Menerapkan Komunikasi Efektif untuk Hubungan Keluarga Penuh Cinta dan Respek

Febi Purnamasari A new mother of two who loves sharing whatever she has learned from seminars and books especially related to parenting issues. She’s now developing her career path as journalist for a national television. Belly-dancing is her hidden obsession.

Dalam tulisan sebelumnya, ada beberapa poin contoh komunikasi efektif vs tidak efektif yang saya pelajari dari pelatihan online sebagai Rangkul alias Relawan Keluarga Kita. Cara kita berkomunikasi khususnya dengan orang-orang terdekat memang dipengaruhi kondisi emosi diri juga pola pengasuhan masa lalu.

Bila kita amati, pola komunikasi tidak efektif pada menekankan pada penyampai pesan karena kurang mendengarkan dan lebih banyak bicara. Menurut pemerhati pendidikan Najelaa Shihab dalam bukunya, Keluarga Kita: Mencintai dengan Lebih Baik, perintah boleh diberikan dalam situasi tertentu saja. Misal, di waktu-waktu mendesak saat kita butuh memberikan perintah.

Tapi perlu kita ingat, semakin banyak perintah, efektivitasnya akan berkurang. Selain itu, Yulia Indriati, mentor pelatihan Rangkul yang saya ikuti, mengungkapkan penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak mendapatkan perintah ratusan kali setiap hari dari pagi hari sejak bangun tidur sampai sebelum tidur. Bayangkan, betapa kewalahannya anak-anak kita? Alih-alih memerintah, lebih baik jika kita berikan pilihan pada anak agar ia lebih berdaya.

Bagaimana agar rasa saling percaya dapat tumbuh dalam hubungan keluarga, dan anak atau pasangan bisa belajar cara berkomunikasi dengan baik? Seperti apakah percakapan positif yang dapat menumbuhkan hubungan penuh kasih sayang dan respek dalam keluarga?



Hal yang perlu diketahui untuk menerapkan komunikasi efektif
Komunikasi efektif meningkatkan kualitas percakapan dan kelancarannya. Sebaliknya, komunikasi tidak efektif biasanya satu arah, lawan bicara ingin segera berhenti dan kembali ke dunianya sendiri. Jika ingin memperbaiki hubungan, kita bisa memulainya dengan mendorong diri menggunakan pola komunikasi yang efektif. Biasakan memilih cara merangsang komunikasi yang baik dan cobalah melakukannya dengan rutin. Upaya mengubah cara komunikasi menjadi lebih efektif menunjukkan bahwa kita percaya anggota keluarga akan berespons dengan baik.

Lebih jauh, empati adalah kemampuan dasar yang sangat esensial dalam membangun komunikasi efektif terutama pada hubungan orang tua dan anak. Menurut Ibu Ela, empati berarti memahami alasan buah hati melakukan sesuatu dan mencari tahu pola maupun penyebabnya, namun bukan berarti membolehkan anak melakukan apa saja. Hal yang diterima adalah perasaan anak, sementara tingkah lakunya harus dibatasi.

“Mama paham kamu kesal sekali bukumu dirusak adik, tapi memukul saudara tidak dapat diterima.”
“Mama tahu, beres-beres mainan itu capek. Tapi, kita sudah bersepakat, mainan harus dibereskan usai kamu berkegiatan.”
Pahami juga bahwa anak pasti membutuhkan waktu ketika berhadapan dengan situasi baru maupun saat harus melakukan hal yang belum sesuai dengan tahap perkembangannya.

Tak kalah penting, sebelum menjalin komunikasi, pastikan kebutuhan dasar kita maupun lawan bicara sudah terpenuhi. Pastikan pihak-pihak yang terlibat tidak ada yang lapar dan tidur. Berikan jeda dan transisi ketika semua pihak menghadapi konflik atau kejadian intens lainnya. Jika semua hal ini sudah terpenuhi, perbanyak kesempatan mendengarkan lawan bicara menceritakan hal yang dialaminya. Upaya mendengarkan dan mencoba memahami adalah dasar empati.

