cendikia sedang menjajaki metode pendidikan tersebut, lho.

Sementara menurut Edith, ada sekitar 200 sekolah Waldorf di dunia. Di Selandia Baru, negara yang menjadi tempat tinggal Edith, ada tujuh sekolah dengan metode Waldorf. Empat anak Edith pun tumbuh dengan metode Waldorf yang dipandu langsung olehnya. Mereka kini telah menjadi tenaga profesional di bidangnya masing-masing mulai dari geologis, guru di sekolah Waldorf, arsitek, sampai pakar yang menangani anak-anak autistik.

Berkenalan dengan filosofi Waldorf

Tak hanya aspek intelegensia, metode Waldorf juga memberikan pendidikan menyeluruh tentang cara menjadi manusia dewasa merdeka. Yaitu, manusia yang bisa menentukan hal yang dinginkan meski bukan sebebas-bebasnya.

Menurut Edith, usia 1-7 tahun sangatlah penting. Terutama, usia 3 tahun yang merupakan usia dasar dalam hal eksplorasi dan kemandirian. Waldorf sendiri menekankan pembelajaran yang berdasarkan pada perkembangan anak, bukan kurikulum.

Pendidikan Waldorf juga sangat menganjurkan bermain bebas (free play) menjadi bagian dari rutinitas keseharian anak.

Pendidikan Waldorf menekankan pentingnya bercerita menggunakan boneka handmade.

Ritme harian anak di sekolah Waldorf

Ritme harian memberikan anak kesempatan untuk memprediksi harinya. Dengan memiliki ritme harian, anak percaya dengan dunia yang bisa ia jelajahi ini. Ia juga merasa aman karena dapat bergantung padanya. Selain itu, ritme harian membuat waktu makan Si Kecil lebih sederhana dan dapat diprediksi. Sementara, ritme harian yang kurang baik dapat terlihat dari masalah-masalah perilaku yang muncul pada anak.

Perihal ritme harian, metode Waldorf berpegang pada prinsip breathing in and breathing out (selang-seling berkegiatan di luar dan dalam ruangan).

Jika dirunut dari kegiatan paling awal dalam keseharian anak yang bersekolah di TK Waldorf, jadwal mereka adalah sebagai berikut.

  • Bermain di luar (breathing in). 
  • Menikmati snack bersama teman-teman.
  • Morning circle sambil bergerak (anak-anak di bawah 7 tahun butuh bergerak lebih banyak).
  • Bermain di dalam ruangan.
  • Membereskan mainan bersama sembari menyanyikan tidy up song.
  • Bercerita (cerita yang sama selama dua bulan). Semakin tua usia anak, durasi bercerita semakin lama. Pada akhirnya, anak didorong untuk membuat cerita sendiri.

Edith juga membagikan tips untuk menunjang ritme harian anak bagi guru TK. Poin-poinnya sebagai berikut.

  • Lupakan sejenak masalah personal ketika sedang bersama anak.
  • Saat bersalaman, lihatlah mata anak.
  • Berikan anak kesempatan berbicara secara bergiliran/bergantian. Jadilah teladan bagi anak.
  • Sediakan waktu bermain bebas (unstructured free play) dengan batasan jelas saat gejala-gejala yang membahayakan atau mengganggu akan terjadi.

Menurut Edith, batasan atau larangan yang dimaksud tidak diberitahukan di awal.karena justru dapat menarik perhatian anak untuk melakukannya. Misal, ketika anak diperintahkan “jangan lari,” ia hanya mendengar “lari.”

“Kita mengatakan hal-hal yang kita ingin mereka lakukan. Misal, dengan berkata, ‘Mohon berjalan saja,’” jelas Edith.

Selain itu, terapkan batasan yang bisa meningkatkan harga dirinya. Contohnya, anak boleh memanjat pohon, namun berikan penanda sebagai batasan. Anak kelas TK A hanya boleh memanjat sampai pijakan pertama. Pijakan berikutnya hanya boleh dinaiki anak kelas TK B sehingga ia harus menunggu untuk mencobanya saat sudah naik kelas.

“Pengalaman menunggu sangat baik untuk anak-anak agar ia dapat melihat ke masa yang akan datang,” tambah perempuan yang lahir di Belanda ini.

