Pelajaran Hidup dari Angkringan Pak Jendral
Masih lekat dalam ingatan ketika keponakan saya yang berusia 9 tahun bermain ke rumah saya di Yogyakarta. Keponakan saya ini tinggal di Ibukota. Ketika di Yogya, ia sangat tertarik dengan angkringan Pak Jendral yang berada di dekat rumah, yang selalu kami lewati setiap kami berangkat dan pulang dari mengajaknya berjalan-jalan.
Bosan dengan pertanyaan dan rengekannya mengenai apa itu angkringan dan bagaimana isinya, akhirnya saya ajak saja mencoba suasana angkringan. Pengalaman ini ternyata sangat berkesan.
Bagi saya, mengajak si keponakan ke angkringan ini tampak biasa saja. Meskipun baru satu tahun tinggal di Jogja, angkringan ya hanya seperti itu, tidak ada istimewanya. Akan tetapi, celoteh keponakan saya membuat saya tersadar bahwa betapa banyaknya pelajaran hidup yang dapat diambil “hanya" dari angkringan.
(Gambar: www.pexels.com)
Berawal dari pertanyaannya mengenai nama angkringan Pak Jendral, “Wah! Namanya keren! Angkringan Pak Jendral! Hebat ya Tante, meskipun berpangkat Jendral tetapi rendah hati, mau aja buka usaha angkringan!". Celetukannya ini membuat pengunjung angkringan tersenyum. Saat makan di angkringan, ia duduk persis di depan 'Pak Jendral' yang merupakan pedagang angkringan tersebut. Sebenarnya nama 'Pak Jendral' bukan berasal dari seseorang berpangkat Jendral, melainkan seseorang yang disegani di daerah setempat, dan si bapak ini berpostur seperti tentara sehingga ia dipanggil 'Pak Jendral'. Hihi. Biarlah itu menjadi rahasia saja.
Selain itu, keponakan saya ini juga tidak takut mencoba hal baru, dalam hal ini mencoba makanan baru, meskipun itu berlawanan dengan zona nyamannya yakni makan masakan buatan ibunya di rumah. Apalagi ia punya alergi beberapa jenis makanan. Ia sangat penasaran dengan hidangan nasi kucing. Ketika membuka bungkusan nasi kucing dan mencobanya, ia pun berseru, “Waa enak banget! Ga nyangka! Emang gak boleh judge a book by its cover ya, Tante! Biar dibungkus kertas koran gini, tapi enak banget rasanya, pedaaas!”. Mendengarnya, saya pun tertawa.
Sembari asyik melahap nasi kucingnya, ia kalap memilih berbagai macam sate. Diambilnya sate kerang, sate ceker, sayap ayam, baso tahu, tempe dan tahu goreng. Saya sudah bertanya beberapa kali, apakah ia sanggup menghabiskan itu semua. Keponakan saya menjawab, sanggup. Ternyata setelah dua bungkus nasi kucing dilahap habis, ia tidak sanggup menghabiskan lauk-pauk yang dipilihnya. Sadar akan kesalahannya, ia berkata “Maaf ya Tante, aku tidak tanggung jawab, tidak ngabisin makanan yang aku ambil. Huhuhu jadi mubadzir, aku takut dosa”.
Tertegun sejenak saya mendengarnya. Betapa anak kecil ini sudah mengerti apa itu tanggung jawab, mengambil makanan yang diambil, dan apa arti mubadzir. Hal sepele yang sering saya abaikan. “Tidak apa, makanannya bisa dibungkus untuk Oom di rumah,” ujar saya.
Setelah riang berceloteh menyapa pengunjung dan banyak bertanya kepada pegawai yang ia anggap sebagai “Pak Jendral”, akhirnya saya mengajaknya pulang. Dengan senyum berbinar ia berkata “Wah tante, senang banget aku ke angkringan gini. Bisa ketemu Oom dan Tante yang ramah-ramah!"
Saya pun menimpali, "Iya, memang itulah ciri khasnya angkringan, guyub istilahnya. Semua orang kaya, miskin, tua, muda, bisa datang ke angkringan. Tempat duduknya dekat dekat, dempet-dempetan, jadi bisa ngobrol dan duduk nangkring”. Ia pun mengangguk senang.
Duh, malam itu rasanya senang sekali. Bukan hanya karena saya dan keponakan bisa bersama menikmati budaya angkringan khas Yogyakarta. Namun betapa banyaknya celotehan polosnya yang menyadarkan saya tentang berbagai pelajaran hidup, belajar bersyukur, bahkan hanya dari sebuah kunjungan ke angkringan.
Halo Mama Cindy!
Salam kenal
:)
Wah pastinya seruuu banget ya Mama mengajarkan dan mengenalkan suasana angkringan kepada si Kecil..
Hihi betul banget! Yang tradisional memang lebih "syahdu" ya Mama, suasananya tak tergantikan dengan konsep yang modern sekalipun..
:D
Saya yang sekarang mulai akrab dengan angkringan atau hik ini sudah lupa kalau dulu saya excited an happy banget waktu pertama kali pindah ke Jawa dan nyobain makan dan nongkrong di situ.
Sampai anak2 penasaran, akhirnya saya kenalkan juga. Responnya hampir sama seperti keponakan mama lizta. Happy dan suka banget sama suasananya.
Sekarang angkringan sudah banyak dibuat modern, tapi tetap lebih asik yang jadul sih. Karena suasanya dan kebersamaannya lebih dapet..