Equal Rights, Equal Opportunities

Sampai saat ini masih banyak anak-anak dengan disabilitas yang belum memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Adanya stigma dan diskriminasi menyebabkan orangtua enggan atau malu untuk membawa anaknya ke pusat layanan kesehatan maupun rehabilitasi sosial. Keluarga juga berpandangan anak dengan disabilitas (AdD)/ anak berkebutuhan khusus (ABK) tidak membutuhkan layanan pendidikan. Ini membuat fenomena AdD/ ABK terkunci di dalam keluarga.

Mari kita simak kisah-kisah berikut ini:


“Anak saya spesial, tapi dia akan lebih spesial lagi karena dia punya ibu yang hebat. Saya harus jadi ibu yang hebat, saya punya bintang yang suatu saat akan bersinar. Jangan lelah, jangan merasa capek, jangan merasa tersudutkan, karena saya hebat.”

Kalimat itu tertulis di atas secarik kertas yang tertempel di pintu lemari yang terletak di sudut kamar tidur Kartini (36). Kartini adalah ibunda dari Silva Aulia Nugraha (8), anak dengan disabilitas (AdD) disebabkan hydrocepallus, ADHD ringan, disleksia, dan gangguan penglihatan.

Bagi Kartini, jenis-jenis hambatan yang dialami Silva itu justru menjadikan puteri keduanya itu sangat spesial. Silva memiliki kebutuhan yang berbeda dengan anak-anak lain sebayanya. Oleh karena itu, Kartini tak akan pernah mengizinkan siapapun termasuk dirinya sendiri untuk menyepelekan kemampuan Silva. Naluri keibuannya yakin, di balik itu semua, Silva menyimpan potensi luar biasa yang akan bersinar suatu saat.

Seiring pertumbuhan Silva yang pesat, Kartini pun makin bersemangat dalam mendampingi anaknya itu. Ia lalu bergabung dengan perkumpulan orangtua yang dibentuk bersama Save the Children. Baginya, perkumpulan itu menjadi tempat baginya untuk berbagi pengalaman dan menambah pengetahuan. “Memang perlu lembaga non pemerintah yang bisa langsung menyentuh ke orangtua AdD/ABK. Banyak orangtua yang masih tabu untuk ikut perkumpulan seperti ini. Padahal dengan pertemuan ini, kami jadi banyak pengetahuan,” katanya.

***

Kepala SDN Citarip Barat, Hayati (kiri) dan Guru kelas IV, Tien Roshani di ruang kerjanya.

Keberadaan ABK/AdD di SD awalnya dirasa mempersulit kerja guru. Menurut Tien, tidak semua guru bersedia menerima ABK/AdD menjadi anak didiknya di kelas. Sebab, para guru juga tidak dibekali dengan pendidikan khusus untuk mendidik ABK/AdD. “Paling gampangnya, tidak semua guru juga bisa sabar mendidik anak-anak itu,” katanya.

Namun, Kepala SDN Citarip, Hayati, mencoba meyakinkan para guru untuk bersedia mengajar ABK/AdD di sekolah tersebut. “Awalnya guru-guru tidak merasa betah dan menganggap ini sebagai beban. Sementara, bahan ajar begitu banyak. Kami sendiri menjadi stres kalau anak seperti ini dituntut prestasi yang sama seperti anak-anak pada umumnya,” ujarnya.

Untuk menjaga semangat para guru, Hayati juga menyelenggarakan pertemuan rutin sebagai ajang curahan hati (curhat) para guru dalam proses belajar mengajar di sekolah. Kepada para guru, Hayati selalu berusaha menumbuhkan rasa empati yang tinggi terhadap anak-anak didik. “Saya kembalikan seandainya anak tersebut adalah anak kita sendiri. Hati guru sering disentuh. Kalau tidak di sini, anak-anak itu mau sekolah di mana. Alhamdulillah, guru-guru mengerti dan menjadi berempati. Mudah-mudahan ini lahan ibadah kami,” tutur Hayati.

Hayati dan Tien mengaku bahwa kehadiran Save the Children dengan berbagai kegiatannya telah membuka mata dan pikirannya sebagai guru di sekolah yang mengajar siswa AdD/ABK. Bagi mereka label sekolah inklusif itu sesungguhnya tidak lagi diperlukan, karena sesungguhnya seluruh sekolah itu wajib menerima anak didik dengan kondisi seperti apapun. Sebab, pendidikan adalah hak bagi seluruh anak.

