Big Girls and Boys Do Cry
Seberapa sering kita mendengar orang-orang di lingkungan sekitar, atau diri kita sendiri, berkata begini,
"Anak pintar jangan menangis ya"
"Kamu sudah besar, jangan menangis dong. Malu!"
Atau, "Wah luka sedikit tidak sakit, kok. Sudah, jangan cengeng".
(image credit: www.gettyimages.com)
Saya sendiri baru saja tadi malam mendengar suami berkata ke anak kami (4,5 bulan) yang menangis saat diganti popok "Anak ayah yang pintar jangan menangis ya, kan pintar". Semalaman itu, saya terus berpikir bahwa ada yang salah dari apa yang suami katakan tersebut.
Pikiran saya langsung teringat pada salah satu keponakan saya yang sekarang berumur 11 tahun. Keponakan saya ini memiliki kesulitan untuk mengekspresikan perasaannya, entah itu sedih, takut, senang, marah, ataupun malu. Bisa dibilang ia memendam apa yang ia rasakan dan pada satu saat tertentu perasaan yang ia pendam akan keluar secara berlebihan, sampai beberapa kali pada saat tidur ia mengigau sampai menangis tanpa ia sadari.
Akhirnya saya tahu apa yang salah dari kalimat tersebut semalam. Meski diucapkan mungkin dengan maksud menghibur atau menenangkan, tetapi saya tidak mau anak saya dipaksa untuk tidak mengeluarkan emosinya lewat tangisan.
Secara tidak sadar, kita sering melarang anak-anak untuk menumpahkan emosinya. Apakah menangis menunjukkan mereka bukan anak pintar, bukan anak hebat, atau tidak kuat? Apakah menangis membuat mereka jadi anak lemah atau cengeng? Daripada melarang mereka menangis, alangkah lebih baik bila kita informasikan emosi yang sedang mereka rasakan, seperti: "Anak ibu menangis karena sakit jatuh dari sepeda, ya? Ayo kita obati lukanya", atau "Alenka menangis karena bajunya Ibu ganti ya... Nah, sekarang sudah bersih lagi kan bajunya" .
Bayangkan saat kita orang dewasa sedang sangat sedih dan seseorang menyuruh kita untuk diam dan berhenti menangis. Akhirnya kita akan menganggap bahwa menangis adalah suatu kesalahan besar yang tidak boleh dilakukan sama sekali. It's ok for kids to cry, let it out. Karena sebagai orangtua, tugas kita adalah menangkap bola emosi yang anak-anak lemparkan dan bukan menepisnya jauh-jauh.
Setuju, siapa saja boleh kok nangis. Soalnya dulu kid1 pernah susah ngutarain perasaannya dan malah ngamuk2. Ternyata ketauan suka dibilang ga boleh nangis :( jadi bingung gt.
Sekarang sih anak2 dikasih tau kalau nangis boleh, seperlunya aja. Asal nggak melukai diri dan orang lain. Setelah nangis baru deh cerita sambil peluk2an
artikel ini jadi pengingat saya untuk anak-anak :)
Kayakny artikel ini perlu saya print deh biar para Eyang baca. He he..,
Soalny biasany yg heboh dgn tangisan Arel-anak saya justru para Eyangny (kl pas lg nginep di rmh Eyangny).Krna kadang2 selain untuk menunjukkan emosi, tangisan juga bisa jadi 'senjata' untuk mendapatkan keinginan si kecil. Saya dan suami biasany membiarkan Arel menangis smpi selesai-bahkan saat dia merajuk dgn tangisan untuk hal-hal menurut kami 'tdk pas' (tujuanny biar Arel tahu tdk smua dia mau didapatkan, belajar taat,mengendalikan diri). Tp kl sdh sm Eyangnya...malah kami yang dimarahi kl Arel nangis. Bahkan kl Arel ditanya,"Siapa yg nakal?Mama y?" pasti saya/suami lgsg ditunjuk dgn telunjuk kecilnya.
hehehe...yang pasti sih, orang tua harus pinter banget untuk mbaca makna tangisan si kecil ya krn si kecil punya banyak jenis tangisan, dari tangisan yg pura pura untuk mencapai tujuan ttt sampai tangisan murni krn letusan emosi :D.
setuju sama mba anin...yang dewasa aja masih berhak untuk nangis apalagi anak-anak yang ingin menumpahkan emosi mereka..