Menyusui, Galactocele, dan Operasi Mastitis
Ketika hamil, saya berusaha banyak mencari informasi mengenai bayi. Mulai dari bagaimana menjaga kesehatan janin, pentingnya pemberian ASI, hingga membekali diri dengan pengetahuan penyakit-penyakit yang sering dialami bayi berikut cara mengatasinya. Hal tersebut membuat saya merasa cukup percaya diri ketika Aqeela lahir. Saya sudah mengerti bahwa kolostrum hanya keluar di awal-awal setelah melahirkan saja dengan kuantitas sedikit namun bermanfaat luar biasa. Saya pun jadi tahu bahwa ukuran lambung bayi baru lahir hanya sebesar kelereng dan mampu bertahan hingga 72 jam tanpa asupan apapun, bahkan saya sudah menyiapkan botol-botol kecil untuk menampung ASIP yang diperah selama di rumah sakit. Sounds well prepared, huh?
Namun situasi tersebut tidak berlangsung lama. Tepat ketika Aqeela berusia 2 bulan, saya merasakan ada pengerasan sebesar jempol tangan di payudara kanan bagian atas. Setelah googling, saya mengira ini adalah clogged duct (sumbatan ASI) atau galactocele (gumpalan ASI). Saat itu memang ada sumbatan putih di puting, saya pikir itu normal karena ketika menyusui saya hampir selalu mengalami puting lecet. Saya hanya mengira hal tersebut terjadi karena Aqeela masih melakukan penyesuaian perlekatan ke payudara dan permukaan lidah Aqeela kasar sehingga melukai puting.
Satu minggu pertama, saya melakukan kompres dingin-hangat secara bergantian untuk melunakkan bagian yang mengeras. Frekuensi menyusui juga dipersering, juga memerah ASI dan menyusui dimulai dari payudara yang tersumbat dengan dagu Aqeela menghadap arah bagian yang mengeras. Namun hal tersebut tidak cukup membantu. Pengerasan di payudara kanan saya malah semakin meluas. Dari yang sebelumnya sebesar jempol tangan, menjadi sebesar jempol kaki. Tubuh juga mulai terasa nyeri dan demam.
Saya memutuskan langsung menemui konselor laktasi saya di RSIA Limijati Bandung, dr. Frecillia Regina, Sp. A. Beliau merujuk untuk rontgen dan meresepkan obat paracetamol untuk meringankan nyeri. Oleh Ibu, saya diberikan obat herbal dari shinse untuk membantu penyembuhan dari dalam.
Hasil rontgen menunjukkan ada massa yang cukup luas di payudara kanan. Setelah pemeriksaan lanjutan oleh dr. Frecillia, payudara kanan didiagnosis terkena mastitis karena sumbatan yang terjadi sudah meradang akibat kuman yang masuk melalui luka di puting sehingga menyebabkan abses (nanah). Oleh dokter, saya diberikan antibiotik dengan harapan radang yang terjadi dapat membaik sehingga tidak perlu dilakukan insisi untuk mengeluarkan nanah melalui operasi.
Memasuki minggu ketiga, saya masih melanjutkan konsumsi antibiotik. Atas saran seorang teman, saya juga membalur payudara yang terkena mastitis dengan telur kodok. Selama terkena mastitis, Aqeela menyusu namun hanya dari payudara kiri saja karena setiap kali diberikan payudara kanan, Aqeela selalu menolak menyusu. Anggapan saya sih mungkin karena rasa ASI-nya berbeda akibat sakit.
Beruntung di saat sulit tersebut suami dan keluarga saya tidak berhenti memberi dukungan. Rasa sakit, perih, lelah lahir dan batin yang saya rasakan dan terus menerus melemahkan mampu saya lawan. Mereka tidak pernah sekalipun menyinggung masalah Aqeela yang hanya mendapatkan asupan ASI dari satu payudara. Saya pun tidak pernah terpikir untuk memberikan Aqeela susu selain ASI. Apalagi ketika itu Aqeela belum berusia 6 bulan. Saya hanya yakin bahwa satu payudara pun dapat mencukupi kebutuhan Aqeela walaupun saya harus susah-payah bolak-balik menyusui serta memerah untuk stok ASIP dari payudara kiri dan menahan sakit di payudara kanan yang semakin membengkak.
Saya mulai panik ketika jadwal cuti melahirkan akan habis dalam waktu satu minggu ke depan. Payudara kanan masih membengkak hingga seperti melon (literally!). Pengobatan yang selama ini saya jalani belum menunjukkan hasil, sementara saya terlalu takut untuk melakukan operasi. Ibu saya kembali mengusahakan berobat alternatif. Ada jamu minum yang harus dihabiskan setiap dua hari, tumbukan dedaunan yang dikompres ke sekujur payudara dan diganti setiap kali kering, lalu diselingi dengan membalur telur kodok.
