Ketika Ramadhan Terasa Berbeda
Memori apa yang muncul dalam benak tatkala mendengar kata ‘puasa’ dan ‘Ramadhan’?
Ya. Buka puasa bersama. Shalat tarawih di masjid. Belanja hidangan takjil. Sahur on the road. Kumpul-kumpul pengajian dan mendengarkan ceramah. Malam takbiran. Pokoknya semua kegiatan yang membuat bulan Ramadhan terasa semarak.
Tahun ini, puasa Ramadhan terasa berbeda nyata dari tahun-tahun sebelumnya. Tak sembarang berbeda, karena kali ini, semua keramaian dan kemeriahan yang membuat Ramadhan disambut dan dirayakan dengan sukacita, harus ditinggalkan. Merebaknya wabah COVID-19 membuat kita harus ekstra berupaya untuk menjauhi kerumunan dan keramaian, dan diam di rumah masing-masing.
Tak sedikit yang protes menghadapi kondisi baru ini. Namun untuk kebaikan bersama, pemerintah mengeluarkan imbauan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), mengajak warga yang mampu melakukan physical distancing untuk di rumah saja. Sejauh ini, menjauhi keramaian, kerumunan dan kegiatan berkelompok adalah cara yang paling masuk akal untuk mengurangi laju penularan wabah COVID-19.
Memang, semaraknya Ramadhan tak jauh-jauh dari keramaian, berkumpul untuk buka puasa bersama dan shalat tarawih di masjid. Namun dengan kondisi sekarang ini, Ramadhan akan terasa sepi dan tak semeriah biasanya. Pertanyaanya, haruskah sukacita menyambut Ramadhan identik dirayakan dengan kemeriahan dan keramaian?
(Gambar: www.pexels.com)
Tahun 2013, saya ikut suami pindah ke Tromsø, sebuah kota kecil di utara Norwegia. Ketika bulan suci Ramadhan tiba, kami harus beradaptasi dengan kondisi tempat tinggal yang sepi & jauh dari masjid. Melihat keluarga di Indonesia bisa shalat tarawih berjamaah dan teman-teman seru buka puasa bersama, hati rasanya senut-senut aduhai. Ditambah perbedaan waktu lima jam yang berarti di kutub masih waktu dzuhur sementara di Indonesia sudah berbuka puasa.
Untungnya, suami selalu menyemangati tiap kali saya curhat betapa sepinya Ramadhan di rantau. Setengah bercanda, suami mengingatkan kalau saat bulan Ramadhan, Allah tidak meminta kita ikut acara buka puasa bersama, harus tarawih di masjid, apalagi ikut takbiran agar puasanya sah. Yang Allah minta hanyalah berpuasa, shalat tarawih, kejar ibadah dan perbanyak sedekah. Dan jikalau kami masih bisa berpuasa dalam kondisi yang tenang dan nyaman, itu saja sudah sebuah berkah tak ternilai, “Kita dikasih kondisi seperti ini sama Allah, pasti ada maksudnya”. Ucapan suami selalu saya ingat-ingat & menjadi penyemangat. Dari tahun pertama puasa di rantau yang terasa berat & sepi, sekarang ‘sepi’ tersebut berganti menjadi tenang.
Fast forward ke tahun 2020. Kini kami tinggal di kota Bergen yang lebih ramai. Tiga Ramadhan belakangan diisi dengan undangan acara buka puasa dan tarawih berjamaah bersama grup pengajian. Beberapa hari lalu menjelang Ramadhan, saya komentar bahwa puasa tahun ini bakalan berbeda: tidak ada buka puasa bersama sambil kumpul-kumpul pengajian, tidak ada tarawih berjamaah pun. Suami saya hanya tersenyum dan bilang, “Sama aja kan, seperti dulu puasa di Tromsø? Insya Allah kali ini puasanya tenang, toh semua sudah dicukupkan. Puasa itu yang penting ibadahnya.”
Komentar suami membuat saya berpikir. Mungkin -mungkin, ya- saat semua kegiatan yang penuh kesemarakan tersebut ditanggalkan, yang ada di hadapan kita tinggallah puasa dan ibadah kita untuk Allah. Everything happens for a reason. Kondisi merebaknya wabah ini tidak akan mengacaukan ritual ibadah puasa Ramadhan; justru akan mengingatkan kita akan hal-hal yang penting dari bulan suci Ramadhan.
