How I Met The Urban Mama
Artikel ini ditulis oleh Retno Aini, pemenang TUM's 1st Anniversary Writing Contest. Artikel ini juga dipublikasikan di Majalah Ayahbunda sebagai apresiasi terhadap pemenang.
Saat dokter memperlihatkan dua garis pink di testpack dan bilang: “Kamu positif hamil…”, ada dua perasaan yang seketika muncul:
1. Gembira.
2. Bingung.
Perasaan nomor dua-lah yang membawa saya ‘bertemu’ dengan The Urban Mama.
Jujur saya nggak pernah menyangka akan menjadi seorang ibu, seperti sekarang ini. Dulu yang terpikir menjadi ibu = evolutionary obligation yang secara alami terjadi nanti, saat saya sudah siap. Kenyataannya saat dokter memastikan positif hamil, dalam hati saya malah ngebatin, “Tuhan, apa iya saya beneran siap?”.
Jadi yah, rasanya antara gembira, kaget dan bingung saat menjalani pengalaman baru ini. Terlebih lagi selama hamil dan bulan-bulan awal mengasuh Alma kami hidup di rantau, jauh dari orangtua. Setiap hari yang terpikir adalah, “Apakah kami bisa bertahan?”. Pas awal-awal kehamilan sih masih nyantai, lagi senang-senangnya baru tahu hamil. Tapi begitu mual-mual menyerang, tidur nggak lagi nyaman dan segala ‘keajaiban’ lainnya muncul, mulai deh bingung. Makin hari, semakin banyak yang pengen ditanyain. Bertanya ke orangtua pun hanya bisa lewat telepon, sms atau via YM (yang mana hampir tiap hari kami lakukan). OK lah, kami coba baca-baca buku, browsing dan sign-up ke beberapa situs informasi kehamilan dan parenting… tapi ujung-ujungnya malah bingung, kebanyakan informasi! Saya sampai bertanya-tanya, dengan informasi segambreng begini, gimana para orangtua itu bisa tahu apa yang harus dilakukan? Dan pertanyaan terbesar saya adalah will my maternal instinct kicks in? And when? Karena saya nggak pernah punya pengalaman ngurus anak kecil.
Sebenarnya saya pernah bergabung di beberapa milis parenting, tapi selalu berakhir dengan mengirim e-mail bersubjek “unsubscribe“. Alasannya simpel, terlalu banyak informasi yang berseliweran dan kental sekali dengan aura competitive parenting. Lumayan kaget juga saat mendapati kenyataan bahwa women can be so cruel to each other when it comes to mothering. Nyaris semua topik dijadikan bahan peperangan kompetisi untuk menentukan seperti apa contoh ibu yang ‘pantas’: melahirkan normal atau operasi caesar, senam hamil atau tidak, ASI eksklusif atau susu-formula, pro-vaksin atau kontra, MPASI buatan sendiri atau instant manufactured baby-food… dan masih banyak lagi. Semuanya seperti berlomba-lomba membandingkan untuk menentukan mana yang lebih benar. Kemana hal-hal yang bernama empathy, supportive dan respecting each other’s opinion? Bagaimana kalau nanti kami harus membuat pilihan yang berbeda dengan mahzab parenting pada umumnya (kita nggak akan pernah tahu, kan?), akankah kami berakhir dicabik-cabik habis oleh komentar-komentar silet?
November 2009, dalam kebingungan akibat semakin banyak pertanyaan yang muncul (sementara perut sudah makin membesar), saya ‘bertemu’ dengan The Urban Mama (TUM). Kabar akan lahirnya TUM ini saya baca dari blognya istribawel. Saat itu TUM masih berupa beta-version. Karena penasaran, akhirnya saya ikutan sign-up sembari dalam hati berharap semoga pencarian saya akan komunitas yang parent-friendly berujung di sini. Kesan pertama saat ‘berjumpa’ dengan TUM: namanya keren! Logonya juga klop menggambarkan ‘penampakan’ ibu-ibu masa kini, menggendong anak sambil megang handheld gadget dan bawa tas (bisa jadi tas belanjaan ataupun tas laptop). Anggotanya banyak dan dari beragam latarbelakang karir… tapi ada kesamaannya... sama-sama ortu muda (atau berjiwa muda) yang juga berperan sebagai manager rumah tangga, pendidik anak, sekaligus sahabat untuk sesama. Dan yang paling bikin hati adem-tentram-sumringah adalah pas baca mottonya: there is always a different story in every parenting style. Kayaknya bakalan seru nih di sini.
