Tidak Ikut Sekolah Usia Dini
"Kakang sudah sekolah?”
Pertanyaan ini sering dilontarkan orang-orang, terlebih setelah Kakang—Abizar, putra sulung saya—memasuki usia 2 tahun. Sebetulnya saya menganggap pertanyaan semacam ini wajar karenaumumnya anak-anak seusia Abizar (atau bahkan lebih muda) di lingkungan kami sudah diikutsertakan dalam kegiatan pendidikan usia dini seperti daycare. Namun saya memilih jalur yang mungkin tidak terlalu populer: tidak mengikutkan Abizar ke tempat pendidikan usia dini di luar rumah.
Beberapa orang ada saja yang berkomentar lebih lanjut,
“Kenapa gak disekolahin? Ke daycare lah minimal. Biar mandiri anaknya gak takut orang.”
“Biar belajar sosialisasi kan anaknya. Lagi pula kan hanya bermain-main saja kok.”
Saya ingin sedikit berbagi tentang bagaimana proses sampai akhirnya kami membuat keputusan untuk belum mengikutsertakan Abizar ke lembaga pendidikan usia dini apa pun, termasuk daycare. Siapa tahu ada Urban Mama yang sedang galau akan perlu atau tidaknya meikutsertakan buah hatinya ke sekolah usia dini.
Awal-awal masa menjadi ibu baru, tentu saya juga mengalami kebingungan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pengasuhan anak. Berangkat dari rasa ingin tahu, saya berusaha menambah pengetahuan parenting dari berbagai sumber. Khusus untuk hal pendidikan usia dini, dimulai dengan mengumpulkan informasi tentang apa yang sebetulnya anak-anak butuhkan sesuai dengan tahapan usianya. Informasi ini saya cari dari dari berbagai kalangan yang menurut saya kompeten, di antaranya dari dokter anak, psikolog anak, dan praktisi pendidikan anak yang sesuai dengan preferensi agama, dengan tujuan agar dapat membentuk gambaran yang koheren dari berbagai perspektif.
Dari proses ini saya menyimpulkan bahwa komponen perkembangan anak terdiri dari perkembangan aspek fisik, motorik (kasar dan halus), kognitif, bahasa, sosialisasi dan hubungan dengan keluarga. Jika dirunut lebih detail lagi, setiap aspek akan panjang sekali bahasannya karena perkembangan anak bersifat bertahap tergantung umurnya. Sebagai contoh, untuk aspek kognitif (yang paling sering disebut-sebut sebagai aspek yang akan terasah dengan baik dari bersekolah) ada empat fase sesuai pertambahan usia anak yaitu sensorimotor, preoperasional, operasional konkret, dan operasional formal. Kesimpulan saya, yang dibutuhkan anak terutama di usia pra-sekolah adalah STIMULASI pada semua aspek tersebut.
Ternyata stimulasi untuk anak usia prasekolah justru paling baik dilakukan oleh orangtua di rumah. Selain itu bagian otak yang paling pesat berkembang di usia ini adalah pusat perasaan anak, sehingga masa ini justru adalah waktu yang tepat untuk menciptakan fondasi kelekatan orangtua dengan anak, dengan menghadirkan interaksi seintensif mungkin antara orangtua dan anak.
Sampai di situ saya belum memutuskan untuk tidak "menyekolahkan" Abizar. Langkah selanjutnya adalah mengobservasi: apakah keterampilan motorik, sensorik, kognitif, emosi dan spiritual anak saya sudah berkembang sesuai dengan tahapan usianya, atau ia membutuhkan stimulasi dari luar rumah. Hasilnya, tentu ada aspek tertentu dari diri Abizar yang tidak sempurna, sementara dalam beberapa aspek lain kemampuannya di atas ekspektasi.
Langkah selanjutnya, saya mengukur diri sejauh mana kemampuan saya menyediakan stimulasi cukup untuk mengawal tumbuh-kembang Abizar sesuai usianya dan sesuai harapan kami? Saya juga memetakan kelebihan dan kekurangan diri jika menangani pendidikan dini anak saya dibandingkan jika menyertakan bantuan “sekolah” usia dini. Selain itu saya juga menimbang dahulu apakah dengan keputusan ini saya tetap bisa membuat hidup saya seimbang, artinya tetap punya me-time dan waktu sendiri untuk aktualisasi diri sebagai individu. Menurut saya ini penting, karena menjaga kewarasan seorang ibu artinya juga menyokong kebahagiaan anak. Happy moms are more likely to have happy kids. Hal ini juga didiskusikan serius dengan suami, karena bagaimanapun keputusan yang kami ambil akan berpengaruh pada ritme hidup kami bertiga dan ini butuh komitmen bersama.
