The Urban Mama Forum

Gue dulu kerja di kantor yang majority chinese. Selain jago2, mereka juga tahan banting dengan nature pekerjaan yang selalu diburu2 deadline. Ga tau kenapa, yang lolos "seleksi alam" ya kebanyakan yang chinese. Entah gara2 didikan yang beda atau apa, yang non-chinese banyak yang resign meskipun ada juga yang bertahan.

Imo, gue setuju banget sama apa slesta bilang, it's not about right or wrong, just a different perspective. Dan cindy_hypno bilang, ga selalu si tiger mother ini menghasikan anak2 yang sukses, soalnya kalo ngebayangin gue digituin kok kayanya bakal depresi ya? Ga boleh nilai selain A? Oh em ji.. :p

sebenernya, gue masih belum baca bukunya si mbak amy ini, tapi kalau menurut gue, mbak amy gak cuma tegas tapi ekstrim, makanya rame dibicarain.

melenceng sedikit dr bukunya si mbak tiger, , sekarang ini banyak banget ortu yg result-driven. Pokoknya nilai harus A, ranking 1, keterima di top university.
pressure ke anak2 semakin besar, sehingga sekarang banyak orang muda yg menderita depresi.
banyak parents yg jadi 'lupa' ngajarin betapa pentingnya the learning process, the integrity, the hard work, the process, and like slesta said, the fun?
bahkan, pernah baca penelitian yang bilang kl anak2 ahli menjawab test, krn mereka cuma belajar untuk result yg baik, not for the sake of learning.

tapi, back to bukunya mbak chua, setelah gue baca bbrp interviewnya dan anaknya, kok kayaknya she's only writing the 'worst' part yah.
tebakan gue:
1. saat dia menulis dia rada-rada curhat gitu. mungkin sedikit nyesel. wondering if she'd done good or bad (yg mana gue rasa tiap ibu pasti begitu yah, always question herself whether she's done the best for her baby)
2. kalau ini buku gak ekstrim gak bakal laku :p

anyway, ini mah tebakan asal gue :)

gak tau kenapa, gue gak gitu tertarik buat baca buku ini, mungkin kalau pas ada yg minjemin sih oke lah :)

justru gue lebih tertarik baca buku ini:
http://www.amazon.com/Doing-School-Stressed-Out-Materialistic-Miseducated/dp/0300098332#_

nah sekarang pertanyaannya,
how do we raise a happy-smart-successful-respectful-independent-fun-berbakti-taqwa-tajir-well-balanced-etc children? :)

Kutipan favoritku : 'Non Scholae Sed Vitae Discimus', yg dlm bahasa Latin meaning "We do not learn for the school, but for life".

Emang sih kita gak menampik kl dunia saat ini makin kompetitif..utk bisa unggul, mjd yg terbaik atau minimal tidak tertinggal & bisa sejajar dgn yg lain, kaum muda saat ini byk yg tertekan krn tuntutan (atau ambisi?) Ortu & lingkungan, yg akhirnya justru meningkatkan rasa egoisme..

Orientasi pd hasil emang penting, tp orientasi pd proses jg gak kalah penting, ttg bagaimana mengajarkan pd anak supaya selalu merasa fun menjalani proses belajarnya yg berlangsung terus menerus sepanjang hidup (bukan hanya pendidikan formal), bagaimana dia belajar mengenai hidup & mengisi kehidupan, atau kyk yg dibilang Sidta, setia pd tujuan dimana selalu menyelesaikan apa yg sudah dimulai, jd semata2 bukan mengejar nilai A, dll.. :)

Ada salah 1 film India yg recommended & sangat menginspirasi, judulnya "3 Idiots" (udah 4x kutonton film ini.. :p ). Nampak jelas di situ bahwa 2 orang yg berproses beda utk mengejar kesuksesan, result nya juga akan beda..bahwa yg bukan utk sekolah, melainkan utk hidup dia belajar mjd jauh lebih sukses segalanya & bermanfaat bagi sesamanya dibanding dgn yg hanya mengejar nilai..

