Perhiasan Dunia Akhirat
Di saat saya masih kecil, terkadang saya mendengar cerita dari orangtua bahwa seorang teman mereka bercerai akibat orang ketiga. Atau, seorang teman mereka memiliki istri muda. Intinya, cerita tentang perpecahan rumah tangga selalu melibatkan peran orang ketiga. Entah mengapa, saya tumbuh dengan percaya bahwa kejadian-kejadian itu hanya terisolasi pada generasi sebelumnya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa teman SD atau SMP saya akan memiliki cerita yang sama.
Tapi itu yang terjadi. Di sebuah acara makan siang, seorang rekan kerja bercerita bahwa 3 teman dekatnya sudah berpisah karena WIL. Umur kami sama, kisaran 35-40 tahun. Saya kaget mendapati bahwa cerita yang didengar saat masih kecil menjadi kenyataan yang lebih umum di generasi kita. Ceritanya selalu sama. Sang suami bertemu WIL yang lebih muda dan lebih menarik secara fisik. Atau, WIL yang menurutnya lebih menarik secara personality. Kasus-kasus WIL ini melibatkan hati dan gairah. Ada lagi yang cukup kaya untuk menjadikan WIL tersebut sebagai istri simpanan.
Ada lagi yang hanya melibatkan gairah. Mereka tidak menceraikan istri karena tidak ada masalah dengan hati, tetapi mereka mengunjungi tempat seperti panti pijat. Dari penuturan mereka, hal ini mereka lakukan hanya untuk menjawab gairah. Dan meskipun mayoritas kasus berasal dari suami, ada satu-dua kasus yang dilakukan oleh istri juga.
Penuturan mereka cukup beragam. Dari mulai alasan fisik, yang sangat menyinggung kaum hawa, seperti:
“Istri gue udah gak kayak dulu lagi (badannya).”
“Istri gue udah gak menarik lagi...”
“Istri gue gak mau melakukan apa-apa yang gue minta (di ranjang).”
Sampai ke penuturan yang sebenarnya memiliki makna yang lebih dalam, seperti:
“Karena istri gue tidak lagi sepengertian dulu.”
“Gue ngerasa, hubungan gue sama istri gue sudah hambar banget.”
“Gue capek sama istri gue. Bukannya menenangkan, malah meletihkan..”
Apa hubungannya dengan parenting? Meski tidak semua – anak yang bahagia, datang dari keluarga yang bahagia.
Meski tidak semua – keluarga yang bahagia, datang dari kehidupan suami istri yang bahagia juga.
Saya termasuk orang yang percaya bahwa menjadi pasangan yang baik, akan membuat kita menjadi orangtua yang baik (meski tidak semua).
Pindahnya hati dan pindah gairah. Ternyata kata kuncinya adalah pindah. Perkara gairah dapat dibedah dengan mudah. Tidaklah adil seorang suami yang mengharapkan istri berbadan seperti model, setelah melahirkan dan menyusui 3 anak. She has done, enough. Marriage takes commitment, dan termasuk di dalamnya adalah komitmen untuk bersama, sebaik atau seburuk apa pun kondisi fisik kita. Tidaklah adil seorang suami yang mengharapkan istri untuk menjadi perhiasan dunia, sementara sang suami sendiri tidak menata badannya. Keinginan seorang suami untuk memiliki istri yang menarik fisiknya, sama kuatnya dengan keinginan seorang istri untuk memiliki suami yang gagah tak lekang oleh waktu.
Sebenarnya, gairah akan tetap ada dan hati tidak akan pindah, jika kita work on it. Jika kita berusaha. Contoh yang menarik adalah kisah seorang teman pria – seorang suami.
Dulu, katanya, dia memastikan diri untuk mandi, rapi dan memakai parfum sebelum pergi ke kantor. Mengapa? Karena dia ingin tampil representatif untuk rekan kerja. Dia pulang sampai rumah, tidur memakai kaus lusuh dan terkadang lalai mandi. Suatu hari, dia baru sadar, sebenarnya yang lebih penting dalam hidup itu siapa? Apakah rekan-rekan kerjanya, yang dia temui hanya 8 jam sehari sampai umur 55? Atau istrinya, yang dia temui 16 jam sehari untuk seumur hidup?