Singkatnya saya melalui tiga tahap dalam memutuskan tentang perlu atau tidaknya sekolah usia dini untuk Abizar, yaitu mengidentifikasi kebutuhan anak sesuai usianya, mengobservasi keterampilan anak saya pada tiap aspek yang dibutuhkannya, dan mengukur diri sejauh mana kesanggupan saya dan suami memfasilitasi kebutuhan anak tanpa bantuan “sekolah” di luar rumah.
Setelah melewati ketiga tahap itu, saya menyimpulkan Abizar (2 tahun 8 bulan) belum membutuhkan stimulasi kegiatan berbentuk "sekolah usia dini" yang sifatnya teratur setiap hari di luar rumah. Stimulasi aspek perkembangan Abizar masih sanggup saya tangani sendiri di rumah. Sementara itu pertanyaan yang masih sering muncul adalah bagaimana dengan kebutuhan sosialisasi anak? Sejak umur 14 bulan, saya mengajak Abizar menghadiri acara story time di perpustakaan seminggu sekali. Story time ini adalah kegiatan setengah jam mendengarkan dongeng dan cerita bersama anak-anak lain, dan setengah jam kemudian anak-anak bermain bebas bersama.
Ketika Abizar memasuki usia 2 tahun, kami ikut komunitas playgroup yaitu sekumpulan ibu-ibu yang memiliki anak usia bayi-balita yang mengadakan acara nonformal di rumah salah satu anggotanya secara bergiliran. Rutin menghadiri story time dan sesekali ikut playgroup rasanya cukup sebagai stimulasi untuk menyokong keterampilan sosial Abizar. Kami pun kerap mengajak Abizar bermain di playground, piknik di taman, atau berolahraga di kolam renang umum untuk membuka kesempatannya bertemu anak-anak lain.
Konsekuensi dari pilihan ini, memang betul saya menjadi “terlihat” lebih repot: toilet training sendiri, menyusun rutinitas anak, merancang permainan dan aktivitas harian, dan seterusnya, but well…I believe that hard work pays off.
Kebetulan sekali kondisi keluarga memungkinkan saya bisa memilih untuk menjadi ibu rumah tangga sehingga bisa mengontrol kebutuhan Abizar, ditambah lagi ia anak pertama dan masih satu-satunya. Jadi memang menurut saya keputusan untuk memberikan Abizar pendidikan usia dini di rumah adalah yang paling cocok. Saya sebut "COCOK" ya, bukan paling "BENAR", karena saya merasa dalam parenting tidak segala hal bersifat mutlak. Jangankan berbeda keluarga, berbeda anak dalam satu keluarga yang sama saja bisa jadi beda kondisi dan menghasilkan keputusan yang berbeda. Bahkan untuk anak yang sama ketika kondisi berubah, tentu pertimbangannya akan berbeda dan dan kami harus membuat keputusan baru yang berbeda pula.
Saya percaya tentu setiap orangtua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Apa pun pilihannya, semoga anak-anak kita semua tumbuh sehat, cerdas dan bahagia ya, Urban mama. Untuk para mama-papa yang masih menimbang-nimbang, silakan dievaluasi bersama, kembali ke kondisi masing-masing keluarga.
Tfs mama Nisa, langkah untuk mempertimbangkan perlu tidaknya anak sekolah usia dini lengkap sekali sehingga bisa memilih apa yang tepat buat si kecil :)
TFS, mba Nisa. Tadinya aku juga berminat untuk memasukkan si sulung ke preschool karena saya bekerja sehari-hari, sayangnya dia kelahiran september jadi kalo dihitung-hitung dia bakal lebih lama di sekolah. Jadi pending dulu deh. Asik ya, mba, bisa rutin memberikan aktivitas buat si kecil :)
Betul mbak, ternyata asik, seru & mengasah kreativitas ibunya juga. Salam kenal ya mbak Febi :)
hai mama tfs ya. apapun pilihannya setiap orangtua pasti mempunyai pertimbangan masing-masing ya dan yang kenal anak kita sendiri adalah kita orangtuanya. Jadi anak sekolah atau tidak menurutku disesuaikan dengan pilihan masing-masing keluarga dan anak
Hai, mama @dieta.. sepakat kok setiap keluarga pasti punya pertimbangan masing-masing yang memang gak bisa diseragamkan :) terima kasih sudah baca artikel ini ya :D