Melahirkan Dengan Epidural
Pernah seorang teman bercerita kepada saya kalau ia takut melahirkan. Kemudian sang teman bertanya, bagaimana proses melahirkan yang dulu saya alami. Katanya, kok sepertinya malah enjoy saja dan ingin hamil lagi. Entah mengapa kalau saya bilang melahirkan lewat proses normal, banyak yang terkejut. Adik-adik saya pun sempat mengira saya menjalani proses operasi.
Sebelumnya, saya dan suami sudah lama menunggu kehadiran anak kami, hampir lima tahun lamanya. Begitu tahu hamil, bahagianya ampun-ampunan. Mungkin karena kehamilan pertama, saya sangat antusias banyak mencari tahu seputar kehamilan baik tentang kondisi ibu maupun bayi dalam kandungan. Saya juga mencari tahu obat vitamin yang dokter berikan dan membandingkan dari khasiat dan harganya. Meskipun pemeriksaan dan obat-vitaminnya ditanggung perusahaan tetapi saya tidak mudah percaya, mana tahu kalau ternyata diberikan obat atau vitamin yang mahal tetapi sebenarnya tidak dibutuhkan.
Waktu itu, tanggal prakiraan melahirkannya adalah 25 Mei. Namun sampai tiba harinya, saya tidak merasakan apa-apa. Saat hamil tua, rasanya malas ngapa-ngapain sementara oleh ibu saya sudah disuruh rajin-rajin mengepel sambil jongkok, rajin jalan pagi, intinya rajin bergerak. Saat itu saya masih asyik menikmati cuti dan santai-santai saja. Begitu due date lewat dan sama sekali tidak ada kontraksi, barulah saya sibuk mengepel rumah dan jalan pagi. Tetapi kontraksi tidak kunjung datang.
Tanggal 27 pagi, saya pun ke rumah sakit 'menyerahkan diri'. Sampai dua jam di rumah sakit tidak ada pembukaan, akhirnya diinduksi lewat infus. Waktu suster memasangkan induksi, dokter kandungan saya datang. Sedikit cerita, dokter kandungan yang ini punya prinsip kalau melahirkan itu tidak sakit. Kalau sampai pasien kesakitan berarti yang salah dokternya. Saya sih senang-senang saja mendengarnya. Saat saya diinduksi, dokter berpesan, “ Windi, kalau kamu merasa sakit dan tidak tahan, jangan sungkan bilang ke suster langsung suntik epidural biar nyaman ya”.
Ya, saya menjalani proses melahirkan dengan bantuan suntik epidural.
[caption id="attachment_108600" align="aligncenter" width="400" caption="(ilustrasi: www.freedigitalphotos.net)"][/caption]
Kemudian dokter menjelaskan, epidural itu semacam bius yang disuntikkan ke tulang punggung belakang. Nanti di punggung akan dipasang semacam selang halus/kecil tempat mengalirkan obat biusnya. Selang ini disambung dengan jarum suntik. Jarum suntiknya diletakkan di samping pasien, jadi kapan terasa sangat sakit tinggal tekan jarum suntiknya. Nanti akan terasa ada yang mengalir di punggung belakang, seperti serrr serrr dingin. Setelah itu kita tidak akan merasakan sakit apapun selama beberapa waktu. Kalau efek biusnya hilang, sakitnya akan terasa lagi. Namanya juga obat bius ya, berulang saja seperti itu. Dokter pun menjelaskan kalau epidural ini aman. Saat itu waktu menunggu proses bukaan sempurna saya bisa sambil baca-baca novel.
Tetapi (ada tetapi-nya nih), untuk proses melahirkan normal itu 'kan sang ibu harus mengejan. Nah, bagaimana mau mengejan kalau kita tidak bisa merasakan apa-apa dari pinggang ke bawah hingga kaki? Saat di bawah pengaruh epidural, mau buang air kecil saja saya harus dibantu oleh suster karena tidak bisa ngeden untuk mengeluarkan air seninya. Untuk mensiasatinya, pembiusan dihentikan kira-kira saat sudah dekat pembukaan lengkap (bukaan 10) agar ketika harus mengejan saya lagi tidak dalam pengaruh bius epidural.
Jadilah waktu suster bilang pembukaannya sudah bukaan 8 menuju bukaan 9, saya tidak menyuntikkan lagi si epidural. Saat itulah baru saya merasakan gelombang kontraksi. Sakitnya tak tertahankan, seperti mau lepas urat syaraf. Langsung teringat menerapkan metode pernapasan yang sebelumnya dipelajari, saya ambil nafas dari hidung dan buang nafas dari mulut. Terus begitu. Yang paling mengurangi rasa sakit itu justru saat saya membaca ayat-ayat pendek, benar-benar membantu setidaknya terkurangi rasa sakitnya.
Dari pembukaan 8 ke 10 hanya sebentar saja. Begitu dokter datang, saya disuruh menaikkan kaki, mengejan lima kali dan lahirlah Tara. Alhamdulillah. Waktu mengejan juga saya disarankan jangan setengah-setengah, kerahkan seluruh tenaga sampai bayi keluar. Ikuti juga aba-aba dari dokter agar tidak mengulang lagi dari awal. Setelah Tara lahir, plasenta keluar, saatnya proses penjahitan. Nah disini, epiduralnya kembali disuntikkan ke saya. Saat dijahit pun saya tidak merasakan sakit apapun. Setelah itu IMD dan dibawa kembali ke kamar.
Selama persalinan kemarin, saya habis dua ampul epidural. Satu ampulnya memang mahal, kebanyakan asuransi kesehatan dari perusahaan tidak menanggung epidural ini. Jadi memang harus ditanggung dibayar sendiri. Kalau saya pribadi karena tidak bisa membayangkan harus menahan sakit hingga bukaan lengkap, akhirnya memilih epidural ini karena mereduksi rasa sakitnya.
Namun sekali lagi, ini hanya pendapat pribadi dari pengalaman yang saya jalani. Lain orang mungkin lain juga pengalamannya, seperti adik saya yang kontraksinya cepat dari pembukaan awal hingga bukaan akhir. Menurutnya, tidak pakai epidural pun masih bisa ditahan. Beda orang bisa jadi beda juga ambang batas menahan rasa sakitnya. Kalau urban mama rencana pakai epidural, sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu ke dokter ya. Apakah urban mama pernah ada pengalaman dengan si epidural ini? Yuk berbagi di sini.
Thanks utk sharingnya yaa mama Windi... Jadi tahu ttg epidural ini dan ternyata pas mengejan gak disuntikin dulu ya. Semoga sharingnya bermanfaat utk para mama yg lagi mencari info ttg opsi penggunaan epidural ini.
hi mama windi, terima kasih sudah berbagi pengalaman tentang epidural ini. jadi tahu bagaimana prosesnya kalau mama melahirkan menggunakan epidural. bagaimanapun proses melahirkannya, buatku yang penting ibu dan bayi sehat selamat. :)
btw mama windiii lama yaaa menunggu kehamilan pertama :) kebayang rasa senangnya ketika hamil.