Saya menyimpulkan, pola komunikasi efektif mengedepankan pengumpulan bukti-bukti dulu sebelum menilai, empati, dan refleksi. Itulah hal-hal yang membuat komunikasi efektif begitu membumi sehingga menjadikan siapa saja yang diajak bicara merasa dirangkul, nyaman, dan aman.

Saya pun merasa perlu melatih diri saya lebih keras lagi untuk bisa berkomunikasi secara efektif. Pasalnya, ketika diri mulai merasakan emosi negatif, prasangka dengan mudahnya menguasai. Harapannya pengetahuan tentang komunikasi efektif ini bisa menjadi alarm bagi diri saya ketika emosi negatif mulai muncul.

Tips mengekspresikan diri dengan baik
Selain memaparkan komunikasi efektif vs tidak efektif, Bu Ela juga membagikan teknik komunikasi agar kita bisa mengekspresikan diri dengan baik.

1. i-message atau teknik “aku merasa” untuk mengungkapkan kebutuhan diri tanpa menyerang
Aku merasa... saat… Aku ingin...karena…
Teknik ini menyampaikan hal yang dirasakan pada waktu tertentu diikuti harapan beserta alasannya.
Contoh:
Aku khawatir saat Ayah tidak membalas pesan. Aku ingin Ayah membalas pesan meski singkat supaya salah paham di antara kita tidak terjadi.
Aku merasa sedih saat kamu berbicara sambil main HP. Aku ingin kita bicara serius karena ngobrolnya lebih fokus dan menjadi contoh buat anak-anak.
Sementara, you-message berfokus pada lawan bicara. Meski bertujuan untuk ‘memperbaiki situasi’, teknik komunikasi ini sulit berhasil karena terkesan menyerang:

Kenapa sih kamu enggak balas pesan?”
“Kamu mainan HP terus kalau ngobrol sama aku.”

Teknik komunikasi “aku merasa” cocok untuk hubungan keluarga atau pertemanan karena bermodalkan cinta dan kepedulian.

2. Mengungkapkan maaf karena sadar apapun yang terjadi dalam hubungan adalah kontribusi banyak pihak.
Maaf kalau sikapku berlebihan.
Aku sadar ini salahku juga.
Aku minta maaf, ya.
Boleh aku coba perbaiki?

3. Menyatakan persetujuan walau tidak harus 100% sependapat, pasti ada unsur yang kita bisa bersepakat.
Pendapatmu benar juga.
Aku setuju dengan pendapatmu.
Yuk, kita buat kesepakatan.

4. Mengungkapkan kebutuhan diri saat kesulitan tanpa khawatir ditolak atau gengsi.
Tolong bantu aku untuk tenang.
Tolong dengar dan pahami aku.
Aku merasa enggak nyaman.
Boleh berhenti dulu?
Aku membutuhkan dukungan.

5. Menyatakan penghargaan dengan rutin, bahkan untuk hal kecil.
Ini bukan masalahmu sendiri, ini masalah kita bersama.
Terima kasih sudah mau mendengarkan.
Aku mengerti maksudmu.
Idemu bagus, aku enggak kepikiran sebelumnya.
 
Ibu Ela mengingatkan bahwa anak belajar dari hal yang diteladankan, bukan dari nasihat. Biasakan memuji pasangan setiap hari, tunjukkan cara kita menerima pujian dengan berterima kasih, dan tak lupa menyatakan hal positif yang dilakukan anak. Jangan memberikan perhatian hanya pada kesalahan.

“Hubungan yang kuat muncul dari interaksi positif yang jauh lebih banyak dibandingkan interaksi negatif. Untuk setiap kritik dan keluhan, pastikan bukan sudah ada satu, melainkan lima atau tujuh apresiasi. Kebiasaan mengucap syukur atas hal-hal kecil yang kita nikmati sehari-hari menjadi awal dari kebahagiaan keluarga kita,” jelas Bu Ela dalam bukunya.

Bu Ela pun meyakinkan, dengan kita memulai pola komunikasi efektif dari diri sendiri, anggota keluarga lainnya lambat laun akan menirukan karena merasakan sendiri perbedaan dan manfaatnya. Selamat mencoba, Urban Mama!

0 Comments