Konsepnya emang menarik, lg kudiskusikan dgn suami mengenai metode yg baik yg akan diterapkan ke Nendra nanti. Kl dgn cara keras, daku bener2 gak sanggup, tp kl dgn cara tegas nan penuh kasih sayang *taelah* masih bisa laah.. :D Sama kayak siska.knoch, selama ini utk dapetin Nendra aja butuh perjuangan berat & lama.. :)

Kayanya buku ini menarik banget yah, buat dibaca.. pengen beli ahh..

Menurut sepengetahuanku memang kebanyakan anak-anak Chinese dibesarkan dengan cara ibu Amy ini dan pada kenyataannya memang anak-anak Chinese itu kebanyakan berprestasi.

menurutku pribadi sih, lebih setuju sama apa yang dibilang PILnya mbak indriani budi utami yaa..bahwa mendidik anak itu seperti main layang2 (hehe gitu ga mba?) kita mesti tau kapan dipegang erat dan kapan diulur. ini yang perlu kita (termasuk aku) pelajari sebagai orang tua.

pernah denger juga sih bahwa untuk anak usia dini (0-5 tahun) ortu mesti strict menerapkan disiplin ke anak sebagai basic manner nya, tapi seiring perkembangan anak, menjadi teman diskusi bagi anak akan mempermudah memasukkan nilai2. CMIIW yaa

Rhisuka to be honest, jaman dulu, it was like i didn't have any choice jadi ya manut waee... Cuman seiring bertambah usia dan godaan: jadinya ya ngelawan walo ujung2nya gw harus teteup nurut..
Ada masa gw depresi (saat SMP-SMA) waktu itu dan ya untungnya bokap gw dia tipikal diem dan caranya ngebelain anaknya ya dengan wejangan2 singkat padat jelas dan bikin kita jadi mikir... Jadi, saat gw mau ngelakuin hal2 ekstrim buat nunjukin ketidaksenangan gw, ya gw akan berpikir dua kali... Bokap dulu selalu bilang: "mengalah aja karna mengalah ngga selalu berarti kalah kok..." etc etc...
Dan puncak pernah clash ama nyokap dan gw udah semakin melawan, bokap kirim surat (masih gaptek email doi hihihi) isinya ini (gw share ya karna gw selalu bawa quotes ini yg entah dia dapet dari mana):

When you change your thinking,
You change your beliefs.
When you change your beliefs,
You change your expectations.
When you change your expectations,
You change your attitude.

When you change your attitude,
You change your behaviour.
When you change your behaviour,
You change your performance.
When you change your performance,
You change your life!

Mmh, tapi kalo dipikir2 lagi, kenapa gw atau kakak gw ngga akan ngelawan secara ekstrim karna dasar agama udah lumayanlah pondasinya, jadi harus hormat dan sayang sama ortu dll... dan ya kita hanya bisa nunjukin ketidak setujuan kita dengan diem bahkan pernah ngga ngobrol lama (2 minggu apa yak?) hihihi...

tipikal orang chinese, parenting-nya memang sadis ;p

In My Honest Opinion, dibesarkan dengan cara tiger parenting, secara mental memang jadi tangguh tapi sebenarnya jauh di dalam saya rapuh.

Secara emosional, ada beberapa hal yang membuat saya memendam luka.

So, I think I won't nurture Darren with that parenting style ;)

Jadi teringat cara papa mendidik ketiga anaknya, walau tidak ekstrim seperti Amy Chua, namun ada beberapa hal yang membuat pada akhirnya saya dan adik-adik selalu merasa hormat kepada beliau dan tau kalau dulu yang dia lakukan itu memang pada akhirnya buat kita. Hehehe Tiger Daddy dong :p Pengalaman dulu sih karena tinggal di Sorowako, yang ga ada mall, ga ada tempat hiburan, jadi memang kegiatan sehari-hari selama sekolah ya hanya di sekolah dan di rumah saja.

Kejadian yang paling membekas di ingatan dan dulu membuat tanda tanya besar, waktu teman sekelas memberiku penggaris miliknya. Sampai dirumah, papa marah besar dan bilang "ngapain kamu terima, itu bukan punyamu, kalau kamu mau, papa bisa belikan itu buat kamu, ayo besok dikembalikan", nah kalau dari kasus ini, bisa berarti dua hal, pertama hal ini merupakan gengsi papa saya sebagai orang tua dan merasa mampu atau kedua hal ini merupakan penanaman ke mental saya bahwa tidak semudah itu mendapatkan barang dari orang lain.

