Berdamai dengan Diri Selama Karantina di Rumah

Febi Purnamasari A new mother of two who loves sharing whatever she has learned from seminars and books especially related to parenting issues. She’s now developing her career path as journalist for a national television. Belly-dancing is her hidden obsession.

Tak terasa, sudah tiga bulan kita menjalankan karantina #dirumahaja ya, Ma. Hal ini pun sudah menjadi kondisi new normal alias kehidupan baru di tengah pandemi virus corona. Kita harus banyak beradaptasi agar dapat melanjutkan rutinitas sehari-hari dan setiap orang tentu memiliki perjuangannya masing-masing.

Bagi saya, itu termasuk beradaptasi lagi dengan suami yang menjalankan keseharian 24/7 bersama saya di tengah ruang gerak terbatas. Belum lagi, kejenuhan yang terkadang menghampiri karena rekreasi di luar rumah belum bisa dilakukan. Jika kesulitan mengelola diri dengan baik, siapa saja menjadi rentan mengalami gangguan psikologis.

Meski begitu, sebenarnya banyak berkah yang bisa saya ambil dari situasi saat ini, seperti menjamurnya diskusi daring dengan ragam tema menarik yang bisa diikuti. Salah satunya, sebuah focus group discussion berjudul Limitless Living in Limited Times via Zoom yang diadakan oleh Corporate Community Training (CCT) Indonesia,  sebuah komunitas yang memberikan pelatihan bisnis dan workplace wellness. Diskusi tersebut dihadiri para peserta dari berbagai latar belakang: pekerja profesional, mahasiswa, sampai ibu rumah tangga seperti saya. Tak hanya pengalaman dan perasaan jujur selama menjalani karantina di rumah, kami juga saling bertukar tips menjadikan situasi saat ini kesempatan berharga untuk menjadi individu yang lebih berkembang lagi.

Saya rangkum beberapa tipsnya lalu saya coba kaitkan dengan kehidupan kita sebagai seorang istri dan ibu ya, Ma!

1. Identifikasi pemicu emosi negatif dalam diri. Entah itu marah, cemas, dan emosi negatif lainnya yang rentan terjadi selama menjalankan keseharian di rumah bersama orang-orang terdekat. Saya sendiri sedang belajar mengenalinya lewat gejala-gejala sebelum refleks emosi dominan saya, marah, muncul. Seperti rasa panas di dada, perasaan gemas, dan napas tidak karuan. Kalau sudah begitu, saya akan menyendiri dulu sembari minum air putih atau mandi. Saat itu, saya akan mengingat kembali peristiwa yang terjadi sebelum gejala-gejala marah muncul.

Misal, “Oh, sepertinya aku kelelahan, terus harus menghadapi polah si Kakak yang mengganggu adiknya.”

Dengan mengetahui penyebab emosi yang dialami, saya menjadi bisa memikirkan langkah selanjutnya seperti, “Kalau begitu, saya akan istirahat sebentar lalu ajak main si Kakak yang mungkin sedang membutuhkan perhatian ekstra.”

2. Cari hal-hal kecil yang bisa membuat diri semangat menjalani hari. Kalau saya sendiri, menikmati pemandangan dan menghirup udara segar pagi dapat membuat diri lebih optimis menjalani hari. Sementara, ada juga peserta diskusi yang mengungkapkan, mencium aroma kopi kesukaan sebelum memulai hari membuat dirinya lebih bersemangat.

3. Buat daftar syukur. Jangan lupa untuk mensyukuri hal-hal yang kita miliki saat ini sekecil apapun Mama bisa menulisnya dalam jurnal atau mengetiknya di ponsel. Semua tergantung kenyamanan Mama. Tuliskan hal-hal yang disyukuri secara spesifik, misal bisa unyel-unyel dengan para buah hati, punya waktu lebih untuk belajar hal baru, tetap bisa bersilaturahmi dengan orang-orang terdekat lewat teknologi, suami yang sibuk WFH pertanda Beliau masih diberikan nikmat memiliki pekerjaan, dan sebagainya.

4. Sampaikan langsung uneg-uneg dan hindari praduga. Terkadang, saya sering kali membuat praduga-praduga sendiri atas perilaku yang ditampilkan pasangan. Kondisi suami yang lebih sibuk daripada biasanya menuntut saya untuk bisa mengomunikasikan uneg-uneg secara langsung. Pasalnya, suami kalau sudah sibuk, responnya ala kadarnya, boro-boro peka dan bertanya ‘apa kabar’. Jika tidak, saya yang akan uring-uringan sendiri dan ini justru akan berdampak pada suasana hati saya. Jika Mama kesusahan menyampaikan keluhan secara verbal, komunikasi secara tertulis seperti lewat catatan kecil atau WhatsApp bisa menjadi pilihan.

