Belajar Mengelola Uang Melalui Uang Saku
Sejak duduk di kelas tiga SD, Albert mulai saya berikan uang saku harian. Sebenarnya ia tetap saya bawakan bekal setiap hari berupa roti, susu, dan buah potong. Nah, jika sudah membawa bekal, untuk apa masih diberikan uang saku? Bukankah sebenarnya ia tidak terlalu memerlukannya?
Pada saat Albert kelas satu dan dua, ia belum saya berikan uang saku harian. Jadi secara acak jika ia minta dibelikan sesuatu dan kebetulan saya yang menjemput, biasanya akan saya belikan. Namun saat saya perhatikan, frekuensi makin lama makin sering. Belum lagi jika saya ajak mampir minimarket saat kebetulan ada yang perlu dibeli, Albert pasti minta dibelikan sesuatu. Atau tidak jarang ia ingin membeli sesuatu di tukang mainan yang menurut saya tidak penting dan hanya buang-buang uang saja.
Akhirnya saya memutuskan untuk mulai memberikannya uang saku harian. Jadi jika ia mau membeli sesuatu, silakan gunakan uang saku itu. Lagi pula saya berpikir, cepat atau lambat ia harus belajar mengelola keuangan, tidak hanya menabung, tetapi juga menggunakan uangnya secara bijak. Bukankah belajar dari praktik langsung akan lebih menarik ketimbang hanya dari teori?
Pada minggu pertama mendapatkan uang saku, tentunya semua langsung dibelanjakan habis setiap hari. Akibatnya ketika ia ingin membeli sesuatu yang harganya lebih mahal dari uang saku harian, hal itu tidak bisa dilakukan. Pada minggu kedua ia mulai terlihat lebih perhitungan. Saat ingin membeli sesuatu yang harganya dua kali lipat uang saku, maka ia rela untuk tidak jajan sehari agar besok uangnya cukup. Ada kalanya ia ingin membeli mainan yang harganya sepuluh kali lipat uang sakunya. Untuk itu, Albert menabung dengan menyisihkan sekitar 30% dari uang sakunya per minggu. Jadi tidak berturut-turut 10 hari tanpa jajan, melainkan dua hari jajan, lalu sehari menabung. Saya juga memintanya untuk menabung dan menyisihkan uang untuk kolekte di gereja.
Bagaimana jika saya kebetulan mengajaknya ke minimarket? Saya memutuskan untuk memberinya jatah Rp10.000,- per minggu untuk belanja di minimarket. Terserah mau dibelanjakan apa, mulai dari camilan, permen, atau es krim. Yang penting jatahnya segitu. Biasanya saya berikan uangnya sambil menunggu di dekat kasir atau jika kebetulan saya perlu membeli sesuatu, kami akan membayar sendiri-sendiri. Jadi tidak ada cerita kalau uangnya kurang lalu ia minta saya tambahkan. Prinsipnya, jika ingin membeli barang yang lebih mahal, silakan usahakan sendiri dengan menambahkan uang saku atau menunggu sampai minggu depan.
Satu hal penting bagi orang tua saat menerapkan hal ini, kita juga harus konsisten. Tidak mungkin jika anak dilarang sering-sering jajan di minimarket, tetapi kita sendiri sering mengajak mampir ke sana. Misalnya mengajak ke sana dengan tujuan membeli barang A, jangan sampai keluar dari sana dengan membeli barang B dan C juga yang tidak direncanakan. Kita juga harus memberikan briefing yang lengkap dan jelas sebelum pergi, sehingga rengekan untuk membeli barang-barang lain karena lapar mata bisa dihindari. Selain itu, orang tua harus tega tidak menambahkan jika uangnya kurang. Kalau belum cukup, kita bisa kembali lagi saat uangnya sudah cukup. Bonusnya, ia makin lancar menghitung, karena berulang kali harus memperkirakan kapan ya target membeli mainan A tercapai dengan menabung uang saku. Atau memperhitungkan barang yang ingin dibelinya di minimarket agar tidak lebih dari sepuluh ribu.
Semoga berguna bagi Urban Mama, dan jangan kaget jika suatu hari si kecil protes, “Kok Mama sering dapat paket ya? Aku gak pernah? Katanya harus hemat dan jangan boros, kok sering belanja online?”
Mungkin Albert belanja di tukang mainan mau membantu bapak tukang mainannya, ma :)
Helping in disguise
Bwahahah.. aku sering kena tegor Herbie kalau belanja banyak. Dia selalu cek struk dan belanjaanku.
Paket juga begitu, padahal nggak semua punya mama, hiks..
Soalnya anak kedua emang lebih "paham" tentang uang sih, jadi perhitungan bangeeett..
Nice artikel ka gab. Btw aku juga sekarang nyontek jatah mingguan itu ;)