Gejala Stress Pada Anak
*image dari gettyimages.com
Minggu lalu, tepatnya pada tanggal 20 Maret 2012, saya menghadiri undangan bincang-bincang mengenai gejala stress pada anak. Dari topiknya saja sudah sangat menarik. Ada dua pembicara yang hadir, yaitu Dra. Ratih Ibrahim MM. Psikolog, Direktur Personal Growth dan Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak.
Apakah urban Mama tahu bahwa anak usia bawah lima tahun (balita) juga bisa mengalami stress? Berdasarkan catatan Personal Growth ditemukan bahwa 4 dari 5 anak yang datang berkonsultasi, terindikasi stress berat.
Ratih Ibrahim mengungkapkan bahwa gejala stress pada anak disebabkan karena begitu banyak perubahan (life-changes) yang terjadi di berbagai aspek kehidupan yang sangat cepat dan intens sifatnya. Untuk menjawab tuntutan jaman, orangtua dan anak dituntut mampu mengikuti dan beradaptasi dengan semua perubahan tersebut. Akibat perubahan di berbagai aspek kehidupan karena era globalisasi.Sebagai orangtua, kita tentu ingin anak-anak kita menjadi orang yang berhasil di masa depan dan mampu menjawab tantangan jaman. Sebagian orangtua memberikan begitu banyak stimulasi yang diyakini akan membantu anaknya tumbuh menjadi anak Indonesia yang hebat dan tangguh. Anak-anak usia PAUD seharusnya merasa nyaman dan enjoy di sekolah. Mereka senang datang ke sekolah. Biarkan mereka bermain dengan teman-temannya. Stimulasi perlu, tetapi jangan lebay. Jangan biarkan anak over stimulation, les ini itu yang belum perlu. Berapa banyak sekolah yang mengharuskan anak sudah bisa membaca dan berhitung saat masuk SD padahal seharusnya itu dipelajari saat SD. Beban akademik yang kini ditanggung anak jauh lebih berat. Akibat kurang komunikasi dua arah yang berfungsi baik antara orangtua dengan anak, memiliki potensi membuat anak stress.
Anak-anak yang stress ini terlihat secara fisik, emosi, psikologis juga sosial. Tanda-tandanya antara lain adalah sering mimpi buruk, mengigau, nafsu makan turun, sering menggigit gigi, nilai akademis turun, rewel, mudah tersinggung, pemarah, kehilangan minat, percaya diri luntur, menunjukkan sikap gelisah, uring-uringan, bahkan ada yang menarik diri dari pertemanan.
Setelah serangkaian proses konseling bersama anak dan orangtuanya, mbak Ratih Ibrahim menemukan beberapa faktor penyebabnya antara lain gaya pengasuhan orang tua (parenting style) yang kurang tepat, baik yang sifatnya otoriter, kurang demokratis, atau abai terhadap anak. Faktor lain juga berasal dari tekanan dari lingkungan (social pressure), maupun cara stimulasi orang tua yang keliru.
"Tanamkan nilai, bukan obsesi." Pak Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, mengatakan bahwa ibunya bukan seseorang yang bisa membaca tetapi selalu menanamkan nilai kepada anak-anaknya untuk belajar.Perlu urban Mama ketahui bahwa fenomena anak yang menunjukkan indikasi stress berat merupakan bagian dari pelanggaran hak anak. Komnas Perlindungan Anak mencatat sepanjang 2011 terjadi peningkatan berbagai bentuk pengabaian dan pelanggaran hak anak di Indonesia, sehingga gejala anak stress di Indonesia pun meningkat pula.
Arist Merdeka Sirait, mengungkapkan, sepanjang 2011 Komnas PA mencatat terjadinya 2.386 kasus pelanggaran, atau bila dirata-rata menerima laporan 200 kasus setiap bulan. Angka itu meningkat 98 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hasil pantauan dan konseling Personal Growth menunjukkan bahwa 82.9 persen penyebab anak stress berasal dari minimnya komunikasi orangtua, ditambah dengan padatnya aktivitas anak, sehingga hak bermain dan rekreasi anak sangat berkurang.
Pak Arist menyarankan agar urban Mama setiap hari menyempatkan diri untuk "ngopi" ngobrol pagi dengan suami dan anak-anak sebelum melakukan aktivitas. Sarapan bersama dan membicarakan rencana hari ini akan melakukan apa saja. Kalau tidak, bisa diganti saat makan malam.
“Oleh sebab itu tidak bisa ditunda lagi, ada banyak hal yang perlu kita lakukan untuk membantu anak-anak kita, sebagai bagian dari masyarakat dunia yang memiliki kompetensi individual dan sosial agar tangguh dan mampu menjawab tantangan di masa depannya. Bisa saya katakan, kita perlu bekerja bersama-sama untuk membangun generasi muda yang siap menjawab tantangan jaman, the life-ready generation,” tambah mbak Ratih Ibrahim.
Generasi life-ready memiliki kompetensi individual baik secara fisik, kognisi, emosi, dan juga kompetensi sosial, sehingga ketika ia menapaki masa depannya anak tersebut siap dan tangguh dalam menjawab tantangan Indonesia sebagai bangsa, di persaingan dunia, yaitu pada tahun 2025 Indonesia ditargetkan masuk 10 besar Negara berpenghasilan tertinggi di dunia.
Bagaimana pun, rumah adalah basis pendidikan. Sekolah melengkapi. Tanamkan selalu bahwa anak itu adalah titipan dari Tuhan. Bukan milik. Perlakukan anak dengan adil, dengan damai dan cinta.
wach.. thanks buat artikelnya, membuka mata saya juga.. apakah jangan2 anak saya stress ya? kalau gejalanya:
-susah banget bangun tidur pagi2.
-mudah cengeng dan mudah marah
-terkadang mimpi buruk & mengigau.
-belakangan sering sakit perut, muntah2, sering banget BAB.
any advice...??
thank you..
Terima kasih artikel-nya. Sangat membangun dan membuka mata. Mencari bakatnya, memaklumi kekurangannya...
ow..ow...,mengerikan sangat..,semoga terdeteksi lebih cepat agar kehidupan anak lebih bahagia dan berkembang sebagaimana mestiya..
Makasih artikel nya.. :)
Kembali diingatkan bahwa semua itu akan indah pada masa nya.. seperti hal na kita mengajarkan ke anak. Jika waktu na tepat maka anak akan merasa senang pula.. sebaliknya jk kita mengajarkan sesuatu yg belum sesuai dengan umur nya maka dia akan merasa terbebani *_^
setujuh sama mba meiza ^^