Mempermudah Anak atau Justru Menyulitkannya?
image credit: gettyimages.com
"Maaf Ma, Mas Biant kalau makan terbiasa disuapi ya? Kok saya amati tangannya masih agak bergetar kalau menyendok," saya sempat terdiam saat mendapat pertanyaan itu dari guru kelas Biant pada awal tahun ajaran kemarin. Saat itu usia Biant sudah 3 tahun 2 bulan, dan memang benar saya selalu menyuapinya setiap saat makan. Namun saya tidak pernah menyangka kalau hal ini berpengaruh pada Biant saat di sekolah. Yang ada di benak saya hanya agar Biant makan cukup dan lahap, itu saja.
Setelah itu, perlahan saya mulai membiasakan Biant makan sendiri di rumah atau saat kami makan di luar. Susah? Sangat amat susah... mulai dari makanan yang berceceran, hanya dimakan 1-2 sendok, sampai terdengar kata-kata "Abang gak usah makan, gak apa-apa," dari mulut kecilnya. Emosi saya jadi bercampur aduk, menahan marah, menahan untuk tidak mengomel, menahan tangan agar tidak menyuapinya.
Alhamdulillah usaha ini mulai berhasil. Saat pulang sekolah saya bertanya ke gurunya apakah Biant mau makan, dan jawabannya "Mau Ma, hebat Mas Biant berusaha menghabiskan makan siangnya." Yah, meski terlambat, tapi akhirnya berhasil. Andai saja sejak dulu saya mendisiplinkannya untuk makan sambil duduk di high chair.
----------------------
"Kak Lila hebat ya, Mbak. Berhasil diterima di boarding school itu. Seleksinya berat ya, ia pintar sekali deh," puji saya yang sama sekali bukan basa-basi pada seorang sahabat yang putri tunggalnya baru saja diterima di sekolah berasrama favorit setingkat SMP.
"Alhamdulillah, ya seleksinya cukup ketat. Tapi ada sesuatu yang masih mengganjal buat saya. Saat saya lega melihatnya siap secara kualitas, tapi ternyata saya lengah untuk menyiapkan mental dan kemandiriannya." Ternyata Lila sering sekali merasa kangen rumah, merasa terlantar di asrama karena harus mencuci pakaiannya sendiri, menyiapkan segala kebutuhannya sendiri, bahkan sampai mengeluhkan saat tidur kedinginan karena tidak ada yang menyelimutinya. Akting semata? Bukan! Ia seperti itu karena nyaris seluruh kebutuhannya selama ini selalu disediakan oleh ibunya. Setiap berangkat tidur pun selalu diselimuti oleh mamanya. Teman saya hanya ingin membantu buah hatinya selama ia bisa.
-----------------------
Suatu kali di timeline twitter saya menemukan kutipan dari Alissa Wahid. Sengaja saya simpan, sempat saya pandangi beberapa saat. Selama ini saya dan mungkin ibu-ibu lain memang selalu berusaha membantu setiap hal dalam kehidupan anak-anak. Kami melakukannya secara refleks saja, karena kami sangat menyayanginya. Ternyata hal itu bukanlah wujud cinta terbaik bagi mereka kelak. Saat kita membantu anak, sering kali kita lupa kalau hal itu perlahan membatasi kesempatan mereka belajar, membatasi kesempatan bereksplorasi dan menemukan kemampuan terbaik mereka, serta membatasi mereka untuk menjadi semakin tangguh saat menghadapi beberapa hal dalam hidup mereka.
Terngiang juga pesan dari sahabat saya, Mbak Mutiara (almarhumah), ibu dari Nebukadnezar dan Nikeisha, "Yang paling susah itu menyiapkan mereka saat nanti kita sudah tidak ada. Saat kita di samping mereka, itu jadi hal termudah karena memang secara naluriah kita selalu hadir untuk mereka. Nanti kamu akan merasakannya saat sudah punya anak." Perih saat mengingatnya...
Sekarang setiap saya mendoktrinkan pesan itu ke otak, yang sering muncul malah rasa sedih luar biasa membayangkan bagaimana anak hidup tanpa ibu yang selama ini selalu siaga untuknya. Perasaan takut luar biasa, (belum-belum) sudah merasa tidak rela kalau sampai benar kita tidak ada dan anak harus dipegang orang lain, dan masih banyak pikiran buruk lain bermunculan. Ternyata mencoba menempatkan pesan itu dalam sudut pandang positif susah sekali.
--------------------------
"Abang barusan pipis sendiri di kamar mandi, Ma, sudah dibersihkan, sudah disiram juga. Oiya, Abang juga sudah bisa taruh handuknya di tempat handuk."
"Abang taruh piringnya di dapur ya, Ma."
"Abang bisa ambil minum sendiri kok, Ma, tidak usah diambilkan."