Hal lain, ga boleh nonton TV, ga boleh pulang sebelum jam 4 sore (pernah pulang maghrib akhirnya dikunciin pintu dari dalam rumah, asli nangis kencang minta dibukain pintu, pernah dihukum dikunciin di dalam kamar mandi juga:p)

setuju banget sama mbak eka, jadinya saya waktu SMA, kuliah waktu ospek tahan mental deh :D dulu papa juga setiap ada kesalahan kecil, misal numpahin air, nyenggol meja, ga bersih, ga rapi, semua berakhir dengan teriakan beliau. Efek yang kurasakan sekarang sih, jadi tegas walau kadang pada akhirnya merasa terlalu keras ke ixia :( kayak kutipan "anak cerminan orang tua", jadi kadang kerasa flashback dengan peristiwa dulu, ga tau deh hal kayak gini baik atau ga, khususnya dari segi psikologis. Hiks, kadang takut salah juga mendidik ixia.

Kalau yang tentang FUN itu tadi, kalau baca dari artikel ini http://online.wsj.com/article/SB10001424052748704111504576059713528698754.html#articleTabs%3Darticle FUN menurut Amy Chua adalah dalam hal ini adalah musik.

Jadi menurutku, FUN yang dimaksud itu adalah bahwa kesenangan sesungguhnya itu akan datang dari sesuatu hal yang sudah benar-benar kau kuasai, walaupun hal itu dimulai dengan cara yang sangat ekstrim dan sampai titik darah penghabisan seperti yang dilalui Lulu. Tapi pada akhirnya, lulu sendiri yang merasakan efeknya.



Last, semua memang kembali ke kita masing-masing dan setuju juga kalau semua itu cocok-cocokan dengan sifat anak juga :D tagline TUM emang oke benjet deh "there is always a different story in every parenting style" :)

Udah lumayan lama selesai baca buku Amy Chua, yang ga sengaja nemu di periplus bandara waktu nunggu pesawat. Dari awal baca langsung ngerasa penasaran gimana endingnya.

Si Chua ini memang sangat terdoktrin oleh Chinese Parenting yang orang tuanya terapkan ke dia dan saudara kandungnya. Aku sempat amazing juga dengan parenting method Chinese people yang sepertinya sangat disiplin dan keras, bahkan kejam kadang2 (dari gambaran Chua dalam bukunya) tapi basicly itu semua karena mereka yakin akan rasa percayadiri pada anaknya. Sebagai ibu, Chua menaruh keyakinan terhadap kemampuan kedua putrinya.

Dari buku Outliers-Malcolm Gladwell juga diterangkan, mereka yang sukses itu rata2 karena hasil dari kerja keras, even Bill Gates pun tidak semata-mata karena dia anak orang kaya dia jadi sukses, tapi juga karena kerja kerasnya dalam belajar. Jadi metode hardwork Chua memang rasional.
Masalahnya, sejauh apa kita kuat mental memperlakukan anak-anak kita seperti itu :)

Chua punya 2 orang putri, dimana putri pertamanya sepertinya willingly menerima rules dari ibunya, tapi ceritanya agak lain dengan putri keduanya yang sering memberontak, sehingga Chua harus selalu menyiapkan trick2 untuk membujuknya. Yang mencengangkan adalah bagian ketika Lulu, putri keduanya, pada akhirnya merasa sangat terkekang dan stressful dengan tekanan ibunya. Masalahnya simple, sang Ibu tetap memaksanya bermain biola, sementara dia ingin bermain tenis (padahal menurutku, tenis pun masih kegiatan yang sangat positif untuk belajar ketahanan diri dalam menghadapi kompetisi). Sampai pada akhirnya Lulu mengungkapkan semua kekesalannya dan tercetus bahwa dia sangat membenci Chua.
Itulah titik Chua merasa gagal dalam mendidik dan menjadi tamparan keras baginya.

Akhirnya, yang bisa aku simpulkan adalah tekanan metode Chinese Parenting yang diterapkan kepada Lulu, akhirnya patah juga.
Dan kesimpulan Chua di akhir buku adalah, saat anak berusia 0-15 tahun, peran orang tualah untuk mengarahkan mereka, setelah itu biarkan anak sendiri yang memilih.

