Berkenalan dengan Gangguan Kecemasan Berlebih (Anxiety Disorder)

Seperti biasa selepas makan malam, saya dan suami menemani anak-anak membaca buku. Saat itu, suami mengeluhkan perut kembung. Awalnya dipikir masuk angin saja, karena memang suami baru pulang dari dinas luar kota. Satu jam kemudian, ia berkata “Mah, tolong antar aku ke UGD, sekarang”.

Langsung saya menyiapkan mobil. Suami bersikeras menyetir ke rumah sakit yang jaraknya tidak sampai 2km dari rumah. Saya tidak berani menanyakan apa keluhannya, saya hanya melihat ia menahan sakit.

Sesampainya di RS, suami langsung ditangani. Saya tidak bisa masuk bilik-bilik UGD karena membawa balita. Suster menyampaikan bahwa tekanan darah suami tinggi. Meski keluhannya seperti penyakit jantung, kabar baiknya hasil EKG menjelaskan jantungnya baik-baik saja. Setelah keluhan berkurang, kami pun kembali ke rumah sekitar tengah malam.

Esoknya suami menjelaskan bahwa ia kemarin merasakan perut kembung, mual, sesak napas hingga pusing. Serangan jantung, itu yang awalnya ia pikirkan. Untuk memastikan kondisi suami, kami pun menemui berbagai macam dokter, dari spesialis jantung hingga penyakit dalam. Butuh waktu lebih dari 1 bulan untuk melakukan pengecekkan medis demi penegakan diagnosis. Beberapa assessment dilakukan antara lain : Pemasangan EKG 24 jam (cek jantung), rontgen thorax (cek paru), endoskopi (cek lambung), MRI kepala (cek otak). Semua dokter menyatakan kondisi fisik suami saya normal. Kami pun bingung.

Semenjak kejadian malam itu, suami terkesan lebih “rapuh”. Sedikit keluhan membuat dia tidak bisa tidur semalaman. Ia ingin selalu ditemani karena merasa respon badannya bisa berubah signifikan sewaktu-waktu. Ada kalanya ia segar bugar, namun sejam kemudian dada berdebar dan keringat dingin muncul.

Naluri saya mengatakan badan suami mungkin memang tidak sakit, namun tampaknya ada masalah di pikirannya. Suami memutuskan menemui psikiater. Konsultasi pun dilakukan mendalam, dan berakhir dengan diagnosis: anxiety disorder.

Berikut beberapa kutipan penjelasan mengenai anxiety disorders yang saya baca di web:

Anxiety disorders are a group of mental illnesses, and the distress they cause can keep you from carrying on with your life normally. For people who have one, worry and fear are constant and overwhelming, and can be disabling. (webmd.com)

Anxiety disorders are real, serious medical conditions - just as real and serious as physical disorders such as heart disease or diabetes. Anxiety disorders are the most common and pervasive mental disorders in the United States.

The term "anxiety disorder" refers to specific psychiatric disorders that involve extreme fear or worry, and includes generalized anxiety disorder (GAD),  panic disorder and panic attacks, agoraphobia, social anxiety disorder, selective mutism, separation anxiety, and specific phobias. (adaa.org)

 

(Gambar: www.pexels.com)

Menurut psikiater, yang terjadi pada suami saya termasuk dalam golongan panic attack, di mana saat serangan kecemasan itu datang akan memicu badan memberikan sinyal-sinyal antara lain kenaikan asam lambung (GERD), sesak napas, jantung berdebar kencang, keringat dingin, dan sebagainya. Gejala psikosomatis ini bisa jadi berbeda pada setiap orang.

Pada awalnya sulit untuk meyakini dan menerima bahwa hal ini terjadi pada suami, karena kami berdua pun masih awam dengan istilah panic attack.  Kami mencari tahu lewat internet dan menemukan bahwa ternyata gangguan ini dialami oleh banyak orang. Sebagian dari mereka sudah tahu apa yang terjadi pada mereka. Sementara sebagian lain masih bertanya-tanya, bahkan ada juga yang mengalami ini dalam tingkatan cukup parah seperti tidak berani keluar rumah, hingga dihantui rasa “akan mati”. Bagi orang yang belum dapat menangani gejala-gejalanya, hal ini berpotensi mengganggu aktivitas sehari-hari.

