Induksi Laktasi Demi Si Buah Hati

Tak ada hasil yang mengkhianati perjuangan. Mungkin itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan perjalanan program induksi laktasi yang saya jalani. We did it. Yes, we did it.

Semuanya berawal dari kabar gembira untuk saya dan suami saat itu. Kami akan memiliki anak kurang dari 5 minggu lagi. Namun tunggu dulu, saya 'kan tidak hamil. Bagaimana ceritanya 5 minggu bisa melahirkan anak?

Ya, memang, ini bukan anak dari rahim saya. Ini anak langsung dari Tuhan, yang hidup di rahim seorang wanita yang pada waktu itu diantarkan karena membutuhkan orang yang berkenan merawat anak yang akan dilahirkannya nanti. Awalnya, saudara saya yang berniat merawat anak tersebut. Namun, Tuhan berkehendak lain. Di usia kandungan yang sudah memasuki 28 minggu, saudara saya hamil. Karena kemungkinan harus merawat dua anak yang penuh tantangan dan ia ingat kepada saya yang sudah cukup lama sangat merindukan kehadiran seorang anak di kehidupan rumah tangga kami, akhirnya kami putuskan untuk merawat ibu dan bayi tersebut. Semenjak wanita tersebut menginjakan kakinya di kota tempat kami tinggal, kesehatannya dan kesehatan kandungannya sampai lahir juga pulih nanti menjadi kewajiban kami untuk merawatnya. Sambil menghitung hari kelahiran menurut prediksi dokter kandungan, saya mulai mencicil beli segala kebutuhan bayi baru lahir. Sudah jelas, saking bahagianya, saya sudah tak mendengar beberapa orang yang bilang "Beli perabotan bayi tak usah banyak, tak udah yang mahal-mahal, dipakainya juga gak lama-lama".

Sampai kemudian, saya dan suami memilih jenis botol susu dan memperhatikan setiap kandungan gizi dari beberapa susu formula yang terpampang sepanjang rak. Kami memilih salah satu merk susu ternama. Nah, ini adalah cerita awal di mana saat itu saya dan suami sedang galau, karena sebelumnya kami sudah merencanakan liburan akhir tahun bersama teman teman gereja kami. Di situ memang kami belum berbagi cerita kalau saat itu, kami sedang menantikan kelahiran seorang bayi. Chat group di hari itu terus-terusan menanyakan kesiapan kami untuk liburan akhir tahun. Dan akhirnya kami memutuskan untuk berterus-terang menceritakan kondisi kami, dan membatalkan ikut liburan akhir tahun kali itu.

Kami kira kami akan mendapati muka penuh sebal dan kecewa karena lagi-lagi liburan akhir tahun bersama-sama jadi gagal. Apalagi harus memaklumi kebahagiaan kami. Namun ternyata mereka ikut berbahagia, dan menyarankan kami bertemu dengan seorang ahli laktasi di sebuah rumah sakit di Denpasar. Menurut pengalaman mereka, ahli laktasi tersebut kompeten di bidang per-ASI-an dan pembawaannya baik serta suportif, mau menjawab segala pertanyaan dan keingintahuan pasien-pasiennya.

Kami pun sempat merenung, berpikir "Apa bisa saya memberikan ASI kepada anak saya nanti? Kalau bisa, alamikah ASI yang keluar nanti?". Segala pikiran dan pertanyaan terus merasuki pikiran ini. Memang, saya pernah menemukan beberapa informasi dari sahabat blogger yang menuliskan cerita proses menyusui anak adopsinya. Namun informasi tersebut tak cukup untuk memenuhi rasa ingin tahu saya. Daripada bertanya-tanya sendiri dijawabnya sendiri dan googling pun belum banyak orang yang mencoba cara ini, akhirnya kami coba bertanya langsung kepada ahlinya. Saya coba hubungi dokter ahli laktasi tersebut lewat nomor Whatsapp yang diberikan teman saya. Dan dengan ramahnya beliau menjawab salam saya. Setelah mengecek jadwal kosong beliau, Senin 21 November 2016 kami datang untuk berkonsultasi.

Hari temu janji pun tiba. Temu janji pertama kami waktu itu benar-benar menjawab semua yang ingin saya tanyakan. Dokter Oka menjelaskan mengenai program Induksi Laktasi, dimana perempuan yang tidak hamil boleh dan dapat diupayakan untuk dapat menyusui bayi. Program ini dapat dilakukan oleh orangtua adopsi, nenek, atau kerabat yang berkeinginan menyusui. Selain itu dokter juga menjelaskan berbagai manfaat pemberian ASI untuk anak. Saya semakin tertarik, apalagi saat membahas mengenai ikatan batin antara ibu dengan anak yang tercipta saat anak tersebut menyusu langsung.