Ramadhan adalah waktu untuk mengejar ibadah. Di mana & sama siapa? Mulai dari rumah, bersama anggota keluarga. Kalau sekarang si kecil baru mulai belajar puasa, baru mulai belajar baca Iqro, baru mulai ikut tarawih, atau baru belajar hapalan doa-doa, inilah saatnya Papa dan Mama memegang kendali langsung mengajari mereka. Kalau mau memperbaiki dan menambah hapalan, lebih keren lagi. Tak ada kata terlambat. Papa kembali menjadi imam shalat berjamaah di rumah, dan mengimami tarawih setiap malam. Bacaan surat-surat pendek, tak mengapa. Anak-anak tak akan ingat bacaan surat-surat panjang yang dibacakan saat shalat, tetapi mereka akan ingat kalau Papa Mamanya selalu mengajak mereka shalat berjamaah. Lagipula, siapa lagi contoh pertama dan utama yang anak-anak lihat kalau bukan orangtuanya.
Ramadhan di rumah saja? Saat kita bisa di rumah saja, semua serba cukup, nyaman dan aman bersama pasangan & anak-anak, ini adalah sebuah berkah yang tak ternilai dari Allah. Banyak orang masih harus berjibaku di luar sana, mencari pemasukan untuk menyambung hidup. Ada yang harus hidup didera rasa takut saat menghabiskan 24 jam hari-harinya di rumah saja, entah sampai kapan, dalam suasana rumah yang kurang kondusif. Let’s start to count our blessings.
Ramadhan adalah waktu untuk menilik ulang diri sendiri: hal-hal apa saja yang memotivasi kita untuk bertahan, dan apa-apa yang menahan diri kita. Kalau Mama termotivasi untuk belajar dari kajian, ada banyak kajian online yang bisa disimak di YouTube atau ikut pengajian online via Zoom dan diskusi kuliah WhatsApp. Atau mungkin sekarang Mama jadi mengisi waktu dengan membaca lebih banyak buku, menulis catatan harian atau blog, rajin mencoba resep hidangan baru, lebih sering memasak makanan sendiri di rumah, dan lain sebagainya. Atau karena sehari-hari menemani si kecil belajar di rumah, Mama jadi putar otak membuat sendiri learning tools, crafting, dan DIY toys. Apapun kegiatan yang Mama pilih untuk mengisi waktu saat berpuasa di rumah saja, harap diingat bahwa tidak ada tekanan untuk tampil sempurna. Ketika tekanan tersebut datang dan dituruti, justru akan membuat Mama patah semangat & mengalami burn-out. Saat ini kita berada dalam kondisi krisis yang tidak sepenuhnya bisa kita kendalikan. Oleh karenanya, belajarlah untuk memilih mana yang bisa dikendalikan, dan mana yang harus direlakan. Kita tidak bisa mengendalikan berapa lama lagi harus melewati kondisi yang serba tidak pasti ini, tetapi kita bisa melindungi anak-anak dan bersama pasangan saling mengurus satu sama lain.
Ramadhan adalah waktu untuk membantu sesama. Kita tetap bisa membantu orang lain dengan cara apa pun yang kita bisa. Adakah anggota keluarga yang masih perlu dibantu? Atau tetangga dan orang-orang di sekitar kita yang kekurangan & butuh bantuan? Beberapa minggu belakangan sejak dimulainya PSBB, banyak yang berinisiatif membuat kegiatan amal & donasi untuk menyalurkan bantuan. Ada banyak cara dan peluang untuk membantu sesama pada saat krisis, tentunya sambil tetap melakukan physical distancing. Anjuran untuk beramal & memperbanyak sedekah dapat diarahkan dengan transfer ke badan-badan zakat, ikut berdonasi untuk penyediaan bahan dan alat-alat pelindung diri, dan lain sebagainya. Membantu sesama pun tak hanya lewat bantuan materi. Sempatkan untuk menanyakan kabar para saudara, teman, sahabat dan tetangga, untuk memastikan kondisi mereka baik-baik saja. Bisa juga mengajak bertemu secara virtual lewat video chat. Physical distancing tetap jalan, tali silahturahim pun terus tersambung.
Ya, Ramadhan tahun ini memang berbeda. Kita semua menjalaninya dalam masa-masa krisis, di mana sisi terburuk dari sifat manusia akan muncul -namun begitu pula dengan sisi terbaiknya. Mari Urban Mama dan Papa, kita sama-sama mengisi Ramadhan untuk hal-hal yang terpenting: untuk beribadah, untuk keluarga, serta untuk membantu mereka yang membutuhkan, sehingga kita bisa selamat melewatinya bersama.
0 Comments