Kirana Lahir dengan Pierre Robin Sequence
Pada tanggal 8 Februari 2014, putri kedua saya, Kirana, lahir dengan status KMK (Kecil Masa Kehamilan). Kiran lahir dengan BB 2037 gram pada usia kandungan 37-38 minggu. Saat lahir Kirana tidak menangis dan segera dilarikan ke NICU.
Kirana dirawat di rumah sakit selama 27 hari, dan mendapatkan diagnosis Pierre Robin Sequence (PRS). Saat itu saya belum memahami apa itu PRS, dan informasi yang saya dapatkan hanyalah Kirana berdagu kecil, jadi sebaiknya tidur dengan posisi miring atau tengkurap. Dari hasil pemeriksaan diketahui juga kalau lingkar kepalanya kecil, ada lubang kecil di jantung, dan ada pendarahan retina. Setelah itu Kirana diizinkan pulang dan disarankan agar lanjut kontrol pada dokter spesialis mata dan spesialis anak. Saat saya menanyakan tentang kondisi langit mulutnya, dokter menjawab normal, tidak bercelah. Saat saya menanyakan pada tujuh DSA tentang kondisi PRS ini dan apakah ada yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya, enam DSA menjawab tidak ada yang bisa dilakukan, sementara yang seorang lagi mengatakan kondisi Kirana akan dipantau, jika diperlukan, nanti diperbaikan secara bertahap. Beliau juga menyarankan agar saya mencari informasi dari komunitas PRS di luar negeri.
Saya lalu mencoba mempelajari lebih banyak tentang PRS dan menemukan fan page Pierre Robin Sequence Foundation, sebuah NPO yang berpusat di Cape Town. Ternyata PRS adalah kasus langka, merupakan serangkaian kelainan kongenital yang berdasarkan sebuah studi di Jerman terjadi 12,4 per 100.000 kelahiran hidup. Kondisinya akan terlihat saat lahir, ditandai dengan micrognathia (ukuran rahang bawah yang lebih kecil dari ukuran normal atau lebih mundur daripada rahang atas), lidah yang jatuh di tenggorokan dan menutup jalan napas sehingga menyebabkan kesulitan bernapas. Umumnya akan disertai dengan celah langitan (cleft palate) berbentuk huruf 'U', celah bibir (cleft lip), atau high-arched palate. PRS ada yang isolated (non genetik, belum diketahui pasti pencetusnya) dan non-isolated (diturunkan secara genetik). PRS non-isolated akan berkaitan dengan sindrom lain, yang paling sering adalah Stickler Syndrome.
Sejak Kirana berusia sekitar 5 bulan kami berinisiatif untuk kembali melakukan observasi dengan menemui beberapa dokter dari berbagai bidang spesialisasi yaitu spesialis anak, THT, jantung, gizi, mata, genetik, bedah plastik, syaraf, dan tumbuh kembang. Secara bertahap mulai terurai rangkaian yang ada pada Kirana. Sejauh ini yang kami ketahui adalah micrognathia, high-arched palate, laryngomalacia, microcephaly, ASD, dan juga mengalami Global Developmental Delay (GDD) serta pertumbuhan yang juga lambat. Minimnya info tentang PRS membuat saya harus lebih proaktif dalam mencari info dan berdiskusi dengan para dokter, tak jarang dokter pun bertanya, "Apa itu Pierre Robin, Bu?".
PRS membuat Kirana sulit bernapas, makan, dan minum sehingga tidak mungkin menyusu langsung karena berisiko jalan napasnya tertutup. Pada satu bulan pertama Kirana minum menggunakan OGT. Saat pulang pun selang OGT masih menempel di mulut mungilnya, karena jika disuapi dengan cup feeder, ia akan membiru (cyanosis). Namun kemudian Kirana berhasil menarik selang OGT-nya sampai lepas dan ternyata tidak membiru ketika minum pakai cup feeder. Dengan alasan risiko tertutup jalan napas, saya tidak berani menyusui Kirana secara langsung. Saya tetap bertekad agar Kirana bisa mendapatkan ASI sebagai upaya perlindungan kesehatan dan memaksimalkan tumbuh kembangnya. Jadi saya memutuskan untuk melakukan Exclusive Pumping (EPing) sambil tetap mencoba melatih Kirana untuk menyusu langsung. Dari informasi yang saya dapatkan, dikatakan bahwa hampir mustahil bagi anak PRS untuk bisa menyusu meski rahangnya telah berkembang, jadi untuk bisa menyusui Kirana, saya harus mencari posisi yang tidak umum digunakan. Saya memang sangat jarang menyusui Kirana, tetapi saya selalu mengatakan agar ia bisa menyusu saat berusia 1 tahun.