Setelah dijelaskan beberapa proses dan tahapannya, saya dan suami pun setuju untuk memulai program induksi laktasi. Memang, menurut dokter secara teori program induksi laktasi ini harusnya dilakukan setidaknya 6 bulan sebelum bayi lahir. Namun saat itu akhirnya tetap kita coba juga dengan harapan dapat berhasil kurang dari 6 bulan. Kalaupun dalam 6 bulan ASI belum boleh keluar, dokter menyarankan pemberian ASI donor dibandingkan susu formula.

Sebagai awal dari proses program induksi laktasi, dalam sehari saya diharuskan mengonsumi Domperidone sebanyak 3 kali, dan pil kontrasepsi untuk 1 siklus pada jam yang sama setiap harinya. Dari penjelasan dr. Oka, pemberian obat tersebut adalah untuk mengondisikan tubuh membangun 'pabrik ASI' karena obat-obatan tersebut merangsang pembentukan hormon-hormon dan mengondisikan tubuh saya 'seperti orang hamil'. Di akhir pertemuan, dr. Oka menjadwalkan pertemuan berikutnya di hari ke-10 setelah temu janji pertama.

Seminggu setelah mengonsumsi obat yang sudah diresepkan, terasa banyak perubahan pada tubuh saya, seperti menurunnya gairah seks, nafsu makan yang bertambah, muncul jerawat di wajah dan punggung, payudara membesar dan areola yang melebar dan warnanya menggelap. Saya kepikiran untuk mengganti ukuran cup BH. Saya kira cukup naik dua nomor ukuran saja, dari 36 ke 38. Namun seorang sahabat menyarankan untuk langsung cari saja ukuran nomor 40. Apa?? Apakah nanti tidak kebesaran? Namun menurutnya ukuran ini masih akan membesar. Jadi saya manut saja, cari BH ukuran 40

3 Desember 2016, hari ke-12 setelah temu janji pertama, kami kembali bertemu dengan dr. Oka. Di hari itu, kami masuk di tahapan belajar massage payudara dan pijat relaktasi. Menurut beberapa sahabat saya yang juga pasien dr. Oka, biasanya untuk sesi ini ada Ibu Rani, istri dr. Oka, yang turut membantu. Namun waktu itu Ibu Rani berhalangan hadir, maka dr. Oka saja yang mengajari tekniknya. Untuk massage payudara bisa dilakukan sendiri oleh saya. Namun untuk pijat relaktasi dilakukan oleh partner (suami). Kalau menurut saya, pijat relaktasi ini mirip seperti pijat akupuntur; selesai pijat rasanya cukup relax buat saya. Mungkin juga jadi merasa santai dan tenang karena wewangian dari minyak nabati yang digunakan untuk massage. Adapun memang tidak disarankan untuk menggunakan baby oil dan minyak-minyak hangat lainnya karena menghindari rasa panas.

Di sini, saya menitikan airmata. Untuk pertama kalinya saya takjub. Sewaktu payudara dipijat, dari puting saya keluar cairan bening, kental dan lengket. Menurut dr. Oka, itu sudah termasuk ASI yang keluar. Mungkin ini yang disebut kolostrum? Saya juga kurang tahu dan tak sempat bertanya karena keburu merinding bahagia melihat cairan itu menetes. Terharu sekali, pokoknya speechless.

Selesai sesi massage payudara dan pijat relaktasi, dr.Oka memberi tahu saya untuk melakukan massage payudara tiap 3-4 jam sekali, setiap harinya. Di sini saya dituntut disiplin dan berkomitmen menyempatkan waktu sebentar untuk massage payudara. Sementara pijat relaktasi dari suami saya, cukup sehari sekali. Sedikit repot tak mengapa, kami jalani saja.

6 Desember 2016. Di hari itu, saya panik. Bayi di dalam perut si ibu tidak pernah memberikan sinyal 'kontraksi palsu' sejak 10 hari terakhir. Kami disarankan untuk kontrol ke rumah sakit. Namun dokter spesialis kandungan yang disarankan sahabat saya malah sakit. Siang itu juga, buru-buru kami ke rumah sakit di daerah Teuku Umar. Pukul 1 siang lewat 8 menit, kami terlambat 8 menit dan dokternya sudah selesai jam praktek, sedang persiapan untuk operasi. Perawat menginfokan kami untuk datang lagi di pukul 7 malam. Malam harinya, waktu dokter membacakan hasil rekam jantung, kami sangat syok karena menurut hasil pemeriksaan, detak jantung bayi sempat hilang 2 kali. Dokter pun menyarankan untuk operasi caesar dan dijadwalkan keesokan harinya.