Selama ini saya lebih sering jadi silent readernya forum TUM. Seneng deh ngikutin bahasan topiknya: rapih & runut, jadi enak dibaca (ini penting banget karena seringnya baca lewat handphone). Agak-agak norak juga sih saya, soalnya baru sekali ini jadi anggota sebuah forum, sekeren TUM pula. Perjalanan mengenal TUM dimulai dengan ‘menamatkan’ baca topik bahasan Morning Sickness & What To Eat, karena saya kuatir masih mual-mual hebat & susah makan sampai usia kehamilan 5 bulan. Saat bingung mengenai efek senam hamil, lega sekali begitu baca di TUM kalau rajin berjalan kaki bisa memiliki efek yang sama baiknya dengan senam hamil, bahkan lebih. Selama di Penang saya memang kemana-mana jalan kaki atau naik bus, jadi lumayan laa dapet sesi senam-hamil gratisan sambil belanja & jalan-jalan. Bahasan Useful Baby Items & Shopping List for Newborn juga sangat membantu saya menyusun budget belanja pernak-pernik si bayi. Lucunya ada juga thread terpisah yang membahas Unuseful Baby Items, khusus membahas dosa-dosa kecil (maupun besar) saat berbelanja perlengkapan bayi. Bacanya cukup berhasil meredam kekalapan saya saat berbelanja (plus sambil dipelototin galak sama suami). Eh tapi kambuh lagi sih setelah baca thread Cloth Diaper & Mama’s Mall, yang mana adalah racun-belanja paling sakti yang pernah saya ‘tenggak’.
Saat kehamilan masuk trimester-2, saya memberanikan diri untuk berbagi mengenai kondisi kehamilan dengan kista endometriosis & meminta info dari TUMblers (TUM-beloved followers) yang mengalami kondisi serupa. Di luar dugaan, banyak TUMblers yang ikut sharing pengalaman serupa & memberi banyak masukan positif. Ditambah hasil diagnosa yang bagus dari dokter, ini semakin menyemangati & meyakinkan saya dan suami kalau kistanya bisa sembuh & Alma akan lahir selamat. Karena informasi di thread Travelling During Pregnancy-lah saya jadi berani pulang mudik terbang di usia kehamilan 2.5 bulan (yang kemudian diceritakan di sini). Begitu pula saat Alma dibawa terbang pulang ke tanah air; mempraktekkan tips di topik Travelling With Infant sukses bikin Alma kalem & perjalanan berlangsung nyaman.
Beberapa tantangan fisik yang mempengaruhi proses menyusui juga baru saya ketahui dari TUM. Salah satunya adalah inverted nipple. Sebelumnya dari hasil googling, hanya disebutkan bahwa gangguan ini membuat proses menyusui menjadi lebih sulit karena mempengaruhi kemampuan bayi untuk latching-on & terasa sakit bagi si ibu. Untung baca bahasannya di TUM, dimana disitu diberitahu juga bagaimana cara mengatasinya. Dengan dukungan suami, orangtua & membaca thread breastfeeding & breastpump, alhamdulillah saya masih menyusui Alma sampai sekarang. Saat Alma mengalami kolik, bingung puting & perut kembung yang sampai bikin dia ngamuk sepanjang malam, tips yang kami peroleh dari TUM sangat membantu untuk menenangkan Alma, selain juga mengembalikan tenaga & kewarasan kami.
Begitu pula saat baby blues & postnatal depression hadir tidak diundang. Jeratan ini muncul dari kombinasi kelelahan fisik, ketidakseimbangan hormon pasca melahirkan, ekspektasi berlebih terhadap keseharian & kebingungan menghadapi kondisi bayi yang baru lahir. Ternyata saya nggak setangguh yang saya kira; dicita-citain biar nggak kena, tapi ternyata kena juga. Di masa-masa sulit itu, saya bersyukur suami tidak lepas-lepasnya menemani, menenangkan saya, ikut mengurus rumah, juga mengurus Alma saat Alma rewel & saya sudah kelelahan. Nasihat ibu saya untuk menurunkan ekspektasi & ikut tidur saat bayi tidur benar-benar brilian. Berbagi dengan TUMblers juga membuat saya merasa tidak sendirian menghadapi masa-masa susah tersebut. Dari penuturan merekalah saya memetik banyak pelajaran untuk menerima peran baru saya sebagai ibu. Membaca thread Love Your New Mama Body menumbuhkan pandangan positif terhadap kondisi tubuh baru sebagai ibu… termasuk ‘melihat’ stretchmarks sebagai a gold-badge of motherhood. At last I realized, there is no experience could be more feminine than welcoming and nurturing the baby grow inside our body.
