The Day I Become a Heart Mama
Some people never meet their hero, I gave birth to mine.
Lima tahun yang lalu, saya melahirkan seorang bayi laki–laki yang sangat lucu. Menjadi seorang mama untuk pertama kalinya adalah anugerah terindah dalam hidup saya.
Selama kehamilan, tentunya saya tidak pernah absen untuk memeriksakan kandungan saya. Sebelum hamil, saya juga telah melakukan pemeriksaan TORCH dan hasilnya negatif untuk virus tokso dan rubella. Rajin minum vitamin yang diresepkan dokter dan rajin senam hamil untuk mempersiapkan proses melahirkan normal. Semua saya jalani dengan suka cita bersama suami tercinta.
Akhirnya hari yang ditunggu pun tiba. Telah lahir ke dunia bayi laki-laki dengan berat 3,025 kg, panjang 47 cm, skor APGAR 9. Setelah lahir segera dilakukan inisisai menyusui dini (IMD).
Keesokan pagi saya dipanggil ke ruang dokter spesialis anak. Dokter anak yang membantu proses kelahiran bayi kami memberitahukan bahwa ada suara bising di jantung anak kami. Saya dan suami hanya diam saling menatap satu sama lain dan bertanya "Bising jantung itu apa, Dok?"
Dokter anak menjelaskan agar kami tidak perlu khawatir karena akan diobservasi dulu selama tiga hari. Jika bisingnya tidak hilang, anak kami dirujuk untuk echography jantung. Dokter anak tidak terlihat terlalu khawatir karena skor APGAR-nya 9, menangis keras, aktif, kuat menyusu ASI dan tidak biru. Kemudian dokter menjelaskan lagi bahwa ada kemungkinan penyakit jantung bawaan atau Congenital Heart Defect (PJB/CHD), yaitu mungkin ada kebocoran yang istilahnya disebut dokter anak sebagai ventricular septal defect (VSD). Namun, lanjut dokter anak, dengan teknologi sekarang VSD bisa ditutup tanpa harus operasi.
Mendengar kata 'penyakit jantung bawaan' dan 'operasi', tentu saja kami makin panik.
Kembali ke kamar, saya pun menangis. Sedih dan takut mendengar ada sesuatu dengan jantung anak saya. Suami langsung mencari tahu tentang penyakit jantung bawaan, jantung bising, jantung bocor, VSD, serta semua istilah baru yang kami baru dengar di hari itu. Jujur saja, rasa khawatir itu besar. Sangat besar. Semakin banyak opini malah semakin membuat kami khawatir. Apa yang terjadi dengan anak kami ?
Akhirnya echography jantung pun dilakukan. Segera setelah hasil print echo keluar, dokter jantung meminta saya untuk duduk. Kemudian dokter memberi tahu bahwa pada anak saya ada Penyakit Jantung Bawaan dengan jenis Truncus Arteriosus (TA) type 1 dan harus segera dilakukan tindakan operasi sebelum umur 100 hari. Jika tidak, paru-parunya akan terendam darah, yang kemudian akan menyebabkan gagal jantung dan meninggal.
Justin, you were given this life because you are strong enough to handle it. Pejuang kecilku yang berjuang melawan PJB/CHD di setiap detak jantung dan tarikan napasnya. Yang beradaptasi dengan kondisi jantungnya sejak lahir. Sudah menjalani open heart surgery di usia 100 hari. The surgery may repair but the heart may never truly be whole.
Dua bulan pasca operasi adalah masa yang rawan untuk anak PJB. Selama di rumah sakit, saya perlu belajar banyak hal tentang PJB/CHD dan cara merawat anak saya. Dokter selalu berpesan, Mama adalah perawat terbaik untuk anaknya dan Mama adalah orang terdekat yang bisa mengidentifikasi kondisi anak jika terjadi suatu gejala yang tidak normal pada jantung anaknya. Karena sebelum dinyatakan full recovery, Justin diusahakan tidak boleh demam, batuk serta pilek. Flu ringan saja bisa berakibat fatal pada Justin saat itu.