***

Rehabilitasi Berbasis Masyarakat: Karena Keluarga adalah Terapis Terbaik bagi Anak dengan Disabilitas

Berbekal semangat untuk mendukung persamaan hak dan kesempatan bagi anak-anak dengan disabilitas, Save the Children dengan mendapatkan dukungan dari IKEA Foundation mengadakan program Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) atau Community-based Rehabilitation (CBR). Save the Children mengangkat kampanye 'Equal Rights, Equal Opportunities' yang bertujuan agar anak-anak dengan disabilitas bisa mendapatkan hak dan kesempatan yang sama di berbagai bidang dan aspek kehidupan mereka.

Melalui program ini, Save the Children memfasilitasi orangtua untuk bisa menjadi terapis terbaik bagi anak-anak disabilitas, dengan memberikan pelatihan, konsultasi dan juga ilmu pengetahuan yang diperlukan. Selain itu, para orangtua bisa saling berbagi pengalaman mereka dalam mengurus anak-anak mereka yang spesial dan unik. Dengan demikian, orangtua bisa termotivasi untuk terus memiliki harapan dan bersemangat dalam mengasuh anak mereka.

Dalam menjalanan RBM, Save the Children secara erat juga bekerjasama dengan pemerintahan baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten, hingga desa. Mereka juga bersinergi dengan kelompok masyarakat, forum keluarga, lembaga swadaya masyarakat, rumah sakit, dan lembaga lain yang fokus pada perlindungan anak, khususnya anak dengan disabilitas. Dengan demikian, orang tua bisa mendapatkan fasilitas dan dukungan lain yang lebih lengkap lagi.

Hingga saat ini, Save the Children telah mendirikan sebanyak 184 RBM dengan dukungan dari 312 kader/ volunteer, untuk memfasilitasi 2.853 anak disabilitas. Tidak hanya berhenti sampai di situ, Save the Children juga bekerjasama dengan Dinas Pendidikan tingkat propinsi dan setempat untuk memberikan pelayanan di 31 sekolah inklusif dan 14 Sekolah Luar Biasa. Sampai dengan saat ini, jumlah anak berkebutuhan khusus yang telah bersekolah telah mencapai 436 anak. Wilayah kerja Save the Children tersebar di 6 kabupaten/kota, yaitu: Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut.

Tujuan yang hendak dicapai dari semua kegiatan ini adalah agar semua anak dengan disabilitas dan keluarganya di Indonesia, khususnya di area project, mendapatkan haknya melalui akses rehabilitasi berbasis masyarakat, dan pendidikan yang berkualitas. Selain itu, lebih jauh orang tua dan anak disabilitas juga lebih percaya diri dan diterima oleh lingkungannya.

Related Tags : ,,

8 Comments

  1. avatar
    Eka Gobel February 10, 2015 9:11 pm

    salut banget sama para orangtua dengan AdD! semoga selalu dikasih kesehatan, ilmu dan rejeki yang bermanfaat!

    1. avatar

      As .



  2. avatar
    Ummu Alfathoni February 10, 2015 12:16 pm

    Im so proud with you mom...
    Mereka adalah anak anak dengan keistimewaan tersendiri..
    :-*

    1. avatar

      As .



  3. avatar
    Raima Syahidah Noors February 10, 2015 11:38 am

    Dulu tinggal di rumah yang dekat dengan SLB, selalu terharu dan kagum setiap melihat orang tua yang memiliki anak AdD/ABK tetap semangat dan ceria mengantar anaknya sekolah.
    Setuju dengan komen-komen di atas. Semoga empati masyarakat terus tumbuh dan fasilitas anak-anak ABK semakin baik dan semakin banyak.

    1. avatar

      As .



  4. avatar
    Cindy Vania February 5, 2015 8:49 pm

    Salut dengan para orang tua yang memiliki anak SBK dan juga para pengajar anak-anak ABK.

    Setuju sama mbak wiwit,teh ninit dan kak ipeh. Semoga empati masyarakat terus tumbuh dan fasilitas anak-anak ABK semakin baik dan semakin banyak.

    1. avatar

      As .



  5. avatar
    Gabriella F February 5, 2015 7:41 am

    Salut bagi para orangtua ABK, semoga selalu semangat mendidik anak-anak spesialnya ya. Semoga ke depannya fasilitas untuk anak-anak ABK makin banyak, sehingga mereka punya kesempatan yang sama.

    1. avatar

      As .