Sekarang Saya Mengerti
Dulu saya pernah melihat, di sebuah sudut dermaga ikan. Seorang ibu yang bekerja sebagai pengupas kerang, membawa bayinya ke tempat dia bekerja. Di sela kesibukannya dengan pisau dan cangkang kerang, si ibu sesekali mengayun bayi di dalam buaian selendang yang diikat pada tiang. Saya nggak ngerti. Kenapa ibu itu harus membawa bayinya ke tempat yang bau amis, panas, riuh, kotor. Kenapa nggak ditinggal saja di rumah? Dijaga neneknya misalnya?
Saya juga pernah melihat seorang ibu pedagang gorengan dan kue-kue, membawa bayinya berkeliling menjajakan dagangan. Dia berjalan dengan dua helai selendang melilit di badan. Satu untuk menggendong bayinya di depan. Satu selendang lagi untuk menggendong bakul berisi kue, aneka gorengan, lemper, dan rantang berisi sambel kacang. Saya nggak mengerti. Kenapa ibu itu memilih untuk membawa si bayi? Kan selama ibunya bekerja, bayi kecilnya bisa ditinggal di rumah saja. Dijaga ayah, nenek atau saudaranya mungkin?
Serupa dan hampir sama. Di salah satu Cagar Alam di Sulawesi, saya bertemu seorang peneliti yang juga seorang Ibu. Ia harus berada di sana untuk meneliti monyet hitam macaca nigra. Selama berada di sana, anaknya (yang saat itu saya perkirakan berusia sekitar satu setengah sampai dua tahun), dibawa serta. Saya nggak ngerti. Kenapa dia membawa anaknya ke tempatnya bekerja? Di hutan. Sebulan pula katanya. Bagaimana kalo anaknya yang imut itu dikerubuti nyamuk hutan, yang kadang menggila kalau ketemu darah kota? Dan pastinya, pondokan tamu (penginapan di sana nggak bisa disebut hotel), kan nggak lebih nyaman daripada rumahnya.
Nah. Sekarang, saya juga seorang ibu. Seorang ibu (yang masih memilih untuk tetap) bekerja. Sekedar catatan, bukan terpaksa bekerja karena memang tidak ada seorangpun yang memaksa saya untuk bekerja. Tapi dengan berbagai pertimbangan, saya memilih untuk (masih) menjadi working mama.
Ketika masa cuti tiga bulan terlewati, masa-masa sulit untuk mulai meninggalkan Banda (putra saya) dan kembali bekerja, harus mulai dihadapi. Masa-masa sulit yang bertahap. Kondisi awalnya, saya "hanya" meninggalkan Banda ke kantor. Kalaupun keluar kantor, masih di seputaran Jakarta. Karena kantor tempat saya bekerja masih memberikan dispensasi untuk ibu yang menyusui ekslusif, sampai bayinya berusia 6 bulan, tidak ditugaskan ke luar kota.
Lalu masa 6 bulan itu-pun terlewati. Dan... dinas luar kota di depan mata.
- Dengan perhitungan stok ASI yang bertipe minimalis di freezer (baca: lima botol saja jumlahnya).
- Dengan pertimbangan harus meninggalkan Banda enam hari lamanya.
- Dengan pemikiran bahwa perjalanan kali ini merupakan perjalanan darat dan kota tujuan masih relatif kota besar (Cilegon Banten-red).
- Dengan tujuan supaya ASI tetap berjalan lancar, supaya banda tetap bisa semaksimal mungkin selalu dalam pengawasan saya.
- Juga, terutama dengan izin dari suami tercinta.
Akhirnya, saya memutuskan untuk membawa Banda serta. Turut diangkut pula, bibik pengasuh dan seabrek kebutuhan Banda.
Jadilah, selama saya bekerja di siang hari, Banda tinggal di hotel bersama bibik pengasuhya. Kalau pekerjaan bisa selesai agak sore, saya ajak Banda keliling kota, untuk melihat-lihat keramaian yang ada.
Beberapa orang, bahkan saudara sempat berkomentar (sebagian bernuansa agak sinis) seperti,
"Hah? Lo bawa anak ke luar kota? Nggak kasian?"
"Apa nggak ditinggal aja, sama neneknya atau sodara gitu?"
"Kasian amat, risiko lah ya..."
Semua itu menerbangkan ingatan saya pada ibu pengupas kerang di dermaga ikan. Pada ibu pedagang kue dan gorengan. Juga pada ibu peneliti monyet Sulawesi. Dimana dulu, salah satu yang memberikan komentar senada (walaupun dalam hati saja) adalah saya.
Karena sekarang saya mengerti.
Bahwa sesuatu yang dulu saya tidak mengerti itu ternyata adalah pilihan yang memang tidak mudah.
Bahwa sesuatu yang dulu saya tidak mengerti itu ternyata adalah sebuah keputusan yang diambil dari serangkaian pertimbangan matang.
Bahwa sesuatu yang dulu saya tidak mengerti itu, sejatinya adalah bentuk dari perjuangan dan limpahan kasih sayang.
Ya, sekarang saya mengerti. Saya hanya berharap, semoga saja, Banda (dan anak dari ibu pengupas kerang, dan anak dari ibu penjual gorengan, dan anak dari ibu peneliti monyet Sulawesi), nantinya bisa mengerti. Alasan kanapa kami membawa serta kalian, saat kami bekerja. Sama sekali bukan bermaksud untuk menyusahkan. Sama sekali bukan hanya karena kami nggak mau mati kangen meninggalkan buah hati kami selama kami bekerja. Melainkan, menjaga kalian, Nak. Supaya selalu nyaman dalam pelukan. Di saat kami harus bekerja (jauh dari rumah) sekalipun.
Semoga saja, nantinya, semua ini justru bisa menjadi penggalan indah cerita hidup kalian. Diajak serta saat ibu bekerja. Dan, hey! Itu menyenangkan, kan?
Baru baca artikelnya...
Nice article..as a working mother, i feel you.. :)
Nice article.. Smp terharu bacanya.
wow...terharu and speechless..anakku Aira masih 13 bulan, pengen deh sesekali dibawa kekantor..tetapi itu tidak memungkinkan dan suami juga melarang..karena kita berdua naik KRL dari Bogor ke Jkt dan KRL skg kondisinya jauh dari nyaman...beruntung kantor tempat saya bekerja tidak menugaskan untuk dinas luar kota...
halo mom..baru baca artikelnya nih baguus banget. Seneng banyak juga moms yg bawa anak ke tempat kerja. Saya juga working mom yg lumayan sering harus nginep di hotel & keluar kota. Jadi saya bawa deh akila kemana-mana di darat laut udara heuheuheu. Koper standard sudah selalu tersedia untuk saya, akila, dan suster. Kalau bisa cuti, papanya akila deh yg gantiin suster buat jagain akila selama saya kerja. syukuur banget punya suami yg suportif dan mau ikut2 istri business trip ke luar kota :') Thanks for sharing ya Mom..
senyum sembari nangis baca artikel inih hehehe
brasa liat diri sendiri bgt,heheh
instansi tmp saya bekerja juga tiga bulan sekali ada jadwal dinas keluar kota, beruntung saya bisa meminta kunjungan ke kota2 yang dekat sehingga bisa boyong Kayana (17bln), si mbak, sampe neneknya untuk nemenin saya dinas
bagi2 waktu, bawaannya juga heiboh tapi seneeeng bgt krn ga harus pisah sm anak hehe..belum sanggup :')