7 Desember 2016. Dalam keadaan si ibu yang sedang berpuasa menanti waktu operasi caesar, saya memohon maaf karena mau coba mencari jawaban dari dokter kandungan lain, karena di pagi itu, kami mendapati ketakutan pada si ibu yang belum pernah melakukan operasi semasa hidupnya. Pagi itu pun, kami (saya dan ibu hamil) memeriksakan kembali kandungannya. Dan dokter yang berbeda tetap menyarankan harus operasi caesar di hari itu juga melihat kondisi air ketuban yang sudah kering.

Pukul 11.30 WITA, telah lahir anak laki-laki dengan berat 3000 gram dan panjang 50cm. Kami beri ia nama 'Bara', yang artinya 'sudah ditebus Tuhan'. Namun sampai 3 jam pasca kelahirannya, Bara harus masuk ruang NICU untuk diobservasi karena sempat kekurangan oksigen. Baru pukul 15.00, akhirnya Bara berada satu ruangan berkumpul bersama mama dan maminya. Karena ASI saya belum keluar, kami menggunakan ASI donor untuk sementara. ASI donor ini kami dapat seminggu yang lalu dari pasien dr. Oka. Cepat-cepat suami saya menghubungi dr. Oka untuk belajar mengenai penanganan ASI donor. ASI disuapkan ke Bara menggunakan sendok.

10 Desember 2016. Bara diperbolehkan pulang ke rumah. Dr. Oka menyarankan saya belajar menyusui Bara menggunakan SNS (Supplemental Nursing System) untuk merangsang agar ASI-nya mau keluar, dan mulai memompa ASI tiap 2 jam sekali. Saya sempat dibantu belajar perlekatan oleh sahabat saya yang waktu itu datang ke rumah untuk menjenguk Bara. Namun jujur saja, menyusui menggunakan SNS itu ternyata repot juga. Mungkin karena sat itu Bara kehausan, ia sering menarik-narik selang SNS sampai copot dan copot lagi. AKhirnya saya menyerah dan menyuapinya pakai sendok lagi.

Hasil pumping saya pun belum kelihatan, baru embun-embun yang bermunculan. Sampai hari ke-4 hasil pumping saya hanya 10ml, sementara pil kontrasepsi sudah selesai 1 siklus. Senangnya, langsung kami kabari dr. Oka dan bertanya bolehkah saya memberikan ASI tersebut kepada Bara, dan katanya boleh.

Di hari itu juga, 10ml ASI pertama saya, saya berikan untuk Bara. Percayalah, tangan saya gemetar memegang sendok saat menyuapinya. Begitu habis, saya semangat untuk pumping lagi. Saat itu juga, dr. Oka bilang agar saya belajar menyusui langsung.

Jujur saja, bagian menyusui langsung ini perjuangan! Areola saya lecet-lecet, Bara pun menangis karena mungkin ASI yang keluar masih belum cukup mengenyangkannya. Kalau saya sudah mulai tidak kuat menahan sakit lecetnya, saya suapi lagi Bara dengan ASI donor atau ASIP saya.

Ada 2 kemungkinan penyebab areola lecet, yaitu perlekatan yang salah, atau ada kondisi tongue tie dan lip tie pada Bara. Sempat diperiksa oleh dokter spesialis anak, dan katanya tongue tie-nya masih normal. Cuma perlekatannya yang masih kurang tepat. Kala itu, tiap saya mulai merasakan nyerinya, saya cuma dibesarkan oleh kata-kata "saya tidak merasakan sakitnya melahirkan, jadi kalau hanya sakit karena menyusui, seharusnya bisa saya terima".

Seminggu berlalu. Sesuai anjuran dr. Oka, saya mulai mengonsumsi teh fenugreek. Saat itu untuk mendapat kapsul harus pesan online, jadi kami pilih dalam bentuk teh yang lebih mudah dibeli. Saya juga makan makanan yang dapat meningkatkan jumlah produksi ASI seperti kacang-kacangan, sayur hijau, serta makanan sehat lainnya. Hasil pumping pun semakin memuaskan, lebih dari 30ml. Sambil terus belajar menyusui Bara, saya sempatkan disela-sela waktu untuk rajin pumping.

Tak kerasa, Bara sudah berusia sebulan. Sekarang Bara sudah penuh minum ASI saya. Namun betapa sedihnya waktu kenaikan berat badan Bara hanya 500 gram dalam sebulan. Memang, menurut beberapa dokter anak, bayi usia 1 bulan minimal beratnya kembali ke berat waktu lahir. Ada juga yang bilang untuk bayi laki-laki, minimal kenaikan berat badannya sebanyak 800 gram. Dari yang saya rasakan, Bara itu kuat sekali minumnya. Jadi ekspektasi saya, seharusnya ia naik sesuai 800 gram. Saya ceritakan perihal tersebut kepada dr. Oka. Jadi galau juga, apa mungkin ASI saya tidak cukup atau tidak cocok untuk Bara. Keesokan harinya, akhirnya dr. Oka memeriksa kondisi tongue-tie Bara.