Sama seperti Rosalia, aku dan suami juga terkesan dengan film 3 idiots, yang ceritanya sangat berlawanan dengan prinsip Chua dalam bukunya.
IMHO, setiap anak punya karakter berbeda, pada akhirnya orang tualah yang semestinya memahami kondisi masing2 anak. Tapi memang belajar adalah sebuah proses dan penekanannya ada pada prosesnya, bukan hasil akhirnya.

Aku dan suami sepakat bahwa bagaimanapun sejak anak umur 0-17 tahun, pendidikan karakter, akademis, dan spiritual menjadi tanggung jawab orang tua untuk mengarahkan, setelahnya adalah implementasi good virtues oleh anak :)

sampe skarang masih blum baca bukunya,, :( masih baca2 di forum2 yang bahas tentang buku ini,,,
apapun yang dilakuin orang tua, kepada anaknya, cuman satu tujuannya untuk nyiapin anaknya jd orang yang berhasil,,
jd inget MIL (alm), beliau sangat strict terhadap anak2nya,, dari yang harus bangun pagi, pulang sekolah bantu jahit, klo ada pawai anak2nya jualan es, suami prna waktu SD nilai ulangannya 8 itu aja udah takut pulang,, tpi karena didikan beliau yang seperti itu, anak2nya semua bisa berhasil..
Di antara anak2nya walaupun keliatan patuh tapi ada juga yang mendam sakit hati karena pola asuh MIL tsb, jadi sampe skarang salah satu kakak ipar saya masih belum terima dulu dididik spt itu, padahal dia skarang jd orang yang berhasil terakir juga S3 nya ditempuh di jepang,, itu juga dengan hasil yang memuaskan nilainya,,
dimanapun orang tua tidak ada yang pernah punya niat jahat kepada anak2nya, ya kembali lagi smua itu dilakuin demi mengantarkan anaknya menjadi orang yang berhasil,, :)

ihihihi gegara sebelum ke Medan beberes lemari buku, aku bawa si Tiger Mother lagi ke medan buat baca selama liburan *yah, kan cuma ngulang lagi ya jadi bisalah disambil sambil ngurus krucils dan ramah tamah sama ortu* dan aku makin sukaaa bacanya. Menurutku buku itu fun banget dibaca, karena Amy Chua juga jujur ngasih tau respon anak-anaknya ya. Dan aku suka gambaran dia bahwa hubungannya dengan Lulu beda dengan Sophia, nunjukin juga hasilnya beda ke mereka berdua. Dan meski udah baca buat yang kedua kalinya, aku tetap mewek dong di banyak bagian. Bagian yang Amy merasa galaw saat tau Sophia semangat pulang ke rumah buat belajar yg bikin dia merasa seneng tapi di lain pihak juga merasa ini something wrong dengan anakku gak ya. Dan saat dia menemukan bahwa Sophia suka gigitin dasar piano, karena tegang pas belajar piano. Meski in the end si Sophia menikmati belajar pianonya. Entah kenapa aku malah merasa perasaan galaw si Amy juga ada saat dia menghadapi Lulu, tapi aku juga bisa merelate diriku ke dirinya. Dan yak, kemarin bukunya ketinggalan di Medan , aku mau minta mertuaku bawa pas dtg ke sini. Ih senengnya cuma nulis dan mengingat ingatnya aja aku udah seneng. This is a good book, bikin ketawa sekaligus terharu juga gitu, dan menertawakan diri sendiri sih kesindir sama omongan Amy tentang dirinya atau tentang opini dia ihihihi.

Baca buku ini lagi...Sophia paling mudah ditangani. Tapi Lulu, benar2 beda..

Pelajaran dari kisah ini lebih banyak di kisah2 Lulu.
Tapi anak2nya nggak ada yang trauma apa ya?

Wah, ada section bahas buku ini ya, telat bgt baru tauu hihi... BTW aku baca buku ini kok malah nangkep banyak bagian lucunya ya hehe, tp mau quote lupa, lagi ngga megang bukunya... Aku penasaran sama lanjutan ceritanya, gimana perkembangan lulu dan sophia skrg, karena cerita di bukunya kaya belum selesai gitu kan...