Bangganya mendengar kalimat-kalimat itu keluar dari mulut kecilnya dengan penuh percaya diri. Walaupun mungkin ada yang menganggapnya agak terlambat, tapi yang terpenting saya bisa sadar bahwa kedua tangan saya bukan untuk membantu setiap detail hidupnya. Tangan saya lebih untuk memberi kekuatan besar saat memeluknya, mendukungnya, meyakinkannya bahwa ia punya kemampuan hebat untuk melakukan banyak hal. Tugas kita sebagai ibu adalah untuk membantu anak-anak kita menjadi lebih kuat dan tangguh di masa depan mereka kelak, bukan membantunya melakukan berbagai hal sekarang, tapi melemahkan kemampuan masa depannya.
Terharu baca tulisan ini *berkaca-kaca*. memang harus ditanamkan dalam hati setiap ibu bahwa tugas ibu adalah menyiapkan anak utk bisa survive di masa depan. Salah satunya dengan melatih kemandirian sejak dini. Ibu2 harus 'tega' melihat tangan mungil anak bersusah payah memegang sendok dan memasukkan makanan ke mulut; harus tega membiarkan mereka mengikat tali sepatu sendiri; dan tega-tega yg lain. Harus ekstra sabar memang menahan diri utk tidak 'membantu'. Pasti menyenangkan melihat mereka sudah bisa ini itu tanpa bantuan ibu:-)
huhuhu pagi-pagi baca ini lsg berkaca-kaca..*menunduk trus mewek* PRnya masih banyak ternyata ya jadi ibu hehe Thx mba Dea artikelnya sangat menginspirasi ! :)
Wooow, mom fransiska, hebat!!! Aku ga sampai semandiri itu sih. Cm masi inget banget, sjk 5th, TK lah ya, tiap malam diajarin siapin seragam buat bsk pagi. Aku slalu siapin baju+tas+sepatu dll nya rapih, br siap" tdr. SD uda harus urus smua kebutuhan skul sndri. Sering lomba" sampai keluar kota, pede aja brgkt sndri ama supir n guru pendamping klo mama sdg sibuk, klo bliau sdg ada wktu antar pun just for support. Sampai pernah, wktu itu SD kelas 5, mamaku pas sibuk bgt, hrs brgkt ke jakarta (wktu itu aku stay di ponorogo), guru pendamping ku dr skolah malah keder krn blm pernah naik pesawat, aku pede aja bilang "uda bu, tenang aja, nanti ama saya" hahaha...kesannya jahat amat, tp alhmdlh smua jd indah skrg, mandiri itu nikmat yaaa
Wah, mom Eka Wulandari, sama nih pengalamannya. Jadi inget sama didikan ortu di kampuang, hehe. Karena ortu dua-duanya bekerja dari jam 7am-8pm, anak2nya sejak kecil banget sudah disiapkan untuk mandiri. Dulu ngga ada tuh yang namanya diambilin makanan, disuapi, ngompol digantiin celana & dilap pipisnya, apalagi ngedot, susu saja bikin sendiri.
Saat bertambah besar, SD kelas 1, pulang pergi ke sekolah jalan kaki, kira2 1 km jauhnya, cuci baju sendiri, setrika baju sendiri, goreng telur sendiri, masak mie instan sendiri, ngerjain PR sendiri (kecuali matematika, nunggu papa, soalnya susah, hihi).
SMP kelas satu saya sudah dipercaya jaga ketiga adik saya + satu sepupu di rumah sewaan di kota, 2 jam dr kampung. I really have to behave older than my age, saat di rumah, apalagi saat ambil rapor adik2 dan daftar sekolah mereka.
Puji Tuhan semua bawa pada kebaikan ya.
Sekarang sudah merit, pede aja tuh kalo bisa survive dlm hal rumah tangga dan baby nanti, malahan suka iseng berpikir, "kayanya gw ga butuh laki deh, manjat genteng benerin antena aja bisa, ganti ban mobil aja bisa, ngapain sih ini orang ada di rumah gw?". Hahahaha!
Tapi ya, its really nice kalo bisa mandiri, dan saya enjoy! Saya akan mengajarkan hal ini pada putri saya sejak kecil supaya dia jadi wanita yang tangguh dan independen, buat kebaikannya sendiri di masa depan.
Terimakasih sudah diingatkan ya, mom dea
"yang sering muncul malah rasa sedih luar biasa membayangkan bagaimana anak hidup tanpa ibu yang selama ini selalu siaga untuknya. Perasaan takut luar biasa, (belum-belum) sudah merasa tidak rela kalau sampai benar kita tidak ada dan anak harus dipegang orang lain, dan masih banyak pikiran buruk lain bermunculan. Ternyata mencoba menempatkan pesan itu dalam sudut pandang positif susah sekali."
bagian itu pas banget. Saya amat sangat sering merasakan dan memikirkan hal itu. I feel you Mama Dea!
Dan artikel ini mengetuk, saya gak boleh cuma sedih mikirinnya, tapi harus mulai "membentuk" anak2 supaya bisa mandiri... maaaaaaak kok jadi berkaca-kaca ya.. *ambil tisu