The Jakarta (Mini) Explorer


Ayah saya adalah peta Jakarta, khususnya lagi daerah Kota Tua Jakarta. Beliau adalah fotografer, karena itu juga dari kecil saya sudah terbiasa diseret-seret ke berbagai tempat yang akan beliau foto. Keliling Jawa, Sumatera Utara dan Aceh diantaranya. Dan tentunya juga kota Jakarta. Plus sekarang ini beliau banyak mengajar kelas maupun workshop fotografi, dan tujuan hunting foto bersama murid-murid yang paling sering dilakukan adalah ke Kota Tua Jakarta. Begitu beliau mendengar tentang petualangan saya dan Aira keliling Jakarta, si kakek ini langsung menawarkan untuk mengajak cucu-cucunya ke Pelabuhan Sunda Kelapa, melihat kapal Phinisi. Tentunya saya terima dengan senang hati.

Pada suatu hari Minggu, saat Ayah sedang keluar kota, Saya, Aira, Aidan, Mama - ibu saya, dan Aweng - ayah saya, pergi mengunjungi Pelabuhan Sunda Kelapa, atau seperti yang tertulis di pintu masuknya, Pelaboehan Soenda Kelapa. Aidan ribut sepanjang jalan, ingin cepat-cepat sampai, heboh ingin naik kapal. It was a shrek-donkey-are-we-there-yet moment all the way there. Untungnya jalanan hari Minggu itu lowong, jadi sebentar saja kami sudah sampai di sana.

Seperti umumnya pelabuhan kapal barang, aktivitas di Pelabuhan Sunda Kelapa didominasi dengan kegiatan menaikkan dan menurunkan barang. Bedanya, kapal yang berderet-deret berlabuh disana adalah kapal Phinisi, kapal layar kayu besar kebanggaan Indonesia. Aweng mencari kapal yang sedang tidak sibuk, supaya bisa naik ke atasnya. Si Mister Aidan yang dari tadi sibuk mau naik kapal tampak ragu-ragu, sepertinya dia tidak menyangka kapalnya sebesar itu. Aidan urung naik, yang berarti saya juga, karena harus menunggui Aidan. Si jagoan mau duduk di pinggir situ saja, melihat kapal dari bawah. Mungkin yang ada di bayangan Aidan waktu Aweng bilang kita mau naik 'kapal' adalah sampan yang di dayung.




Aira naik bersama Aweng. Mukanya panik, karena untuk naik keatas kapal, satu-satunya cara adalah dengan meniti sebilah papan. Papan tadi sebenarnya kokoh, tapi mengayun setiap kita melangkah. Aira menyebrang dengan muka panik sambil berpegangan dengan kakeknya. Sampai diatas mereka berkeliling kapal, naik turun, memasuki ruang kemudi, sampai ke ujung kapal. Mengobrol juga dengan pekerja yang sedang beristirahat di atas kapal. Setelah itu Aira kembali dengan kepanikan menyeberangi papan untuk kembali ke 'daratan'.

Jadi, kalau berkunjung ke Pelabuhan Sunda Kelapa, cari saja kapal yang sedang tidak sibuk untuk dinaiki. Atau bisa juga menyewa sampan untuk berkeliling perairan sekitar situ sebentar. Yang perlu diingat, ini perairan Jakarta, bukan Karibia atau semacamnya. Perairan Jakarta ini terkadang bisa 'harum' luar biasa.

Dari sana, kami bergeser sedikit dengan naik mobil menuju Museum Bahari. Waktu itu masih agak pagi, belum ada petugas yang menjaga di pintu masuk, tapi si Aweng nyelonong saja mencari penjaga ke dalam dan menyerahkan uang untuk karcis (dewasa Rp. 2000,- anak-anak Rp. 600,-) yang petugasnya belum datang waktu itu.



Museum Bahari, atau juga dikenal sebagai Museum Maritim berisi peninggalan VOC yang berkaitan dengan kelautan, juga sejarah tradisi melaut nenek moyang bangsa Indonesia. Ada banyak benda-benda navigasi kuno dan berbagai macam kapal tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Buat saya, museum ini pun seperti kebanyakan museum lainnya di Jakarta (dan Indonesia) seharusnya bisa dibuat jauh lebih menarik lagi. Tapi dengan harga karcis masuk yang semurah itu, saya jadi maklum saja kalau museum-museum Indonesia kebanyakan kurang terawat. Tapi pagi itu, di saat matahari belum terik dan bangunan kuno itu masih kosong melompong, Aira dan Aidan sibuk lari kesana kemari. Mencoba berbagai alat kemudi kapal, naik turun kapal-kapal yang berdebu. Mereka cukup senang.

Kalau berkunjung ke sana, jika sempat coba naik ke menara Syah Bandar. Atau jika membawa uang lebih, kunjungi pasar yang tepat berada di depan Museum Bahari. Ada berbagai kerajinan yang terbuat dari kerang, dan tentunya bau ikan asin kering yang walaupun menusuk sekali tapi juga menggiurkan, membayangkan di rumah nanti digoreng dan dimakan dengan nasi panas plus sambal.

Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa.

Angin bertiup layar terkembang, ombak berdebur di tepi pantai, pemuda berani bangkit sekarang, ke laut kita beramai-ramai.

7 Comments

  1. avatar
    Luluk Fafziah December 15, 2011 9:43 am

    seruu juga ;)
    tar kalo khalisa udah gede diajakin kesana juga ah hehe

    1. avatar

      As .



  2. avatar
    Luluk Fafziah December 15, 2011 8:56 am

    seruuu, tar mau bawa khalisa kesana juga ahh.. si emak ma bapaknya mah udah sering kesana dulu sebelum punya anak hehe

    1. avatar

      As .



  3. avatar
    Puan Dinar Aifa September 23, 2011 11:02 am

    emang suka sedih banget kalo denger harga tiket masuk museum di Indonesia, terutama yg diurus pemda. Rp.600,- kan buat beli teh botol aja gak dapet yah. Hehe.. Gimana mau ngurus museumnya coba. Padahal kalau dinaikin harganya, dibuat lebih menarik, pasti ramai kok. :)

    Daerah kota tua dan sekitarnya emang 'segitiga emas' museum di Jakarta. Sekali jalan, bisa ke macem-macem museum. ;)

    1. avatar

      As .



  4. avatar
    WiwiT September 22, 2011 12:45 pm

    waaahhh.. seru sekali petualangannya mom... dan baru semalam saya nyanyiin lagi itu ke KIRA-KARA. Dengan semangat mereka berusaha loncat2 diatas tempat tidur... hihihi. Sepertinya sebentar lagi saya juga harus ikut berpetualang bersama KIRA-KARA ^_^v

    1. avatar

      As .



  5. avatar
    shinta lestari September 22, 2011 12:04 pm

    waa seruu banget!! selalu gemes denger betapa murahnya masuk ke museum di jakarta, trus ngeliat kalo museumnya ga kerawat. kenapa gak dinaekin aja sih harganya? buktinya banyak yang mau bayar sampe puluhan ribu hanya ke playground anak? kenapa ke museum gak mau? tsk, sayang banget!!

    aira & aidan beruntung sekali punya mama dan aweng yang senang bereksplorasi..

    1. avatar

      As .