Setelah dua periode minum jamu, payudara kanan menunjukkan perubahan. Dari sekujur payudara yang dikompres tumbukan daun, terdapat bagian yang lebih memerah serta lambat laun menipis dan akhirnya membentuk luka. Melalui luka ini, nanah yang terjebak didalam payudara dikeluarkan. Saya tidak berani melihatnya. Proses pengeluaran nanah dibantu oleh kakak saya yang berprofesi sebagai seorang bidan. Nanah yang keluar berwarna cokelat susu. Baunya? Jangan ditanya, menusuk sekali. Ibu saya saja tidak berani melihat. Selama proses pengeluaran nanah, kakak saya dibantu oleh Ibu yang bolak-balik mengganti kain waslap dan mensterilkannya dengan air panas. Kalau ditotal, mungkin nanah yang dikeluarkan mencapai 300 ml. Banyak sekali dan Ibu sempat kewalahan ketika membersihkan waslapnya. Semua berlangsung kira-kira setengah jam hingga nanah habis. Payudara yang tadinya benar-benar besar langsung mengempis.
Ada perasaan lega bercampur waswas. Lega karena nanah sudah berhasil dikeluarkan namun waswas takut ada infeksi yang terjadi karena proses 'insisi' ini mendadak dilakukan di rumah dengan peralatan dan obat seadanya. Bekas luka yang terbentuk sudah mendapatkan perawatan dan saya terpaksa mengajukan cuti tambahan selama satu minggu untuk proses pemulihan.
Saya pikir, pengalaman lima minggu bertahan dari mastitis tidak akan pernah saya alami lagi, karena saya sudah cukup paham bagaimana gejalanya. Nyatanya, empat bulan kemudian, cobaan yang sama datang lagi. Kali ini di payudara kiri.
Dengan gejala yang sama seperti mastitis pertama, saya langsung panik. Terbayang bagaimana rasanya kalau harus mengalami mastitis untuk kedua kalinya. Saat terjadi pengerasan dan masih sebesar jempol (galactocele), saya langsung berkonsultasi ke dr. Frecillia. Dokter menyarankan untuk mencoba breast care dulu selama beberapa kali. Saat breast care tidak menunjukkan perbaikan, saya kembali menemui dr. Frecillia untuk menanyakan apakah lidah Aqeela tongue-tied (tali ikat jaringan bawah lidah pendek) atau tidak, karena berdasarkan info di internet, lidah tongue-tied dapat menjadi pemicu mastitis karena pelekatan saat menyusui tidak sempurna sehingga setiap kali menyusui akan membuat gesekan antara lidah dengan putting. Gesekan ini dapat menimbulkan luka, memicu sumbatan ASI dan berakhir menjadi mastitis dengan abses. Namun menurut dr. Frecillia, lidah Aqeela tidak tongue-tied.
Tidak puas dengan jawaban tersebut, saya minta tolong agar dirujuk ke dr. Asti Praborini (senior konselor laktasi) di Kemang Medical Center (KMC), Jakarta. Ya, saya cukup trauma dengan pengalaman mastitis. Jadi saya bersikeras mencari opini dari dokter lain dengan harapan bisa menyembuhkan sumbatan ASI ini sebelum menjadi mastitis (lagi!). Oleh dr. Asti, Aqeela diperiksa mulut dan lidahnya, lalu disimpulkan Aqeela mengalami tongue tied tipe-2 yang menyebabkan Aqeela kesulitan menyusui sehingga membuat putting luka. Kemudian dr. Asti menginformasikan bahwa untuk mengatasi tongue tied perlu dilakukan frenotomi alias pemotongan sedikit tali ikat jaringan bawah lidah agar lidah dapat bergerak lebih leluasa dan mampu meletakkan puting pada posisi yang benar.
Sebelum menemui dr. Asti saya sudah googling mengenai tongue-tied dan frenotomi. Ketika diberitahu oleh dr. Asti bahwa Aqeela harus frenotomi, saya tidak terlalu kaget. Saya langsung menyetujui tindakan tersebut. Frenotomi bukan operasi besar kok, hanya menggunting tali ikat jaringan lidah bawah menggunakan gunting kecil dan dilakukan di ruang dokter. Sambil dr. Asti mempersiapkan frenotomi ke Aqeela, saya diminta mengisi formulir persetujuan tindakan. Proses frenotomi mungkin hanya berlangsung 10 detik. Dr. Asti langsung menyerahkan Aqeela dalam keadaan mulut berdarah untuk langsung disusui. Langsung terasa perbedaannya, rasa sakit yang biasanya saya rasakan ketika menyusui, kali ini tidak terlalu terasa. Darah yang keluarpun langsung terhenti begitu terkena ASI. Saat itu Aqeela terlihat lebih menikmati proses menyusui ketimbang sebelumnya. Hamdalah, akhirnya satu masalah menyusui telah kami temukan solusinya.