Ternyata benar, Bara ada tongue tie dan lip tie level 3 atau 4 (saya lupa persisnya) sehingga ia kurang maksimal menyusu. Dr. Oka pun menyarankan tindakan insisi, yaitu pemotongan pada bagian yang mengganggu tersebut. Saya lemas, tak berani menemani Bara waktu itu, tidak sanggup kalau harus melihat Bara meronta-ronta kesakitan. Akhirnya, suami saya yang menemani Bara saat itu. Dari balik tirai, saya menangis mendengar Bara menangis. Bahkan waktu saya disuruh menyiapkan payudara untuk menyusui Bara, tangan saya gemetar membuka kancing pakaian. Yang ada dalam pikiran hanya "Maafkan mami nak, ini demi kebaikan kita berdua. Bara nanti nenennya kenyang dan berat badan Bara bisa naik. Mami juga ga kesakitan lecet lagi waktu nyusuin Bara", bisik saya saat menyusui Bara yang masih menangis.

Selain mengatasi tongue tie dan lip tie pada Bara, dr. Oka juga mengajarkan saya memberikan hindmilk untuk Bara agar target berat badannya terkejar. Caranya adalah pumping dulu payudara sekitar 5 menit untuk mengeluarkan foremilk, baru kemudian dilanjutkan Bara menyusu langsung. Di situ, saya berpikir bagaimana untuk tidak membuang ASI foremilk yang 5 menit sudah dipumping. Jadi saya mencoba, kalau payudara kanan saya pumping 5 menit lalu lanjut menyusui Bara, sambil menyusui, saya pumping yang kirinya. Jadi total hasil pumping tersebut bisa saya simpan, untuk sewaktu-waktu kalau saya atau ada orang lain yang membutuhkan.

Sebulan kemudian waktu Bara berusia 2 bulan, kenaikan berat badan Bara sampai 1500 gram. Ternyata benar. Saya kagum sendiri, Puji Tuhan. Begitu pula di bulan berikutnya, kenaikan berat badan Bara sampai sebanyak 1400 gram. Di bulan Maret 2017, usia Bara sudah 3 bulan dan berat badannya 6.400 gram dengan panjang tubuh 59cm.

Kami sangat bersyukur, Bara boleh tumbuh sehat sampai hari ini dan dan harapan saya semoga sampai seterusnya. Namun perjuangan yang sebenarnya baru dimulai, mudah-mudahan saya bisa menyusui Bara sampai genap 2 tahun.

Kalau dilihat dari perjalanan program induksi laktasi ini, kami bersyukur sekali dipertemukan dengan orang-orang baik. Seperti sahabat saya yang tak pernah berhenti mendukung, kak Rita dan Ci Qhaqha. Lalu dr. Oka Dharmawan IBCLC MARS, dan keluarga Pak Adit yang sudah mendonorkan ASI , juga keluarga Rumah ASI Bali. Terimakasih tak terhingga untuk semua yang tak bisa saya ucapkan satu persatu.

Meskipun awalnya saya sempat takut ASI saya tidak keluar di 6 bulan pertama, tetapi Puji Tuhan, tak sampai 1 bulan, ASI saya bisa keluar. Semua benar-benar berkat penyertaan Tuhan.

Lewat pengalaman ini, saya ingin membuka mata kepada semua sahabat pejuang ASI agar tetap semangat menyusui lagi. Kalau saya bisa, para mama hebat lainnya pasti bisa juga. While breastfeeding may not seem the right choice for every parents, it's THE BEST choice for every baby.

4 Comments

  1. avatar
    Pradana Sandi October 12, 2018 8:40 am

    Saya baru tahu info ini. Keren dan salut atas perjuangannya. Semoga sehat dan lancar untuk semuanya ya. Saya juga masih masa menyusui anak kedua :))

    1. avatar

      As .



  2. avatar
    Alika Dinta September 24, 2018 3:00 pm

    Saluuut sama perjuangan mama buat ngasih ASI ke buah hatinya... aku juga lagi masa menyusui nih.. doakan selalu lancaar yaa aamiin

    1. avatar

      As .



  3. avatar
    puspaseruni September 19, 2018 12:03 pm

    Mama + Papa + Bara keren.. ga banyak cerita tentang induksi laktasi yang pernah saya baca, luar biasa perjuangannya ternyata. Salut! :D

    1. avatar

      As .



  4. avatar
    Cindy Vania September 18, 2018 10:16 pm

    Salut sama perjuangan mama Chasyha dan suami untuk bisa memberikan ASI ke Bara. Terharu deh kalau banyak yang support kayak gitu :)

    Semoga tercapai kasih Bara ASI sampai 2 tahun ya ma! *Salaman sesama breastfeeding mama*

    1. avatar

      As .