Saat Kata Obati Luka
image credit: gettyimages.com
Menulis. Sebuah aktivitas yang saya gemari sejak kecil. Bermain dengan kata-kata, merangkainya menjadi sebuah cerita. Nyata atau khayal, panjang atau pendek, yang penting di dalamnya bercampur rasa.
Ya, rasa dan kata. Kerap kali menulis menjadi cara saya melampiaskan emosi. Saat berpikir, bicara tak cukup, air mata mengering, bahagia perlu dibagikan. Satu lagi manfaat menulis yang belakangan saya ketahui berdasarkan pengalaman pribadi. Menulis bisa menyembuhkan luka. Bukan luka biasa. Luka karena kehilangan, yang rawan sekali terkorek dan kembali terbuka.
"Words are, of course, the most powerful drug used by mankind."
Begitu sabda Rudyard Kipling, penulis kisah Mowgli, si anak hutan yang mashyur itu. Saya kini paham maksud di balik kutipan tersebut.
Alkisah, tahun 2011 lalu. Saya menikah di bulan April 2011. Mendampingi suami yang bekerja di Bekasi, saya pun turut hijrah, meninggalkan pekerjaan di Bandung. Saya pun mencari pekerjaan baru dengan lokasi dan jam kerja yang lebih bersahabat. Tak dinyana, tiga minggu bekerja, saya ketitipan rezeki. Janin berusia 4 minggu bersemayam di rahim saya. Namun, roda kehidupan ternyata berputar di luar ekspektasi saya.
Saat kehamilan memasuki bulan kedua, saya terserang batuk pilek yang tidak biasa. Di siang hari hidung saya terus-menerus berair. Petang menjelang, saya batuk tiada henti hingga waktu tidur pun sangat terganggu. Saya merasa kesal, marah, dan kecewa. Berkonsultasi ke dokter kandungan sudah saya lakukan. Beliau membekali saya obat-obatan yang saya konsumsi sesuai anjuran. Tetap tidak ada perubahan. Terapi alami dengan jeruk nipis dan madu, juga tidak membawa hasil positif. Lama-lama saya mulai frustasi dan memutuskan untuk tidak mengambil langkah apa pun.
Lima hari menjelang hari raya Idul fitri, saya harus menghadapi kenyataan pahit. Saya gagal mempertahankan kehidupan janin saya. Ia hanya berumur hingga 11 minggu saja. Dua hari kemudian saya dikuret dan menjalani hari raya dengan penuh kesedihan, tergolek lemah di tempat tidur.
Bagi saya, dunia seakan runtuh saat itu. Mungkin tidak hanya sekedar runtuh. Saya seperti terbenam di dalam puing-puingnya dan enggan untuk mencari jalan keluarnya. Siang menangis, malam meratap. Suami pun serba salah menghadapi saya yang emosinya labil. Ia pun memilih untuk memberi ruang sendiri kepada saya.
Suatu malam, saya memutuskan untuk berhenti mengurai air mata. Saya pandangi wajah suami yang sedang terlelap. Saat itulah saya sadar, bahwa bukan hanya saya yang merasa kehilangan dan terluka. Bagaimana dengannya, yang mungkin juga membuncah tatkala tahu ia akan memiliki penerus, yang akan memanggilnya Papa?
Sebuah langkah baru saya lakukan malam itu. Saya tumpahkan rasa pilu sambil mengetik di notes smartphone. Air mata masih mengambang di pelupuk mata saat mengetik kata-kata yang melukiskan pedihnya kehilangan calon buah hati. Tulisan itu akhirnya saya posting di blog.
Benar saja, setelah menulis perasaan saya menjadi berbeda. Lebih lega, lebih terkendali. Ternyata guratan kata-kata menjadi cara membalut luka ini. Tutur dalam diam telah membongkar bongkahan beban duka sedikit demi sedikit. Sejak itu, jika saya merasa kangen, cukup mengetik di smartphone, dan mengalirlah lantunan kerinduan saya. Tentu saja ini di luar doa yang terus saya panjatkan untuk ketenangan si kecil di nirwana sana. Tidak semua yang saya tulis lalu saya publikasikan lewat blog.
Ternyata, benar adanya anggapan saya. Bahwa keguguran bukanlah cara Tuhan menghukum saya dan/atau suami atas kesalahan dan dosa-dosa. Itu adalah cara-Nya mempersiapkan tempat terbaik untuk calon keturunan saya kelak. Sebuah amanah yang harus saya dan suami jaga serta pelihara. Mungkin saat itu kondisi fisik, mental, dan faktor lain belum membentuk lingkungan yang terbaik untuk si jabang bayi. Jadilah kami diberi waktu ekstra untuk menatanya menjadi lebih baik dan indah.
Waktu pun yang menyembuhkan luka ini. Waktu juga yang memperkenankan saya untuk kembali mengandung dan melahirkan putra pertama pada November 2012.
Hingga kini saya masih suka membaca tulisan-tulisan lama itu. Dengan perasaan berbeda tentunya. Berdamai dengan duka bukan sekedar kemenangan. Inilah satu langkah menuju kebijaksanaan dan kematangan mengarungi hidup.
Belum lama ini ada sesama Mama dari grup alumni mengalami keguguran. Saya berbagi kisah dan tips menulis saya ini untuknya. Jika urban mama ingin mencoba, tak perlu cemas tentang bagus-tidaknya karya Mama nanti. Tulisan yang Mama buat adalah bukti bahwa Mama bisa menyalurkan duka melalui cara yang produktif. Setiap rasa yang diekspresikan mengurangi gumpalan luka yang terpendam dan mengubah hari menjadi lebih cerah dari biasanya.
Pelukan erat saya untuk para Mama yang mengalami kehilangan yang sama. Semoga obat luka kehilangan saya ini bisa mujarab pula untuk Mama. Saya titipkan serta doa, semoga akhir bahagia menjadi penutup kisah Mama pula.
iya mbak, berbagi itu lega sekali ya :) smg selalu sehat keluarga ya mb :)
#Mama Cindy & Mama Tika : *peluk lagi* makasih banyak ya Mamas. Amin, semoga kita semua n anak2 selalu sehat. Salam juga buat Maghma n Mas Bhara xoxo :)
peluk mom winda..
salam buat mas aryo yaa.. :*
Windaaa, *peluk*... Mataku berkaca2 bacanya..
semoga Aryo sehat2 terus yaa :*
#Mama Eka : *hugs back* Makasih banyak, Ma :') Salam ya buat jagoan2 ciliknya..
#Mama twindania : Salam kenal juga, Ma. Alhamdulillah kisah Mama juga berakhir bahagia ya dan semoga Mama sekeluarga sehat+bahagia selalu. Salam buat putri kecilnya :)