Warisan Leluhur: Gendongan Jarik

Saya hidup dengan tradisi Jawa yang sangat lekat dengan kain jarik. Acara lamaran, nikahan, bahkan melahiran, jarik selalu ikut menyertai. Ketika El lahir, jarik digunakan untuk alas tidur dan gendongan. Terkadang El juga dibedong dengan jarik jika kain bedong dari flanel habis/harus dicuci. Jarik juga saya pakai untuk mempercepat pemulihan pasca melahirkan dan mempermudah urusan kamar mandi. Tidak perlu menekuk-nekuk kaki seperti ketika memakai rok atau celana.

Saya penggemar fanatik jarik. Jarik adalah senjata andalan terakhir dan terampuh saya untuk membuat El tertidur. Kalau El susah fokus untuk makan, jarik juga bisa menggantikan fungsi high chair. Ketika jalan-jalan ke mall atau tempat keramaian, jarik adalah barang penting yang harus dibawa. Saya tidak peduli dengan omongan ataupun pikiran orang yang menganggap gendongan jarik itu kuno. Yang terpenting adalah El merasa aman dan nyaman.

Saya banyak mendapatkan hadiah gendongan dengan model yang beraneka. Mulai dari gendongan sling, ransel, gendongan jarik, dan gendongan depan. Tapi tak ada satupun yang bisa mengalahkan kecintaan saya pada jarik. Jarang sekali saya jumpai ibu-ibu muda menggendong anaknya ketika jalan di mall. Ibu-ibu lebih banyak memakai stroller. Stroller membuat ibu-ibu muda ini merasa nyaman membawa anaknya. Ini sangat berlawanan dengan ibu-ibu muda di luar negeri yang dengan bangganya menggendong anak. Rupanya kain gendongan sedang jadi tren di luar negeri. Sekelas artis saja mau menggendong anaknya kemana-mana...*jadi inget lagunya mbah surip-tak gendong kemana-mana*.

Bagaimana kalo nanti gendongan jarik dipatenkan di luar negeri? Pasti ibu-ibu sangat menyesal karena tidak mencintai gendongan jarik sebagai warisan luhur bangsa. Makanya mulailah dari sekarang untuk menggunakan gendongan jarik. Bagi yang tidak bisa, harus belajar. Memang, gendongan ini sangat sulit dikenakan bagi orang yang belum terbiasa. Saya sampai nangis-nangis belajar menggendong anak dengan kain ini.