Lepas dari tongue-tied, saya melanjutkan konsultasi mengenai galactocele. Menurut dr. Asti, payudara kiri saya belum menjadi mastitis, melainkan masih di tahap galactocele. Untuk treatment berikutnya, dr. Asti merujuk saya untuk bertemu dengan Tim konselor Laktasi di KMC. Akhirnya saya bertemu dengan dr. Agusnawati. Oleh dr. Agusnawati saya diajarkan melakukan senam lidah untuk Aqeela agar luka frenotominya lekas sembuh. Payudara kiri saya pun diperiksa, lalu disimpulkan memang masih berupa galactocele. Dr. Agusnawati merekomendasikan untuk melakukan akupuntur agar ASI yang terjebak dalam gumpalan tersebut bisa keluar. Saya pun segera membuat temu-janji akupuntur di KMC. Namun tampaknya nasib baik belum berpihak, selepas akupuntur payudara kiri saya belum menunjukkan perubahan positif. Yang membuat proses kali ini lebih sulit adalah saya kerja dan berdomisili di Bandung, sedangkan perawatan dilakukan di Jakarta yang mana baru dapat saya lakukan pada akhir pekan. Hal tersebut sedikit banyak membuat proses pengobatan terhambat.
Setelah menjalani berbagai rekomendasi dari dr. Agusnawati, saya akhirnya dirujuk kembali ke dr. Asti untuk melihat keadaan payudara saya. Oleh dr. Asti saya disarankan menemui dr. Myra Sylvina Amri, Sp. B untuk melakukan konsultasi lanjutan. Dr. Asti merekomendasikan Dr. Myra karena menurut beliau, dr. Myra seorang dokter bedah yang pro ASI. Menurutnya kalaupun saya harus menjalani operasi, akan dipilih obat-obatan yang tidak membuat ASI kering. Dengan perasaan tegang, hari itu juga saya langsung membuat janji dengan dr. Myra. Begitu masuk, perasaan tegang sedikit terkikis melihat dokter cantik nan ramah ini. Ternyata dr. Myra pun baru melahirkan dengan selisih usia kurang lebih dua bulan lebih tua dibanding anak saya. Jadi lebih tenang karena merasa dokter yang akan menangani saya bisa memahami bagaimana perasaan saya mengalami mastitis dan keinginan saya untuk tetap memberikan ASI bagi Aqeela.
Dr. Myra meminta saya untuk menceritakan kondisi saya dilanjutkan dengan mengambil contoh cairan dalam galactocele menggunakan suntikan berjarum lebih besar. Hasil cairan yang berhasil diambil kurang lebih sama dengan cairan yang keluar pada mastitis sebelumnya. Dr. Myra memberikan terapi antibiotik dulu selama seminggu untuk melihat perubahannya. Jika belum ada perbaikan, terpaksa harus insisi. Seminggu berjalan, payudara kiri malah semakin membengkak. Akhirnya diputuskan bahwa harus dilakukan insisi agar semakin cepat masalah ini selesai. Sabtu, 31 Agustus 2013, saya konsultasi akhir dengan dr. Myra dilanjutkan dengan melakukan serangkaian tes untuk keperluan operasi. Senin, 02 September 2013, saya dioperasi. Operasinya sendiri termasuk operasi besar karena saya dibius umum. Operasinya sendiri berlangsung kurang dari satu jam. Yang membuat saya merinding adalah setelah melihat sayatan operasinya tidak dijahit, melainkan diisi dengan kasa steril yang dijulurkan keluar, sehingga berfungsi sebagai drainer agar tidak ada nanah yang tersisa dan kasa tersebut diganti tiap dua hari. Jangan tanya ngilunya. Ketika pertama kalinya perban harus diganti, saya melihat bagaimana perban yang sudah penuh dengan nanah ditarik dari sayatan luka operasi, kemudian area sekitar luka dibersihkan dan diakhiri dengan memasukkan kembali kasa bersih ke lubang sayatan.
Selama operasi dan pemulihan, Aqeela saya titipkan di rumah Ibu. Kebetulan kakak saya ada yang masih memberikan ASI ke anaknya, jadi untuk beberapa hari Aqeela menjadi anak susuan kakak saya. Yang membuat tenang, Aqeela tidak rewel selama saya tinggal. Hamdalah. Saya memang tidak mengizinkan Aqeela untuk ke rumah sakit karena tidak ingin ada resiko infeksi nosokomial. Hanya dua kali kontrol di Jakarta, selebihnya saya minta dirujuk ke Bandung. Oleh dr. Myra saya dirujuk ke dr. Yohana. Betapa beruntungnya saya, dr. Yohana juga praktik di RS Limijati yang tidak jauh dari rumah. Oleh dr. Yohana saya diajarkan bagaimana cara mengganti kasa sendiri, agar tidak perlu repot-repot ke rumah sakit hanya untuk mengganti kasa. Untuk selanjutnya, saya merawat sendiri luka operasi berbekal info dari dr. Yohana.