Ritme harian anak di rumah

Nah, beberapa hal dari ritme harian di sekolah juga bisa Urban Mama terapkan di rumah jika belum menyekolahkan Si Kecil. Poin-poin tambahannya, antara lain sebagai berikut.

  • Anak makan bersama orang tua tiap sarapan dan makan malam agar keluarga selalu terkoneksi.
  • Ritme juga bisa diciptakan mingguan atau bulanan. Misal, jadwal rutin ke supermarket, berenang, ke taman, dan sebagainya.
  • Sediakan maksimal 15 mainan saja di rak. Berdasarkan penelitian, terlalu banyak mainan justru dapat membuat anak kewalahan. Prinsip ini juga berlaku untuk penempatan buku-buku.
  • Kita tidak harus duduk dengan anak setiap saat untuk menemaninya bermain. Ini karena anak akan sibuk sendiri.
  • Kurangi paparan aroma yang terlalu beragam pada anak.
  • Hindari paparan televisi dan musik yang menyala sepanjang hari.
  • Hindari merancang terlalu banyak agenda untuk anak. Menurut Edith, anak bisa mulai dikenalkan pada kegiatan ekstrakulikuler setelah berusia 7 tahun atau setelah giginya tanggal.

Hal penting yang juga perlu orang tua pahami, anak-anak zaman sekarang rentan stres karena menerima stimulasi yang terlalu banyak, terlalu dini, dan terlalu canggih. Karena itulah, upaya menjaga ritme harian anak sangatlah penting.

Bagaimana Edith memandang screen time? Menurutnya, screen time dapat meningkatkan risiko anak tantrum dan menjadi hiperaktif karena energi mereka tersimpan akibat duduk lama. Ketika screen dimatikan, energi tersebut pun keluar lewat amarah atau tantrum. Screen time juga membuat anak menerima stimulasi berlebih karena menyuguhkan tayangan dua dimensi yang bergerak cepat dan ratusan gambar setiap menitnya.

Child learn from human being not from screen,” tegas Edith.

Terakhir, Edith mengingatkan bahwa anak-anak tidak terlahir dengan rasa akan keindahan (sense of beauty). Karena itulah, tugas kita adalah menciptakan masa kanak-kanak yang indah dan diwarnai keajaiban.

Semoga rangkuman saya selama diskusi bersama Edith dapat memberikan sedikit gambaran tentang metode pendidikan Waldorf ya, Mama! Jika tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pendidikan Waldorf, Mama bisa mengunjungi Facebook page Indonesia Waldorf Steiner Association: https://www.facebook.com/waldorfindonesia/

 

Dok. Indonesia Waldorf Steiner Association & Shutterstock

Related Tags :

12 Comments

  1. avatar
    Krisna Soetanto February 18, 2019 3:37 pm

    thanks for sharing this. apakah ada yang tahu sekolah yang menerapkan waldorf ini di daerah BSD atau bintaro?

    1. avatar

      As .



  2. avatar
    mama kinar November 22, 2018 11:07 am

    Menyenangkan sekali ya sekolah dengan metode ini. Terima kasih mama Febi sudah berbagi ceritanya.

    1. avatar

      As .



  3. avatar
    Nala Gautama November 21, 2018 3:25 pm

    baca artikel ini adem banget rasanya. nyes! jadi mulai cari-cari info tentang sekolah yg pake metode ini. trims infonya ya mbaaa...

    1. avatar
      Febi November 21, 2018 4:19 pm

      Syukurlah. Sama-sama :)

      1. avatar

        As .



    2. avatar

      As .



  4. avatar
    Hannah Magnolia November 21, 2018 10:07 am

    Mbaa di Jakarta dimana aja ya sekolah yang menerapkan ini? Tolong infonya. Thx.

    1. avatar
      Febi November 21, 2018 4:19 pm

      Di Jakarta, sepertinya belum ada. Setahu saya dari dskusi tsb, yg terdekat di daerah Tangsel. Namanya, Rumah Bunga Waldorf Kindergarten. Mungkin bisa googling, Ma :)

      1. avatar

        As .



    2. avatar

      As .



  5. avatar
    Tyara Maryam November 21, 2018 8:14 am

    tertarik sekali mencari sekolah dengan metode ini setelah membaca artikel mba febi. terima kasih mba.

    1. avatar
      Febi November 21, 2018 4:19 pm

      Sama-sama :)

      1. avatar

        As .



    2. avatar

      As .