Terlahir sebagai Pribadi Baru Setelah Menjadi Ibu

Febi Purnamasari A new mother of two who loves sharing whatever she has learned from seminars and books especially related to parenting issues. She’s now developing her career path as journalist for a national television. Belly-dancing is her hidden obsession.

"For when a child is born the mother also is born again." -Gilbert Parker, novelis asal Kanada.

Peran sebagai ibu menjadi perjalanan hidup paling berkesan dan menjadikan saya pribadi yang baru. Di masa inilah, saya merasa bahagia sekaligus tertantang untuk menjadi lebih kuat lagi. Ini karena saat menjadi ibu baru, pengalaman seperti direndahkan, disepelekan, dan disalahkan sudah mewarnai kisah motherhood saya. Perasaan gagal sebagai ibu juga pernah saya alami hingga menimbulkan kecemasan dan ketakutan berlebih dalam diri.

Setelah menjadi ibu, ada banyak perubahan yang mempengaruhi mental saya. Karier duniawi saya mungkin tidak sesuai harapan saat masih lajang dulu. Saya juga sering mengalami konflik dengan orang-orang sekitar. Ini karena sejak menjadi ibu baru, mereka menyikapi saya secara berbeda.

Banyak hal lagi yang menyita pikiran saya terutama berkenaan dengan kesejahteraan kedua buah hati yang usianya berjarak 15 bulan saja. Pikiran saya terus-menerus mempertanyakan, “Apakah saya sudah melakukannya dengan benar?” Belum lagi, penyesalan-penyesalan yang muncul mengenai cara saya merawat anak-anak.

Meski begitu, di saat inilah saya memperoleh nilai-nilai kebaikan yang lebih banyak dibandingkan perjalanan hidup saya sebelumnya. Nilai-nilai ini rasanya sulit saya dapatkan tanpa menjadi seorang ibu.

 

Menghargai perbedaan

Saya belajar, perjalanan sebagai seorang ibu bukanlah ajang kompetisi mengenai sosok supermom yang terbaik. Ada banyak gaya parenting di luar sana dan tiap ibu berhak memilih cara yang paling cocok dengan kondisinya terkait berbagai aspek. Mulai dari aspek kesehatan, finansial, support system, dan sebagainya.

Keunikan kondisi inilah yang juga membuat tiap ibu memiliki keputusan yang berbeda-beda, entah itu perihal pilihan menjadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga, metode persalinan, pemberian ASI atau susu formula, metode pemberian MPASI, cara mendisiplinkan anak, dan sebagainya.

Saya sendiri pernah menjalani rutinitas sebagai ibu bekerja dan kini ibu rumah tangga. Saya tahu betul kedua peran tersebut memiliki tantangan besar dengan keunikan tersendiri. Setiap ibu pasti memiliki perjuangannya masing-masing yang mustahil bisa diperbandingkan satu sama lain karena mereka datang dari latar belakang beragam.

Sama halnya dalam melihat perkembangan anak. Jika dulu sering tergoda membandingkan tumbuh kembang buah hati dengan anak-anak lain seusianya, sekarang saya sudah tidak peduli lagi. Setiap individu itu unik. Tiap anak pun punya kisah tumbuh kembangnya masing-masing. Bagi saya kini, parenting maupun milestones adalah perjalanan saya dan suami bersama para buah hati. Kami berusaha melakukan upaya terbaik untuk mereka.

Don’t compare your life to others. There’s no comparison between the sun and the moon. They shine when it’s their time.” -Cassey Ho, Pengusaha asal Amerika Serikat

 

Pengorbanan dan keikhlasan

Saya sadar betul betapa Sang Ilahi seperti memberikan rentang waktu bagi saya untuk berproses sampai berada di titik sekarang ini. Yakni, proses dari bekerja penuh waktu dibantu dua orang pengasuh, bekerja dari rumah dibantu seorang pengasuh, sampai sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga yang mengambil tugas freelance sesekali saja tanpa bantuan pengasuh.

Ragam komentar bernada menyayangkan pendidikan yang tak diberdayakan untuk karier pun berdatangan silih berganti. Hal itu sempat membuat saya sedih, tapi akhirnya saya tersadar bahwa pendidikan yang telah diperoleh justru membuat saya lebih berhati-hati dalam mengasuh anak-anak. Saya pun mantap melepaskan titel duniawi demi masa kanak-kanak buah hati yang jauh lebih baik dari saya dulu.