Dengan bertambahnya satu anggota keluarga baru ikut hidup di perantauan, mau nggak mau saya harus lebih lihai mengurus rumah & membagi waktu (di rantau begini tenaga ART mahal). Ini agak lucu, karena jaman single dulu saya nggak melek sama urusan rumahtangga yang mengharuskan saya berperan sebagai a domestic goddess a la Bree Van Der Kamp. Karena nggak pengen repot & tenaga sudah terkuras untuk mengasuh Alma, pilihannya ya harus bikin skala prioritas. Kalau capek masak, ya beli rantangan aja ke warung bawah. Barang-barang di rumah diletakkan pada tempatnya supaya nggak berantakan & mudah ditemukan. Menyetrika tidak lagi jadi prioritas kerjaan rumahtangga; yang penting baju dicuci bersih aja & cuma disetrika saat mau dipakai bepergian. Di lain sisi, ternyata jarang menyetrika ini bikin kami bisa berhemat iuran listrik. Silakan tengok thread Frugal Living Ideas untuk tips anti-rempong beberes rumah. Setelah jadi ibu, keahlian multitasking juga semakin terasah; sekarang sudah bisa belanja atau mengerjakan tugas-tugas rumah sambil sekaligus menggendong Alma, baca thread TUM & asyik tweeting (kadang-kadang malah sambil foto-foto), persis ibu-ibu di logo TUM! Dari TUM jugalah kami mendapat informasi tentang buku-buku parenting yang bagus, salah satunya berjudul Memahami Anak Rewel (William & Martha Sears). Buku ini sangat-sangaaaaat membantu kami memahami & menerima peran (yang melelahkan) sebagai orangtua baru, serta menumbuhkan pandangan positif untuk menghadapi sifat ‘unik’ Alma sebagai bayi berkebutuhan tinggi. Ternyata penting sekali bagi orangtua baru untuk menjaga stamina, memiliki pengetahuan & pandangan positif terhadap sifat si anak. Ini terbukti pada saya, yang sampai sekarang belajar untuk lebih sabar demi bisa menyamakan ritme saya dengan ritme Alma yang intens.
Sifat unik Alma jugalah yang mendorong kami untuk mengenalkan makanan padat dengan metode Baby-Led-Weaning. Menimba ilmunya dari mana lagi kalau bukan dari thread Baby Led Weaning. Berjasa banget lah ini thread. Beberapa komentar bernada kuatir sempat dialamatkan kepada kami saat ada yang melihat Alma tidak diberi makan bubur halus. Sebulan ber-BLW-ria, saat Alma kami bawa pulang & ikut makan bersama anggota keluarga lainnya, para eyang terkejut mendapati Alma bisa mengarahkan makanan ke mulutnya & mulai mengunyah dengan baik. Padahal giginya belum tumbuh. Saya sempat cerita ke ayah, betapa lucunya sekaligus berantakannya kalau Alma makan seperti itu, tetapi ayah saya (yang masih amazed melihat Alma makan sendiri) memotong, “Nggak apa-apa, Kak. Sekarang kamu ibaratnya sedang menanam ajaran, tapi suatu saat nanti, kamu bakal menuai hasil baiknya. Terus dikasih aja kesempatan biar Alma belajar”.
Setelah setahun mengenal TUM, tidak hanya pengetahuan baru yang saya dapat… tapi juga banyak teman dimana-mana ! Baik itu teman-teman baru, maupun teman lama yang bertemu kembali. Ini prestasi buat saya yang kuper & cuma bisa cerewet di blog. Kadang suka ngebatin : kenalannya via dunia maya tapi kok ya rasanya jadi dekat sekali ? Apa karena senasib kali ya. TUM lebih dari sekedar forum untuk berbagi pengalaman & belajar; di sini kami berbagi dukungan & tawa diantara curhat-curhat & tuturan pengalaman mengasuh anak. TUM lebih terasa sebagai support-group; dimana kami bisa bersosialisasi dengan orangtua lainnya dengan cara-cara yang positif penuh empati, karena there is always a different story in every parenting style. Saya merasa didukung untuk belajar dari mengamati Alma tumbuh (termasuk belajar dari kesalahan) & juga belajar menerima ketidaksempurnaan & keterbatasan saya sebagai orangtua tanpa perasaan takut ‘dibantai’ komentar-komentar silet & ‘dihakimi’ massa. Dari saling curhat di forum & sahut-menyahut berkicau di twitter, lama-lama jadi penasaran banget pengen ketemu langsung dengan urbanmamas. Jadi begitu TUM bikin acara kopdar resmi di September 2010, dibela-belain deh ikut datang. Demi ketemu langsung dengan mamak-mamak keren sejagad TUM. Usai acara kopdar, suami sempat komentar, “Whuih… rame juga ya ?!” dan cerita asyiknya ngobrol bareng urbanpapas di sana. Malah sekarang suami getol mempromosikan TUM kepada teman-teman yang baru punya anak. Seperti saat temannya curhat susah mencari daycare disekitar daerah tempat tinggalnya, suami nyeletuk, “Ikutan forum The Urbanmama deh… di sana ada tuh topiknya daycare & tempat penitipan anak!”. Lah, kok sekarang malah suami yang lebih tahu isinya TUM daripada saya.