Setelah Justin dinyatakan full recovery dari open heart surgery, dokter jantungnya menyarankan untuk selalu memantau tumbuh kembangnya. Pesannya, perlakukan Justin selayaknya anak normal, seperti pantau terus perkembangan sensorik dan motoriknya, diusahakan tepat untuk setiap tahapan untuk menghindari terhambatnya perkembangan ke depan. Sejak usia 6 bulan, Justin sudah sekolah untuk bayi, hanya untuk melatih motorik dan sensorik agar tumbuh-kembangnya normal. Justin juga sama sekali tidak mengonsumsi obat-obatan jantung, hanya rutin check echo jantung setiap enam bulan. Kualitas hidupnya baik, normal dan super aktif. Sekarang Justin sudah bersekolah di TK nol kecil.
Most congenital heart defect children don’t look sick. You can’t tell them apart from other kids, but their scars are very real. Most have faced more in their short lives than any person should. Congenital heart defect kill more children every year than all childhood cancers combined. Beneath their shirts are battle scars, constant reminders of their battles to live. They have a strenght, courage and resilience that we can only be amazed by.
I know I’m not alone, I just need to find another 'heart mama'.
Mengutip Susan Zajicek, “Parents of children who have invisible special needs often feel isolated judged and frustrated until they meet other parents sharing a similar journey”. Walaupun keadaan berangsur-angsur pulih dan berjalan dengan normal, tetapi ada sesuatu yang kurang. Seorang teman, ada satu teman saja yang bisa mengerti keadaan saya sekarang ini sangatlah berarti. Keluarga sudah sangat banyak memberikan dukungan dan perhatian, saya bersyukur memiliki keluarga yang kompak. Sharing values dalam keluarga kamilah yang selama ini menguatkan saya dan suami.
Namun teman yang sama-sama berjuang di medan yang sama, menghadapi ketakutan dan kekhawatiran yang sama, merasa dihakimi dengan keadaan yang kami sendiri tidak tahu apa penyebabnya serta berbagi prioritas yang sama tentang anak. Ya, saya mencari seorang teman dengan segala drama dan permasalahan yang hampir mirip. Terus terang kadang rasanya sedih ketika mengajak anak saya jalan-jalan pagi atau sore di taman, ada saja yang bertanya mengenai kondisi fisik anak saya yang mungil seolah-olah saya tidak becus menjadi seorang mama. Semua proses mencerna pertanyaan tersebut rasa-rasanya sudah saya lewati, dari saat masih semangat menjelaskan sampai ke titik di mana lebih baik saya diam dan senyum saja. Saya merasa sangat butuh 'curhat', untuk sekadar tahu bahwa saya tidak sendirian mengalami ini. Rasanya senang jika bisa sekedar berbagi pengalaman merawat anak PJB/CHD.
Suatu hari saya dihubungi oleh Bapak Heru Kustiawan, founder Little Heart Community (LHC), yang anaknya memiliki kelainan PJB juga. Anaknya bernama Kenneth, telah menjalani open heart surgery di usia 2 minggu dengan kelainan Transposition of the Great Arteries (TGA). Pastinya lebih berat lagi perasaannya saat harus menyerahkan bayi berumur 2 minggu untuk menjalani operasi besar. Saya bisa berkenalan dengan Bapak Heru Kustiawan karena dikenalkan oleh mama saya. Bapak Heru pun mengajak saya bergabung dalam support group yang seluruh anggotanya adalah orangtua dengan anak PJB. Alhamdulillah, suatu berkah bisa berkenalan dengan Bapak Heru dan keluarganya, juga dikenalkan dengan group orangtua dengan anak CHD/PJB.
