The Strength You Didn't Know That You Had
Mundur sejenak ke beberapa tahun lalu. Tahun 1998. Bulan Juli yang cerah, saya sedang berada di atas kapal laut bersama Mama. Hendak memulai takdir baru menjadi anak sekolahan di rantau.
Suatu siang di kamar kami:
"Wah, mau ke Jakarta juga? Ini anak sulungnya ya, Bu?" seorang Ibu teman sekamar menyapa Mama.
"Oh, bukan, bukan. Ini anak gadis pertama. Tapi kakaknya ada 4. Laki-laki semua."
Ibu yang bertanya tampak bengong sebentar. "Ke-5? Ya ampun, beda usianya setahun-setahun ya, Bu? Rapat jaraknya?"
Mama tersenyum santai. "Tidaklah. Selisihnya rata-rata 3 tahun. Ada yang hampir 4 tahun. Yang 2 tahunan juga ada. Ini masih ada adiknya lho, 2 orang."
Saya rasa setelah itu si Ibu yang bertanya sibuk menerka-nerka, Ibu di hadapannya, yang sedang sibuk mengukir alis sepanjang percakapan, menikah umur berapa, ya?
Ibu saya menikah di usia 15 tahun. Tak sempat menggenggam ijazah SMP, Nenek sudah keburu menerima lamaran seorang pemuda untuknya.
Sejak menikah, langsung dibawa ke kota Makassar oleh Bapak yang tengah merintis usaha di sana. Jauh dari orang tua, Mama melahirkan anak pertamanya di usia 16.
Selang 2 tahun lahirlah kakak saya yang ke-2. Ternyata kembar, tetapi tak bertahan hidup. Disusul kakak ke-3, 4, dan 5. Jadi, sebelum saya Mama sudah melahirkan 5 kali. Setelah saya, melahirkan 2 kali lagi. Terakhir di usia 39 tahun. Semuanya normal spontan. Semuanya lahir di kota, tidak pernah pulang ke kampung ke tempat Nenek.
Istimewanya, kerabat perempuan yang seusia Mama tidak banyak yang menikah muda. Mama saya punya saudara kembar. Mereka pernah hamil hampir berbarengan. Tante hamil anak pertama, Mama hamil anak ke-6! Jadi, Mama sudah mulai mantu, tante-tante lain masih sibuk dengan anak-anak remajanya.
Foto keluarga tahun 2005, Mama dan enam anaknya, minus kakak sulung kami.
Itu belum ada apa-apanya. Semasa masih gadis, lupa kapan, saya pernah membaca berita tentang seorang ibu penjual pecel di stasiun. Anaknya 13. Saya terkesima membaca isi beritanya. Sehabis melahirkan anaknya yang ke-13 di malam hari sekitar pukul 10, subuh harinya, 7 jam kemudian, si Ibu sudah absen kembali di stasiun. Siap dengan pecel buatannya.
Tapi tak adil jika kita terlalu memuja-muja mereka dari masa lalu. Tiap zaman punya pertaruhannya sendiri-sendiri. Ibu-ibu di masa kini pun tak kalah hebatnya.
Kedua cerita di atas mempertentangkan banyak isu. Mulai dari isu menikah muda, hingga memberi jarak kelahiran, isu-isu sosial, sampai isu how does she raise her children? Tapi pertanyaan besarnya: HOW DO THEY GET THE STRENGTH TO GO THROUGH IT?
***
Saya tidak suka anak-anak. Misalnya saja ketika adik bungsu saya lahir. Usianya berjarak 11 tahun dengan saya. Adik saya yang perempuan yang sayang sekali pada si bungsu. Saat Mama melahirkan, adik saya itu yang ikut menjaga dan menginap di rumah sakit hingga Mama pulang ke rumah.
Kakak yang lain pun senang menggodanya. Saya? Huh, tak usah, ya. Mendengarkan dia nangis malam-malam, saya ikut gelisah. Menggerutu karena jam tidur malam terganggu. Suatu kali Mama harus keluar, tak ada orang lain di rumah, si bungsu tampak syok ditinggal berdua dengan saya.
Makanya sampai sekarang, saya tak pernah menjadi 'magnet' bagi anak kecil mana pun. Yang paling friendly sekalipun. Tapi untuk anak sendiri? Tunggu dulu.
Saya menyimpan kegelisahan ini sebelum hamil anak pertama. But everything is as easy as it says. Jangankan pas lahir, dari awal tahu ada dua garis di atas test pack, rasa cinta itu tumbuh subur tak terbendung.
Proses kelahiran anak ke-2 yang sempat menggalau. Belum genap dua bulan di Jeddah, saya positif hamil. Memang niat, kok. Maboknya jangan ditanya. Sejak hamil muda rasanya sudah ingin pulang ke tanah air, bermanja-manja pada Mama.
Apalagi ketika usia kandungan 6 bulan, dapat kabar kepastian bahwa baik Mama dan Mami, tak ada yang bisa didatangkan untuk menemani saya. Tidak!
Tapi saya sadar sebagai istri, bukan cuma anak dan diri sendiri yang harus dipikirkan. Ketika berani menerima pinangan seorang pria, predikat istri mengikat janji untuk setia pada suami. Saya pun dulu sulit menerima nasihat, "Kesetiaan istri nomor satu pada suami." Seiring berjalannya waktu, saya mulai paham kebenarannya.