 

Empati

Setelah menjadi ibu, saya berhenti menghakimi. Tak hanya terhadap sesama ibu, tapi juga orang-orang pada umumnya. Saya percaya setiap manusia memiliki cerita dan perjuangannya masing-masing. Beberapa detik maupun menit yang terlihat di hadapan saya tak sepantasnya menjadi sekadar acuan untuk menyimpulkan kesan mengenai seseorang. Rasanya tak adil bila hal itu terjadi. Ini karena terkadang saya mendapati kesan tak menyenangkan tentang anak saya ketika bersama orang lain. Sementara, saya sendiri sebagai ibunya tahu betul, ada banyak sekali kebaikan para buah hati yang tak terekspos oleh dunia luar.

Saya menjadi orang yang netral, enggan berpikir lebih jauh untuk memberikan label maupun penilaian subjektif tentang orang lain. Mind your own business, bisik hati kecil saya ketika dorongan untuk melabel itu muncul.

 

Self-love

Saya mengalami pergolakan mental setelah menjadi ibu karena hal-hal yang saya singgung di atas. Kemudian saya sadar betapa emosi diri dapat mempengaruhi cara saya memperlakukan anak-anak. Saya pun belajar untuk bisa merespon mereka sepenuh hati. Caranya tak lain membenahi diri saya sendiri dulu dengan lebih peka terhadap kejernihan pikiran.

Untuk menjaga pikiran tetap sehat, saya memilah-milah lagi hal-hal yang layak masuk ke dalam kehidupan saya. Selain itu, saya mulai menjauhi perdebatan yang dapat mengganggu pikiran.

Saya juga memberanikan diri untuk datang ke psikolog ketika sudah burn out. Biasanya saya merasa jauh lebih baik setelah berbicara dengan psikolog karena mereka bersikap objektif melihat masalah yang saya hadapi. Tak hanya menenangkan, psikolog membantu saya menghasilkan solusi bagi diri saya sendiri.

Saya menjadi lebih peka ketika diri saya butuh jeda. Ketika sudah muncul gejala burn out maupun kurang piknik, saya berusaha mencari sesuatu yang dapat membuat diri ini merasa lebih baik.

 

Lebih sadar akan kesehatan mental

Awal-awal menjadi ibu, saya mempunyai sejuta harapan dalam merawat dan mengasuh anak-anak. Tapi pada akhirnya, saya babak belur juga. Saya kemudian berusaha untuk realistis dengan meninggalkan cara-cara yang justru terlalu menguras energi dan pikiran demi menjaga kesehatan mental. Pick your battles. Itulah pesan sebuah situs parenting yang masih saya pegang hingga sekarang. 

Alih-alih menjadi supermom yang serba piawai, saya memilih menjadi ibu-ibu biasa yang bahagia.

 

Pantang menyerah

Saat menghadapi ujian, ada kalanya saya merasa ingin menyerah saja. Namun, peran sebagai ibu bukanlah seperti pekerjaan yang membuat kita bisa mengundurkan diri kapanpun diinginkan. Tugas sebagai ibu adalah pekerjaan seumur hidup. Dengan begitu, pilihannya adalah fight or fight bukan fight or flight. Saya pun memaksa diri untuk beradaptasi dengan masalah pengasuhan maupun keluarga yang dihadapi selama ini. 

Birth is not only about making babies. Birth is about making mothers - strong, competent, capable mothers who trust themselves and know their inner strength.” -Barbara Katz-Rothman, Sosiolog asal Amerika Serikat

 

Semangat belajar

Tentu tidak ada buku manual untuk menjadi orang tua. Sebagaimana kutipan Instagram @sainsotakanak.id, Orang tua selalu dapat belajar kapanpun. Tapi, anak tumbuh tak dapat menunggu."

Sejak menjadi ibu, saya pun merasa jauh lebih rajin belajar ketimbang sebelumnya. Saya membaca lebih banyak buku maupun terlibat secara sukarela ke berbagai diskusi yang berkaitan dengan anak. Semua demi mengusahakan tumbuh kembang yang optimal pada buah hati.

 

Motivasi hijrah

Pada akhirnya saya tersadar bahwa pengalaman menjadi ibu membuat tujuan hidup saya lebih jelas. Saya mulai meninggalkan kebiasaan maupun gaya hidup yang tak ingin saya lihat pada diri anak-anak kelak. Saya juga lebih sering mengucapkan terima kasih, maaf, dan permisi pada mereka maupun orang lain. 

Begitu pula dalam hal ibadah. Saya lebih terpacu untuk memperdalam lagi ilmu agama karena kelak saya dan suami akan menjadi ‘kamus’ bagi mereka untuk mendapatkan jawaban atas berbagai hal.

Bagaimana denganmu, Ma? Nilai-nilai kebaikan apa saja yang begitu membekas dalam diri setelah resmi menjadi seorang ibu? Bagikan ceritamu di kolom komentar, yuk!

 

Related Tags : ,

0 Comments