“I work to live. And I live with my wife. Therefore, she deserves better than this”, ujarnya.
Setelah sadar akan hal itu, dia mandi sebelum tidur. Dia pakai parfum sebelum tidur. Dia olahraga untuk stay fit. Dia pergi ke dokter gigi tiap 6 bulan sekali untuk membersihkan karang gigi, karena istrinya mengeluh akan bau mulutnya di saat mereka berdua. Dia ingin pastikan bahwa meski dia bukan movie star, setidaknya dia sudah menjadi sebaik-baik perhiasan yang seorang suami bisa. Hal yang sama juga berlaku untuk istri. Sang istri pun ikut olahraga, ikut ke dokter gigi. Sang istri terlihat apik saat berdua. Because he deserves it.
Bagaimana dengan curahan hati:
“Karena istri gue tidak lagi sepengertian dulu.”
“Gue ngerasa, hubungan gue sama istri gue sudah hambar banget.”?
Yang kita kerap lupa adalah bahwa kemesraan adalah sebuah kelayakan yang diusahakan. Suami mencari WIL karena istri tidak mesra. Ada banyak spektrum yang dapat dibedah di sini. Pertanyaan pertama, mengapa istri tidak lagi mesra? Apakah karena suami menjadi prioritas kesekian? Atau apakah sang suami yang sudah tidak layak dimesrakan? Karena harus suami sadari, sulit bagi seorang istri untuk mesra jika sang suami pun kerjanya bentak-bentak, atau merendahkan. Itu sebabnya ada kalimat, kelayakan yang diusahakan. Karena kita harus layak dulu untuk mesra, untuk diusahakan mesra. Dan ini berlaku untuk suami dan istri.
Di sisi lain, satu hal yang kadang saya tangkap dari hasil percakapan dengan ibu-ibu rekan kantor adalah, terkadang, bersikap mesra kepada, atau mengerti keinginan suami (seperti dulu) is too much work. Setelah belasan tahun menikah, bersikap mesra kepada suami seperti dulu menjadi prioritas kesekian. Banyak suami maupun istri yang tidak sadar, betapa bahayanya ini. Karena yang harus digarisbawahi adalah kebanyakan suami mengerti bahwa pudarnya fisik kita tidak dapat kita lawan. Namun kemesraan adalah sesuatu yang diusahakan.
Dan hilangnya kemesraan, adalah berhentinya sebuah usaha.
Usaha mesra dari satu pasangan, dan usaha untuk menjadi pasangan yang layak dimesrakan.
Baik suami maupun istri harus sadar akan 3 perihal yang sangat mendasar dalam menjaga kebahagiaan pasangan:
pertama, bahwa suami dan istri adalah perhiasan dunia akhirat bagi pasangannya.
Kedua, setiap manusia per-umur, tidak selamanya suami DAN istri dapat menjadi perhiasan namun kita dapat berusaha menjadi perhiasan yang terbaik yang kita bisa. Dan itu sudah sangat dihargai oleh pasangan kita.
Ketiga, kemesraan adalah sebuah kelayakan yang diusahakan. We need to work on it. We need to work on marriage, to make it last.
Dari cerita ini, kita dapat tarik satu hikmah: bahwa masalah rumah tangga lahir di saat salah satu pihak berhenti menyenangkan, berhenti menenangkan, berhenti mengerti dan berhenti mengusahakan kebahagiaan yang mereka miliki.
Suatu saat nanti, anak kita akan menikahi pasangannya. Dia akan menjalankan pernikahannya, dengan belajar dari bagaimana kita menjalankan pernikahan kita.
Terima kasih atas tulisan bermakna Kang Adhit. Love this article!
JLEB BANGEEET KANG! :(((
mas adit bagus banget tulisannya. inspiring! mesra memang harus diusahakan yah,
Kang Adhit, terima kasih tulisannya. Bagus sekali, jadi pengingat aku dan suami.
Tulisannya nice banget kang. Terima kasih tulisan kang adhit sudah menjadi reminder.
*langsung fwd ke paksu biar dibaca juga, hahaa*