Saya teringat perjuangan suami memboyong saya dan si sulung ke Jeddah. 11 bulan kami 'dipermainkan' oleh agen, diberi janji-janji surga akan diberikan iqama (resident permit).
Jujur, saya sih senang-senang saja ditinggal di Jakarta. Banyak saudara, bisa jalan-jalan ke mana-mana. Tapi nun jauh di sana, suami menanggung rindu pada kami. Tidak adil, bukan?
Makanya, masa iya baru beberapa bulan sukses berkumpul bersama lagi, saya tega hengkang kembali ke tanah air? Harus berani, pikir saya. Ucapan suami membakar semangat, "Aku siap bantu apa pun."
Begitu tekad sudah dipupuk, voila... kekuatan itu datang sendiri. Tentu mentalnya naik turun, ya. Seperti hormon yang sedang tidak stabil. Tapi kenyataannya, sukses melahirkan anak ke-2 tanpa sanak keluarga sama sekali. Hanya meminta tambahan tenaga dari asisten rumah tangga 3 kali seminggu, 4 jam sehari. Masih bersyukur di Jeddah tenaga asisten tak susah dicari. Bayangkan bila melahirkannya di negara maju.
Betapa malunya segitu saja sudah merasa hebat. Bagaimana dengan penjual pecel beranak 13 dan Ibunda sendiri yang melahirkan hingga 8 kali?
***
Tanpa kita sadari, banyak di antara kita yang bertransformasi setelah menjadi Ibu. Yes, we are the real TRANSFORMERS.
Ibu saya di masa gadisnya, boro-boro bisa masak. Konon beliau dikawinkan karena malas membantu Nenek menumbuk padi di lumbung. Suka licik. Maunya main sepeda terus. Disuruh memasak, malah kabur berenang ke sungai. Belum lagi kata Tante, kembaran Mama, beliau suka iseng menggantung pakaian dalam teman-temannya di atas pohon. Nenek sampai bosan terus-terusan mengomel. Siapa sangka ABG tomboy itu dianugerahi 7 orang anak and she's just fine.
Begitu anak pertama lahir, kita pun merayakan kelahiran kita sebagai seorang Ibu. Berbagai kondisi, tanpa sadar, menghadirkan banyak kejadian yang kalau dipikir-pikir sebelumnya, rasanya kok tidak mungkin ya, bisa dilalui.
Semasa gadis, kalau mendengar cerita melahirkan, baik normal maupun operasi, saya selalu gentar. Tapi nyatanya, dua kali prosesnya terlalui dengan selamat. Merawat anak seperti apa, ya? Apa bisa saya yang mudah naik pitam ini bisa menjadi Ibu yang sabar? Apa sanggup saya yang teledor dan tidak suka anak kecil ini bisa jadi Mama yang baik?
Pengalaman membuktikan, untuk menjadi seorang ibu tidak ada manual tertentu apalagi syarat-syarat khusus, kok. Selama mau belajar semua bisa terlewati. Apa pun yang terjadi kita cuma harus menghadapinya.
“Being a mother is learning about strengths you didn’t know you had, and dealing with fears you didn’t know existed.” ~Linda Wooten
Yes, it surely is. Masihkah meragukan kemampuan tersembunyi kita sebagai seorang transformer?
***
ya ampun. Keren banget tulisannya :)
nge-fans ama tulisan2nya Jihan :)
cantik mama dan gadis2nya ;)
Thanks Teh @Ninit :D.
Thanks juga ya Mbak @Arin, sukses buat semua lomba-lombanya Mbak. Istilah "bayi punya bayi" itu rasanya pernah baca di salah satu postingan blog Mbak Arin :).
Thanks @Slesta. Para bunda di sini pastinya lebih berterima kasih sama para founder TUM. Salah satu pelipur lara kala jauh dari tanah air ya baca-baca TUM dan nimbrung dalam forum hehehehe.
@Talitha, waaahhh, hamil anak pertama? congrats, Bunda :). Don't worry, sering-sering baca TUM sama hosip-hosip di forum aja hehehehe.
@Lestari, terima kasih, ya :D.
@Desmiritha, thanks ya Bunda. Salam kenal. Oh, saya pikir semua orang pasti lebih suka "Every Mom Has Her Own Battle." Itu soalnya yang paling hits komen-komennya hehehehe.
@Andiah, betulll. Tanpa disadari, ternyata pada akhirnya kita bisa, ya. Padahal gak bener-bener diajarin. Transformer judul film favorit anak saya ituuuu hehehehe.
@Anggi, selama udah sepakat sama suami mah terserah aja kali, Nggi hehehe. Yang penting sebelum pulang, hajar dulu semua diskonan awal tahun di Jeddah, iya, gak? ehehehhehe.
@Chrisye, makasih, ya. Mama pasti geer banget nih hehehe.
@Hary Agustina, salam toss :D.
@Tunjung Sari, ada banyak perbedaan pendapat tentang ini sih, Bunda. Kalau saya sebagai seorang muslim memang berpegang teguh pada "rezeki datangnya dari Allah, orang tua cuma perantara." Kalau memang yakin, insya Allah selalu ada jalannya ;).