Trekking ke Bukit Plawangan

Beberapa waktu yang lalu, saya, suami, serta kedua anak kembar kami, Emma dan Ella, berwisata ke Taman Nasional Gunung Merapi. Mulanya kami berencana melihat monyet-monyet liar karena anak-anak sedang tertarik sekali dengan satwa. Kami tiba di area Taman Nasional Gunung Merapi sekitar pukul 1 siang, menyesuaikan waktu turun gunung para monyet ekor panjang atau yang nama latinnya Macaca fasicularis (berdasarkan papan informasi). Kepada Emma dan Ella, kami perkenalkan monyet-monyet tersebut sebagai Macaca. Biar keren, dan sekali-kali kenalan sama istilah bahasa latin juga. Emma dan Ella senang sekali, ditambah setelah itu kami juga mengunjungi air terjun yang hanya berjarak sekitar 150m dari pintu masuk.

Salah satu alasan lain yang membuat kami pergi ke sana adalah karena anak-anak sedang batuk cukup parah. Lantas kami pikir, udara gunung yang sejuk mungkin akan berdampak baik. Ternyata benar, setibanya di sana, Emma dan Ella jarang sekali batuk. Yang sebelumnya biasa hanya minum susu UHT sedikit, entah mengapa di hari itu jadi habis banyak. Senangnya!

Dalam perjalanan, saya melihat ada papan petunjuk menuju Goa Jepang yang berjarak sekitar 3km. Sebagai orang yang malas berolahraga, membayangkan harus berjalan 3km sungguh berat. Namun demi anak, akhirnya kami nekat naik. Baru 10 menit jalan, misi harus dibatalkan karena ternyata jalurnya terlalu curam. Berhubung suami tidak membawa gendongan, kedua tangannya harus menggendong anak dan tidak bisa untuk berpegangan.

Kemudian kami lihat ada jalur lain yang lebih dekat, yaitu ke Bukit Plawangan. Tertulis 'hanya' 800m dengan perkiraan waktu tempuh 'cuma' 20 menit. Langsung percaya diri bisa naik ke bukit tersebut. Baru saja mulai naik, kami bertemu dengan bapak-bapak yang turun dengan muka penuh keringat dan terengah-engah. Kami tanya apa masih jauh menuju puncak, jawabnya "Wah masih jauh banget, susah lho medannya. Itu bawa anak, mana bisa."

Hampir semua orang yang turun menjawab kurang-lebih seperti itu. Nyali sempat ciut, tetapi suami menyemangati. Katanya diusahakan sebisanya, kalau nanti memang tidak kuat ya turun saja. Alhasil kami naik dengan kecepatan rendah, plus kalau terasa lelah ya berhenti dulu, sekalian sambil foto-foto. Bahkan sepasang sejoli pacaran yang naik bersama kita menyerah di tengah jalan, putar balik untuk turun. Medan yang kami lalui mungkin biasa saja bagi orang yang terbiasa trekking. Ada beberapa jalan yang sudah beralaskan batu-batu yang rata, tapi ada juga jalan menanjak yang cukup curam hingga harus berpegangan. Pegangannya pun hanya seadanya, dibuat dari kayu yang diikat dengan kawat. Bahkan ada jalan yang terhalang oleh pohon dan harus dilalui dengan berjalan miring. Di jalan yang menanjak, saat harus agak membungkuk, gaya gravitasi semakin terasa karena ada ekstra beberapa kilogram di tubuh depan. Tetapi entah kenapa, alam rasanya memberi nuansa yang berbeda. Kekuatan tak terlihat seakan memberi tenaga, hingga akhirnya kami sampai!

Anak-anak tertidur saat kami tiba di atas bukit. Lega sekali rasanya saat itu. Bahagia karena melihat anak-anak jauh lebih enakan dan mulai sehat, hampir tidak batuk-batuk sama sekali, plus makan dan minum banyak. Juga rasanya puas bisa 'melawan' rasa malas dan pesimis. Tidak terhitung kalimat yang berdengung di kepala "Sudahlah turun saja". Namun ternyata kalau ada niat, pasti ada kekuatan juga untuk menyelesaikannya. Ternyata papan informasi yang menyatakan 'cuma' 20menit sepertinya untuk profesional, mengingat kami butuh waktu hampir 2 jam. Tapi oh tapi, pulang sampai rumah badan terasa segar sekali.

Saat itulah saya baru sadar mengapa banyak orang meluangkan waktu untuk berolahraga, manfaatnya banyak sekali. Efeknya tidak hanya untuk jangka pendek terasa langsung, namun juga memupuk investasi jangka panjang. Urban Mama Papa ada yang suka trekking sekeluarga juga? Jujur saja, setelah itu kami jadi kecanduan trekking. Tunggu cerita kami selanjutnya ya!

10 Comments

  1. avatar
    adhisti rahadi May 29, 2016 4:05 pm

    Saya salut banget dengan kegigihan mbak dan suami, hehe... tapi memang bener sih, wisata alam sekarang sudah makin jarang, jadi kesadaran kita sebagai orangtua yang ingin anaknya kelak dekat dengan alam atau sebaliknya. Next time share lagi ya mbak cerita trekkingnya :)

    1. avatar

      As .



  2. avatar
    Reskha May 27, 2016 11:55 am

    mom siska: hahaha kadang udah pengen tapi adaaaa aja ya yg bikin ga jadi.. welcome mom, ditunggu juga cerita ke dagonya yaaa :)
    mom cindy: wahh tiap minggu ke sana keren bangeeeettt :) iya sama entah kenapa ya anak kecil suka banget lihat monyet hehehe

    1. avatar

      As .



  3. avatar
    Cindy Vania May 25, 2016 10:13 pm

    Asik yaa trekking :D

    Kalo aku dulu tiap minggu ke taman nasional gunung merapi,karena anak2 sukaaa banget liat ikan-monyet dan air terjun yg sekarang ada kolamnya itu.
    Tapi selama ini belum coba ke arah lainnya. Untung mama Reshka share artikelnya Emma dan Ella disini,aku jadi tertarik nyoba ke bukit plawangan juga deh jadinya :D

    1. avatar

      As .



  4. avatar
    Siska Knoch May 24, 2016 10:15 am

    Belum pernah trekking sama balita, walau udah rencana ke bandung trekking di area dago pakar tapi tetep ga jadi pas udah kesana krn alasan a b c hihihi :D liat ini jadi pgn nyobain beneran.
    tfs mama reskha

    1. avatar

      As .



  5. avatar
    Reskha May 24, 2016 8:58 am

    mom honey josep: welcome mom! hihi iya sekalian lah biar papanya agak kurusan dikit huekekeke :)

    1. avatar

      As .