Ketika Mama Mengurus SIM Bersama Balita

Mengurus surat dan dokumen penting saat masih memiliki anak balita yang masih menyusu itu jelas repotnya dobel. Membayangkannya saja sudah malas, belum lagi kalau harus lama mengantre, anaknya rewel, harus membawa bekal dan mainan, dan seabreg pikiran-pikiran negatif lainnya. Akibatnya, saya terus menerus menunda membuat SIM A.  

Saat bulan puasa lalu, kantor kelurahan tempat saya berdomisili mengadakan kursus menyetir sekaligus membuat SIM. Mengingat pengalaman teman-teman yang 'selalu gagal' saat membuat SIM lewat jalur resmi, saya pun mencoba untuk mengikuti jalur yang disediakan pemerintah. Daripada lewat calo kan? Biayanya memang tetap tinggi, yakni Rp 420.000 pada saat pelatihan dan Rp 120.000 untuk pembuatan SIM, ditambah Rp 25.000 untuk tes kesehatan.

Pada hari pertama, saya mengikuti pelatihan singkat di Balai Kelurahan tentang menyetir. Alhamdulillah, suami bisa berangkat siang ke kantor sehingga Argi (16 bulan) bisa bersama ayahnya dulu di rumah. Selama satu jam, peserta dibekali tentang teori berkendara yang aman plus video dan kisi-kisi tes tertulis saat proses pembuatan SIM nanti. Tanpa praktek, karena waktu terbatas. Ternyata biaya Rp 420.000 tadi untuk membayar lembaga kursus rekanan kelurahan ini. Peserta diperbolehkan kursus langsung ke tempat latihan mereka, walau saya yakin kebanyakan dari kami hanya membutuhkan sertifikat saja untuk mempermudah proses pembuatan SIM di Polres.

Keesokan harinya, saya, suami, dan Argi berangkat ke Polres Sleman. Sampai lokasi sekitar pukul 09.40 dan langsung menuju klinik untuk tes kesehatan. Setelah antri 20 menit, saya pun dipanggil. Argi masih tertidur sambil saya gendong. Tes mata, tensi, dan tes buta huruf pun selesai dalam 20 menit karena bergantian dengan pengantre lain. Setelah membayar Rp 25.000 dan mendapat tanda terima, saya pun menyeberang ke Polres dan langsung membayar Rp 120.000 ke Kantor Kas BRI. Ada petugas polisi di bagian informasi, sehingga kita bisa langsung bertanya jika bingung.

Saat ini, Argi sudah bangun. Saya pun menyerahkannya pada suami saya. Hanya pemohon SIM yang boleh masuk ke ruangan berisi loket dan tempat tes teori dan praktek. Camilan dan minuman untuk Argi pun saya titipkan ke suami, sementara saya memasukkan bukti pembayaran ke loket sambil mengantre formulir.

Sempat saya clueless disambut antrean yang panjang saat memasuki ruangan. Untungnya, seorang ibu hamil yang sempat saya ajak mengobrol di klinik memberi tahu saya untuk menyerahkan berkas pembayaran terlebih dahulu. Setelah itu, saya dipanggil dan diberi formulir. Selesai mengisi (jangan lupa bawa pulpen ya) dan mengumpulkan di loket 2, saya pun mengantre di loket foto.

Nah, loket inilah yang seperti hukum rimba. Pengantre mengerumuni pintu ruangan sehingga arus keluar masuk terhambat. Panggilan otomatis melalui monitor sesuai nomor yang kita peroleh pun tidak sesuai dengan antrean sebenarnya. Di dalam ruangan foto, hanya tersedia dua saf kursi and men were mostly sitting. Ya, ini Indonesia. Banyak wanita yang ikut mengantre dan berdiri hingga akhirnya ada pengumuman dari petugas bahwa mereka akan mendahulukan wanita yang membawa balita dan ibu hamil. Saya pun langsung menyeruak ke depan dan memberitahu petugas bahwa saya membawa balita. Alhamdulillah, saya langsung mendapat kesempatan foto dan petugas pun membubuhkan tulisan BALITA di berkas saya. Sejak tahap ini, jalan saya pun mulus ke tahap selanjutnya, tidak pakai lama.

Suami sempat mengirim pesan bahwa Argi sudah rewel. Suami saya pun berhasi masuk setelah menjelaskan pada petugas bahwa Argi masih menyusu. Namun, padatnya antrian membuat saya menahan diri untuk tidak menyusui Argi. Syukurlah, ada mini playground di sudut ruang tunggu utama sehingga Argi bisa main sejenak.

Setelah difoto, saya mengikuti tes tertulis menggunakan komputer. Tes hanya berlangsung sekitar 15 menit untuk 30 pertanyaan pilihan ganda. Hasil langsung keluar saat itu juga dan tidak ada ujian praktek. Saya pun kembali ke ruang utama sambil menemani anak saya bermain. Di mini playground ini, ada cukup banyak buku bacaan untuk anak. Argi langsung minta dibacakan buku, sampai akhirnya nama saya dipanggil dan SIM pun jadi. Saat itu pukul 12 tepat. Beruntunglah ada prioritas untuk wanita hamil dan menyusui.

Dari pengalaman membuat SIM A ini, saya lihat sendiri institusi pemerintah seperti Polres sudah ramah ibu dan anak. Bagi urban Mama yang hendak mengurus pembuatan SIM atau memperpanjang SIM, bekali diri dengan dokumen lengkap dan pelajari alur tata cara pembuatan SIM. Selain itu, jangan ragu untuk bertanya apakah kita mendapat prioritas atau tidak, karena malu bertanya, anak yang kasihan.

Bagaimana pengalaman Urban Mama saat membuat atau memperpanjang SIM di kota tempat Urban Mama tinggal? Boleh berbagi pengalamannya di kolom komentar ya.

0 Comments