Sekitar dua minggu sejak operasi, luka saya mengering. Lega rasanya, mastitis kedua saya telah sembuh dan salah satu penyebab mastitis, yakni tongue-tie Aqeela, sudah ditangani. Saya berharap dapat lebih mudah memberikan ASI hingga usia dua tahun nanti.
Akan tetapi takdir berkata lain. Sejak mastitis kedua sembuh hingga Aqeela disapih saat berusia 26 bulan, kurang lebih lima kali saya kembali mengalami galactocele. Namun semuanya dapat disembuhkan dengan cepat sebelum menjadi mastitis. Setiap kali mulai merasa ada sumbatan atau galactocele, langsung saya kompres hangat sesering mungkin lalu disusui. Jika dalam 24 jam masih berlanjut, saya segera melakukan breast care. Saya agak trauma karena pernah terlambat menangani masalah sumbatan ASI ini dan berakhir menjadi mastitis.
Sejak terkena mastitis hingga masa menyapih, Aqeela hanya menyusu dari payudara kiri sehingga ukuran payudara kanan dan kiri saya menjadi berbeda sekitar 50%. Hal ini sempat membuat saya minder, walaupun sudah menggunakan pakaian longgar akan terlihat sekali perbedaan ukurannya jika menggunakan bra menyusui tanpa busa.
Saya bersyukur masa-masa sulit saat menyusui sudah terlewati. Hal tersebut mustahil dapat saya lakukan tanpa dukungan orang-orang terdekat: suami, keluarga, dokter, sahabat. Setelah saya melahirkan, beberapa kali saya memberikan buku terkait ASI dan tumbuh-kembang si kecil, salah satunya buku Catatan Ayah ASI. Suami saya luar biasa supportive-nya, Abi tidak pernah mengecilkan semangat saya setiap kali saya mengeluh sakit, capek, mengantuk, pegal dan lain sebagainya.
Abi juga selalu siaga jika saya membutuhkan berbagai bantuan. Mulai dari bergantian menjaga dan memberikan ASIP Aqeela di malam hari agar saya dapat istirahat, memijat agar oksitosin lancar, hingga mengganti kasa di luka insisi yang bahkan saya sendiri ngilu melihatnya. Keluarga saya yang tidak pernah sekali pun menyarankan untuk menunjang gizi Aqeela menggunakan susu formula. Apalagi kakak saya yang menjadi ibu sapih Aqeela, bersedia berbagi ASI-nya untuk Aqeela. Tak ketinggalan dukungan dari dokter-dokter pro-ASI yang hebat, pintar dan sabar yang turut membantu saya melewati semua proses ini.
Bagi saya, pengalaman ini justru membuat tekad saya semakin kuat bahwa tidak ada yang lebih baik dibanding ASI dan saya akan melakukan apapun agar dapat memenuhi hak Aqeela.
Hay bunnn....bolehkah minta emailnya untuk sekedar sharing masalah mengASI hi...terimaksihh
Maaf mba saya mau nanya, istri saya terkena masitis, dan di operasi untuk mngeluarkan nanah nya, tp setelah operasi payudara masih bengkak, dokter bilang itu bagian payudara yg berfungsi melindungi bagian lain dari nanah2 tersebut makanya bengkak, stelah 1 minggu operasi masih bengkak dan nyeri bagaimana mengatasi nya ya
Halo bunda Aqeela salam kenal. Sy baru operasi insisi dan nemu artikel ini. Sy disarankan donter utk tetap menyusui atau pumping di PD yg di insisi tp sy kesulitan krna luka insisi sy cukup besar dan sangat dekat dgn puting. Jd sy cm menyusui dr satu PD. Pengalaman bunda menyusui dr satu PD ngga masalah atau bisa makin bengkak ga bun?
Hai bun.. Seudah baca artikel bunda saya jadi takut juga terkena mastitis lagi.. Karena baru sebulan lalu saya terkena juga tapi ga sampai bernanah dan ke dokter yang sama di limi.. Kalo saya boleh tau penyembuhan PD yg terken mastitis brp lama? Karena saya sudah 1 buln lbh dari sakit tapi ada rasa yang beda PD yg pernah kena dan yg tidak.. Thankyou bun..
Bun bisa minta alamat emailnya ato line id yg bisa dihubungi? Saya sekarang punya galactocele juga di payudara kanan, tapi saya belum melakukan tindakan apa apa. Saya mau tanya lebih lanjut ttg pengalaman bunda. Makasih sebelumnya :)
Sudah dpt alamat emailnya belum bun?