Sekarang saya punya banyak keluarga di LHC, sudah ada lebih dari 250 keluarga yang ikut bergabung. Saat awal saya bergabung, hanya sekitar sepuluh keluarga saja, tetapi terus bertambah setiap harinya. Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari keluarga LHC, belajar banyak dari orangtua lainnya untuk lebih ikhlas dan sabar. Saya belajar banyak anak-anak PJB/CHD, mengamati bagaimana mereka selalu ceria, aktif, dan lincah karena jantung mereka yang selalu berdetak cepat. Anak yang terlahir dengan PJB/CHD rata-rata detak jantungnya lebih cepat daripada anak-anak yang terlahir dengan jantung normal, mungkin itu sebabnya anak dengan PJB/CHD selalu terlihat ceria dan punya semangat yang tinggi. Walaupun terkadang mereka harus mengatur napas ketika sedang asik bermain bersama teman-temannya tetapi hal tersebut tidak pernah menyurutkan semangat anak-anak PJB/CHD untuk terus bergerak.
One in every 100 children will be born with Congenital Heart Defect and one of them is mine.
Most CHDs have no known cause. Spreading the awareness is the only thing we can do. I understand you’re not a CHD parent, so spreading awareness isn’t a priority. But the day before my child’s diagnosis, I wasn’t CHD parent either.
tono | January 16, 2019 11:54 pm
Selamat malam mom @raydanni dilianawati saya siska anak saya yg baru lahir dan skrg berusia 1 stgh Bln mempunyai penyakit yg sama dengan anak ibu. Yaitu Truncus arteriosus type 1
Boleh kan saya bergabung dengan group wa untuk sharing dan tahu bagaimana cara penanganan nya
Anak saya nanti usia 3bln mau di operasi
Terima kasih
saya mau sedikit cerita, anak saya lahir dengan bb 3.1 dan panjng 48, namanya al qaim nara mikail, hari pertama kelahiran alhamdullilah anak saya sehat, tapi setelah usia 2 hari karena qim ( panggilan saya) saat menangis biru, maka dsa memperiksa anak saya dan mengatakan bahwa anak saya ada bising jantung dan harus dieco, pada umur 2minggu qim di eco dan katanya ada pda ukuran 3mm, itu pun bisa menutup sendiri itu kata dsanya, karna dipadang ini dsa jantung anak cuma satu2nya jadi kami tidak punya refernsi lain, diminta eco ulang pada usia 3bulan, tetapi belum usia 2bulan qim masuk rumah sakit karena infeksi paru, dan diminta eco lagi oleh dokter yg sama, tapi malahan pjb qim bertambah dri yg hanya pda jadi vsd,asd,sp, atresia trikuspid, saya bingung dan 3 kali masuk rumah skit , pada umur 3.5 bulan akhirnya qim sepertinya sudah tidak kuat lagi dan berpulang kerahmatullah,, sampai sekarang ini yang masih menjadi pertanyaan saya penyebab pjb yg dialami padahal saya sudah cek lab prodia lhamdullilah tidak ada virus apapun, dan dokternya kurang menjelaskan, padahal saya sudah minta rujukan kejakarta tapi dokternya belum memberikan dan terkhir saya ingin bawa qim ke KL tapi allah berkehendak lain.. maaf ya saya jadi cerita panjang lebar.
salam kenal semua, saya mau bertanya apakah ada yg pengalamannya awalnya anak di diagnosa hanya satu jenis pjb seiring bertambahnya usia pjbnya bertambah? maaf ya kalau pertanyaan saya seperti ini, saya hanya masih penasaram
Salam kenal mba Raydani...2 bulan lalu saya melahirkan anak pertama saya dengan kelainan jantung bawaan TOF..jika diperkenankan boleh saya bergabung dg para orang tua yg memiliki anak pjb..terimakasih
Hallo mba nike..
Di group ada yang PS dan banyak juga member di jogja..
Boleh minta nomor telepon mba nike?
Bisa email ke [email protected]
Terimakasih