Di waktu senggang, cerita yang dibagi oleh sesama TUMblers & pengalaman unik selama hamil & mengurus Alma seringkali menjadi ide untuk menulis. Cuma nulis-nulis iseng di blog sendiri sih. Menulis adalah kegiatan santai paling sederhana yang bisa saya nikmati selain tidur & (berlama-lama) mandi. Sekali waktu coba kirim artikel ke redaksi TUM… eh ternyata dimuat! Gembiranya sampai bikin nyaris jalan-kayang! Inget banget, karena TUM akhirnya saya mampu berpikir positif & menerima kondisi tidak enak sepanjang trimester awal kehamilan, seperti yang diceritakan disini. Setelah Alma lahir & saya bisa mencuri waktu buat menulis, tulisan ini dibuat saat badai baby blues & PND reda. Yang semakin bikin gembira adalah saat membaca komentar-komentar TUMblers, sangat positif & seru-seru… apalagi kalau ikutan saling berbagi cerita masing-masing. Bahkan komentar “TFS ya !!” atau “Kocak banget !” udah bisa bikin hati sumringah karena mengetahui cerita yang dibagi bisa bermanfaat (meskipun sekedar bikin yang bacanya ketawa geli). Toh setelah lelah dengan segunung pekerjaan & tugas sebagai orangtua, yang kita butuhkan adalah tertawa & dihibur penuh empati. Suatu kali ibu saya membaca tulisan-tulisan tersebut di website TUM & berkomentar: “Enak banget ya anak-anak muda jaman sekarang, ada tempat buat belajar kayak begini. Coba pas jaman dulu Ibu hamil kamu jauuuh di Ambon… mana ada yang kayak The UrbanMama!”
As the time goes by, TUM become a big village where people live peacefully side by side, respecting each other. Ngebayangin TUM yang sekarang jadi kayak main Sims, dimana di TUM-village ini para Papa saling berbagi cerita tentang tantangan membesarkan anak & merawat istrinya. Sementara para Mama seru berbagi cerita seputar kehamilan, mengurus anak, mengurus rumah, sambil ngumpul ngubek-ngubek isi Mama’s Mall. Jadi inget kutipan dari Hillary Clinton: It takes a village to raise a child. Saya pikir, begitu pula untuk menumbuhkan ‘keibuan’ seorang wanita: butuh orang ‘sekampung’ yang mendukung pilihan sang ibu & pastinya rajin-rajin baca TUM. Semua cinta & dukungan dari suami, keluarga, serta ilmu-ilmu dari TUM berhasil menumbuhkan keibuan yang tersembunyi jauuuuh dalam diri saya, yang saya sendiri tidak menyangka itu bakal keluar.
Menjadi wanita memang tidak pernah mudah: pilihannya banyak, terkadang cukup sulit. Tapi, inilah yang membuat jadi kuat & bisa menjalani apapun dengan cinta. Menjadi ibu bukan untuk mencari pengakuan; seorang ibu tumbuh bersama anak-anak mereka, dibangun dari pilihan-pilihan yang dibuat bersama sang ayah. Yes, it takes a village to raise a family. And I firmly believed that TUM came real-close to an ideal “village” that every parent could dream of. ;-)
Selamat hari Ibu untuk semua Ibu tercinta… termasuk TUM sang ibu-virtual Ninit, Shinta & Thalia, terimakasih telah ‘melahirkan’ TUM ini. Terimakasih juga untuk TUMblers yang turut membesarkan TUM sehingga bisa menginspirasi banyaaaak orangtua (termasuk saya & Baim !) seperti sekarang ini.
i'm newbie, walopun masih kagok.. tapi sangad2 tertarik dg TUM. jempol buat tulisanya, Oke banget, serasa mewakili perasaan kami2,,, :-)
Verrrry nice article! Sangat enjoy ngebacanya dan benar2 mewakili perasaan sejuta umat akan TUM.
suka banget bacanya...pilihan kata yang bagus dan sekaligus bener-bener nge-gambarin apa yang sebenernya mungkin dirasain sama TUM di seluruh pelosok ;)
Rainiw..
Thanks udah nulisin apa yg aku rasain juga selama ini :D keren banget! My lack of writing skills make me can't say how thankful i am for this "village".
Makasih buat para founding mamas&mama mods yg udah mau ngeluangin waktu ngurusin warganya yg banyak mau,banyak nanya&cerewet ini hahahah. U guys are like papa smurf, no.. better! :D
Happy belated birthday TUM, we love you!
Sukaaaaaaaa bgt bacanya. Dari huruf pertama sampe selesai smuanya bagus, dan memang pas bgt utk menggambarkan TUM. Love it !!!