5. Jaga jarak ketika marah. Ketika hidup dengan orang lain selama2 4/7 sekalipun dengan pasangan, pasti ada konfliknya. Saya sendiri harus beradaptasi lagi dengan kehadiran suami yang standar hidupnya berbeda dengan saya. Beliau orangnya sangat rapi dan bersih, sementara saya sendiri lebih bisa beradaptasi dengan kondisi yang agak berantakan. Belum lagi, ketika anak-anak menyebabkan tumpahan atau bila si Adik mengompol saat tidur, suasana hati suami mudah sekali berubah. Ketika saya dan suami sama-sama frustrasi karena perbedaan standar kenyamanan, kami pun menerapkan prosedur “jaga jarak” dan silent mode agar terhindar dari perilaku yang menyakiti hati satu sama lain.

6. Berbaik hati pada diri sendiri. Di situasi saat ini, kita rentan down lantaran mengkhawatirkan banyak hal. Karena itulah, sadar akan kebutuhan diri sendiri menjadi sangat penting diterapkan. Hindari pula upaya memaksakan diri. Ketika tubuh memberikan sinyal-sinyal kelelahan atau emosi negatif mudah terpancing, sudah saatnya untuk beristirahat, mencari hiburan, atau menceritakan masalah yang mengganggu pikiran. Tubuh yang lelah perlu beristirahat dan emosi negatif perlu disalurkan agar jiwa raga tetap sehat.

Selain itu, latih diri untuk tahu saatnya memulai dan berhenti juga waktunya menolak dan menyanggupi.

7. Ubah cara pandang mengenai produktivitas. Produktivitas enggak hanya diukur dengan waktu yang dikerahkan untuk menghasilkan karya atau uang, kok. Upaya menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci baju, mencuci piring, bersih-bersih juga berkegiatan sepenuh hati dengan anak termasuk produktivitas buat saya. Dengan begitu, sekarang saya menjadi lebih mudah terhindar dari perasaan belum ngapa-ngapain seharian. Menurut saya, cara pandang mengenai produktivitas ini penting agar setiap harinya saya mengalami perasaan telah mencapai sesuatu, salah satu kebutuhan dasar manusia.

Tak lupa, jangan jadikan produktivitas sebagai kompetisi ya, Ma. Tiap orang punya kriteria, kecepatan, dan kemampuannya masing-masing.

8. Tentukan prioritas: ingin emosi lebih stabil dulu atau meningkatkan produktivitas? Apapun pilihan Mama, itulah keputusan terbaik untukmu karena setiap orang memiliki keunikan masing-masing. Tak ada benar atau salah mengenai hal yang perlu diprioritaskan.

Ketika diri sedang merasa bosan atau capek sehingga ingin menggunakan sebagian besar waktu senggang untuk rebahan saja, dengarkan saja alarm tubuhmu, Mama. Ini adalah upaya menstabilkan emosi agar nantinya diri bisa siap produktif lagi.

Mau mengingatkan lagi, jangan membandingkan produktivitasmu dengan orang lain apalagi dengan mengacu pada aktivitas media sosial. Hati-hati dengan prasangka. Ketika sudah mulai berprasangka dan timbul rasa iri usai melihat aktivitas atau pencapaian orang lain, mungkin sudah saatnya kita jeda sampai siap membuka media sosial lagi. Hal yang perlu kita ingat, tiap individu berhak melakukan hal-hal yang membuat diri senang, termasuk kita, asalkan tidak menyakiti orang lain. Selain itu, tiap orang punya level kestabilan emosi yang berbeda-beda. Jadi, anggap perbedaan ini sebagai keunikan manusia.

9. Biarkan dirimu merasa bosan. Ini berkaitan dengan poin nomor enam. Kalau kita lagi bosan atau marah yang berujung bad mood lalu rasanya ingin rebahan saja, enggak apa-apa, kok. Saya jadi belajar bahwa masyarakat kita sebelumnya hanya mendorong individu untuk mengakui dan menghargai perasaan-perasaan positif saja, namun tidak berlaku bagi perasaan negatif. Padahal, emosi negatif perlu diidentifikasi dan diterima agar pengelolaan diri kita bisa lebih baik, bahkan lebih termotivasi lagi. Bahkan, ide-ide baru bisa muncul berawal dari kebosanan, lho.

10. Cari tempat aman untuk berkeluh-kesah. Ini bisa melalui apa saja dan siapa saja. Jika pasangan adalah teman terbaik untuk berkeluh-kesah, teruslah membangun komunikasi positif dan hubungan yang baik dengannya. Kalau support system belum bisa memberikan bantuan, coba cari komunitas-komunitas daring yang bisa menjadi tempat aman bagi Mama untuk bertukar cerita mengenai situasi sulit yang dihadapi. Hal positif dari komunitas daring seperti CCT Indonesia ini, saya belajar untuk speak up juga mendengarkan ragam perspektif orang lain tanpa perasaan takut dihakimi. Ini karena peserta yang mengikuti sesi diskusi punya tujuan untuk saling mendukung dan berkembang.

(Dok. Pixabay)

Harapannya ragam tips di atas dapat membantu kita berdamai dengan diri sendiri maupun new normal di tengah pandemi ini. Semangat, Ma!

0 Comments