Tidak mudah bagi saya menghadapi anak mengalami kesulitan bernapas. Napasnya berbunyi grok grok (stridor) setiap saat, kadang disertai mengi dan tampak sesak. Sementara itu saya juga harus Eping (tiga jam sekali pumping dengan durasi 30-60 menit per sesi), menyuapi Kirana ASIP setiap tiga jam sekali (yang bisa berlangsung selama 1-2 jam), mengurus kakaknya, melatih Kirana menyusu, mencari informasi tentang PRS, bolak-balik ke RS untuk konsultasi dan terapi, serta melakukan terapi untuk Kirana di rumah. Hampir semua harus saya tangani sendiri karena suami sibuk dan sering dinas luar kota. Selain itu saya juga harus pandai-pandai mengelola emosi dan suasana hati karena erat kaitannya dengan suplai ASI. Memang tidak mudah, tetapi tetap saya lakukan agar Kirana tetap bisa mendapatkan ASI.
Bersyukur Tuhan selalu memberi pertolongan. Saat Kirana berusia lima bulan, seorang teman mengirimkan Haberman Feeder, media pemberian cairan yang dirancang khusus untuk anak-anak yang memiliki hambatan menyusui. Menggunakan haberman feeder membuat waktu pemberian ASIP jadi lebih singkat dan juga efisien. Lalu ketika Kirana berusia sekitar 8 bulan, seorang ibu EPing dari grup di luar negeri, mengirimkan breastpump yang tipe double pump yang mempersingkat durasi pumping jadi tinggal setengahnya.
Sekarang Kirana sudah berusia setahun lebih, masih mendapatkan ASI tanpa tambahan susu formula. Sejak berusia 11 bulan ia lebih sering menyusu langsung. Anak PRS yang dikatakan hampir mustahil bisa menyusu langsung, ternyata Kirana bisa walaupun mungkin hanya comfort nursing. Selain itu Kirana masih tetap mendapatkan ASIP.
Saat ini diagnosa Kirana bertambah,setelah melakukan tes BERA dan ASSR,dia didiagnosa mengalami gangguan pendengaran ringan, 40db, sehingga dia tidak jelas jika mendengar huruf konsonan, namun masih mendengar jelas untuk huruf vokal.
Lalu setelah melakukan tes colon in loop/barium enema, dia didiagnosa puborectal sling syndrome yaitu otot puborectal yang terlalu kencang/kuat sehingga menahan feses. Serta diagnosa redundant colon sigmoid yaitu ukuran kolon yang lebih panjang dari ukuran normal. Puborectal sling syndrome dan redundant colon sigmoid ini menimbulkan masalah pencernaan, Kirana memang mengalami konstipasi kronik.
Tahun pertama bersama dengan anak PRS merupakan tahun terberat saya, tetapi PRS journey kami masih panjang. Sudah menjadi kewajiban saya untuk bisa memperjuangkan pemberian ASI dan semua yang terbaik untuk Kirana.
Kirana Aisha Putri Wibowo, putri kami yang cantik, semoga sehat dan ceria selalu. Kirana putri kami yang berkebutuhan khusus, telah mengajarkan banyak hal tentang kekuatan, semangat, keteguhan hati, keikhlasan, rasa syukur, dan keajaiban, bukan hanya kepada saya tapi juga kepada banyak ibu di luar sana. Saya benar-benar bangga pada pejuang kecil saya yang kuat ini.
Anak special needs adalah untuk keluarga yang spesial juga. Jadi kita jangan berkecil hati jika dianugerahi ABK. Berbanggalah padanya, belajar banyak darinya karena ABK adalah anak-anak surga, guru kehidupan sejati.
Halo mba Yella, terima kasih atas apresiasinya :)
Saat ini aku jg mensupport Indonesia Rare Disorders, ini adalah wadah untuk meningkatkan awareness terhadap rare disorders/disease ;) dan kami akan mengadakan perayaan Rare Disease Day 2016, tanggal 28 Februari 2016 di Car Free Day Jakarta ;)
Halo mbak Nanda, saya berterima kasih karena melalui tulisanmu saya jadi kenal PRS, lebih salut lagi karena bukan hanya berjuang untuk Kirana tapi kamu juga support sosialisasi PRS yang pastinya bermanfaat untuk para ibu dengan pengalaman serupa.
Halo mama Yulia, maaf baru reply..boleh jg info dokternya :) thank you
Saya kagum sekali dengan perjuangan Mama Nanda... Semoga Kirana kesehatannya dapat membaik.
Apabila Mama Nanda memerlukan, saya mengenal dokter yg pernah menangani micrognathia PRS.
Aamiin :) thank you :)