Melahirkan dengan Plasenta Akreta

Waktu mengandung Safina dua tahun lalu, saya cukup banyak belajar mengenai komplikasi kehamilan dan persalinan. Pre-eklampsia, plasenta previa, dan beberapa lainnya, secara aktif saya tanyakan ke dokter kandungan yang dengan sabar menjelaskan pada saya dan suami.

Tapi terkadang, persiapan yang matang pun bisa meleset. Saya ternyata mengalami komplikasi plasenta akreta ketika melahirkan. Apa itu plasenta akreta?

Dari yang dijelaskan dokter kandungan dan dari yang saya baca, kelainan plasenta itu bisa dari posisinya, bisa juga dari kedalaman atau perlekatannya. Plasenta previa adalah kelainan posisi plasenta, yang mestinya tidak menghalangi jalan lahir, jadi menghalangi jalan lahir. Nah, kalau kelainan dari sisi kedalamannya, ada yang namanya plasenta akreta, inkreta, dan perkreta.


Biasanya, plasenta akan lepas secara spontan setelah bayi lahir. Pada plasenta akreta, perlekatan atau implantasi plasenta pada dinding uterus sangat kuat sehingga tidak bisa lepas secara normal. Plaseta inkreta dan perkreta kurang lebih sama, namun perlekatannya lebih dalam lagi.

Pengalaman saya menjelang melahirkan, saya sudah bukaan satu pada Rabu pagi, 16 Februari 2011, bukaan empat di sore harinya, tapi setelah itu mentok, pembukaan tidak bertambah, terus aja bukaan empat. Namun karena dokter saya sangat menganjurkan persalinan alami, beliau tidak menganjurkan induksi. Katanya, biasa kok lama kalau anak pertama. Jadilah hanya harap-harap cemas sambil bingung harus berbuat apa.

Kamis malam baru bukaannya nambah jadi lima dan meningkat sedikit-sedikit, sampai akhirnya Safina lahir di Jumat dini hari, 18 Februari 2011. Setelah bayi lahir, biasanya dokter akan melakukan pemijatan di perut untuk “melahirkan” plasenta. Sakitnya luar biasa, tapi plasenta saya tetap tidak luruh keluar. Akhirnya, melihat saya sudah kepayahan, dokter memotong plasenta sampai vagina dan akan memantau kondisi saya sambil berharap si plasenta akan lepas alami alias lepas sendiri.

Sampai menjelang tengah hari, HB saya terus turun dan saya mengalami pendarahan cukup banyak. Dokter pun tidak jadi menunggu si plasenta lepas, tetapi memutuskan untuk melakukan kuretase, jalan terbaik kedua selain menunggu lepas alami. Bila kuretase tidak berhasil, akan terpaksa dilakukan tindakan operasi seperti sesar.

Terus terang saat itu saya takut sekali untuk dibius, takut tidak bangun lagi. Apalagi setelah proses IMD yang kurang berhasil (hanya dapat skin-to-skin contact saja, soalnya kondisi saya menurun), saya belum bertemu lagi dengan bayi saya. Tapi permintaan dokter tidak mungkin ditolak juga. Bahkan yang tanda tangan persetujuan tindakan itu kakak ipar karena suami sedang sholat Jumat dan dokter menyarankan untuk tidak menunggu lebih lama.

Alhamdulillah proses kuretase berlangsung lancar, jadi saya tidak perlu dioperasi. Proses pemulihan berlangsung sekitar lima hari. Sebenarnya secara fisik saya merasa sehat, tapi HB saya terus rendah sampai harus transfusi darah lima kantong akibat komplikasi tersebut.


Menurut dokter, komplikasi ini tidak bisa dihindari, namun dapat diminimalkan risikonya. Misalnya dengan menggunakan ILA (sejenis obat penghilang rasa sakit atau epidural), sehingga ketika ternyata terjadi plasenta akreta, dokter dapat langsung melakukan kuretase setelah bayi lahir, tanpa perlu pembiusan total seperti yang saya alami.

Dan ternyata, perawat yang membantu dokter kandungan saya itu juga mengalami plasenta akreta setiap kali melahirkan! Dan ia sudah tiga kali melahirkan. Yang membuat saya takjub, si ibu ini tidak mengalami komplikasi sehingga tidak perlu dilakukan tindakan. Jadi “sisa” plasentanya yang “menggantung” di vagina itu lepas sendiri setelah kurang lebih tiga minggu sampai sebulan! Waw, saya tidak bisa membayangkan beraktivitas seperti biasa dengan benda aneh “menggantung” di bawah saya.

Apakah dengan pengalaman ini saya jadi takut melahirkan alami lagi? Tidak juga. Pengalaman ini hanya membuat saya lebih waspada lagi dan akan lebih intensif berkomunikasi dengan DSOG untuk rencana kelahiran berikutnya.

*gambar diambil dari sini

7 Comments

  1. avatar
    Kartika Pela Siregar January 29, 2020 11:52 am

    mba mau tanya, kmrn tindakan di RS apa n dgn dokter siapa ya?

    1. avatar

      As .



  2. avatar
    liana muga April 21, 2014 4:10 pm

    Mommy Hestia.. ternyata tdk hanya saya yg mengalami plasenta acreta saat kehamilan. bedanya plasenta saya ttp tdk bisa seluruhnya dikluarkan dgn pertolongan kuretasi. sehingga tindakan prmbedahan untuk mengeluarkan sisa plasenta pun ditempuh. Alhamdulilah proses berjalan lancar dan plasenta dpt dikluarkan seluruhnya. Selang 3th sudah, dan Alhamdulilah sekrang saya mengandung calon baby kami yang ke2.. semoga diberi kelancaran hingga proses kelahiran nanti yg kata dokter SpOG saya, proses kelahiran nanti hrs melalui proses SC.Minta doanya ya mommy.. Being a mother is heaven.. :)

    1. avatar

      As .



  3. avatar
    Honey Josep November 12, 2012 6:03 pm

    *peluk Hestia* memang perjuangan seorang ibu itu luar biasa!

    1. avatar

      As .



  4. avatar
    cynkoirewa November 9, 2012 1:09 pm

    Pada saat saya cekup ke SpOG waktu usia kehamilan 20w, saya diberitau bahwa posisi plasenta saya dibawah dan menghalangi jalan lahir atau Plasenta previa, saya disarankan untuk istirahat, tp saya masih nego sama dokternya karna berhubung masih kerja dan harus sering traveling ke tempat kerja yg jauh nun disana (dasar bandel ....), hehehe
    Kamis kmren saya cekup lg dan skrg sdh 25w, dri hasil USG posisi plasentanya masih di bawah tetapi sdh bergeser dikit dan tdk menghalangi, syukurlah .....
    Mudah2an nanti due datenya di Februari 2013, saya bisa melahirkan normal tanpa komplikasi, amiieeenn ... :)

    1. avatar

      As .



  5. avatar
    Bilang September 28, 2012 10:02 am

    Saya juga mengalaminya di kelahiran anak yang kedua, sisa plasenta keluar H+10 setelah melahirkan. Tiba2 pendarahan terus menerus seperti mau melahirkan, balik lagi ke RS ternyata ada plasenta yg tersisa. Alhamdulillah bisa tertolong.

    1. avatar

      As .