Pada kasus suami saya, setelah kasus pertama di UGD, gejala psikosomatis dapat timbul sewaktu-waktu tanpa sebab khusus yang berarti. Suami telat sarapan, maka asam lambung naik, lalu memicu gejala lainnya. Bahkan tidak bisa tidur atau begadang sedikit saja bisa membuat suami “terserang”.

Kami bersyukur dan merasa beruntung telah bertemu dengan psikiater yang dapat menjelaskan hal ini pada kami berdua secara gamblang. Suami saya melakukan konseling rutin untuk meringankan gejala dan mendapat pengobatan. Saya pun ikut sesi konseling terpisah karena saya adalah support system terdekat yang suami miliki.

Sudah sekitar empat bulan kami berkutat dengan gangguan ini. Menurut psikiater, panic attack ini bisa disembuhkan, namun memang butuh waktu. Beberapa hal yang suami lakukan untuk menghindari dan menghadapi panic attack ini antara lain :

1. Ekspresikan emosi
Tidak mengabaikan emosi akan membantu tubuh beradaptasi. Jika ada stimulasi emosi sedih atau marah, badan dan pikiran disiapkan untuk mengakui dan menerima “Ya, saya sedih” dan “Ya, saya marah”. Setelah itu ekspresikan perasaan tersebut, bisa dengan cara curhat, menulis, dan sebagainya. Intinya, perasaan sedih, marah, takut bukan untuk ditolak.

2. Berpikiran positif dan bersyukur atas hal hal kecil
Sejatinya semesta akan mendukung apa yang kita yakini. Jika perlu, buat catatan berisi “apa yang membuatmu senang hari ini”

3. Mencoba fokus hanya pada kejadian sekarang
Tidak berpikir terlalu panjang merupakan salah satu cara mengurangi rasa cemas. Katakan “STOP” pada otak ketika pikiran mulai meminta banyak pertimbangan akan masa depan.

4. Melakukan hobi untuk membuat pikiran senang dan segar kembali

5. Olahraga teratur
Olahraga akan membuat badan serta pikiran menjadi segar. Kebetulan suami saya suka berenang dan memanah. Kedua hal ini sangat membantunya sebagai terapi pikiran, sarana refreshing dan mengendalikan fokus pikiran.

6. Menghindari makanan pemicu asam lambung, seperti makanan pedas, asam, terlalu berlemak, dan sejenisnya.
 
7. Selalu membawa makanan dan minuman kemanapun pergi
Penderita anxiety disorder biasanya mengalami metabolisme tubuh yang sangat cepat. Lambung dengan cepat mencerna makanan sehingga lebih cepat kosong juga. Kekosongan lambung akan memicu asam lambung naik. Jika dibiarkan, ini dapat mengirimkan sinyal panik lagi ke otak. Makanan ringan seperti biskuit atau minuman oat siap seduh dapat menjadi referensi agar dapat dikonsumsi sewaktu-waktu.

8. Mencari bantuan, bisa kepada pasangan, keluarga, psikolog, maupun ke psikiater.

9. Meminum obat secara teratur
Apabila sudah mendapatkan psikiater yang cocok, mereka akan meresepkan obat jika diperlukan. Konsultasikan setiap jenis obat yang diminum, baik dari jenis, dosis hingga indikasi ketidakcocokan dengan tubuh. Jangan hentikan pengobatan tiba-tiba tanpa konsultasi dokter.

Kebetulan suami saya pernah mengalami limbung parah setelah pergantian obat. Ternyata tubuhnya tidak bisa menerima dosis awal. Akhirnya dokter mengurangi dosis obat sampai separuhnya. Namun harap diperhatikan bahwa kejadian seperti ini sangat case by case.

Setelah melakukan konseling, menuruti saran dokter dan mengonsumsi obat, suami saya merasa jauh lebih baik. Ia mulai dapat beradaptasi dengan kondisi badannya, sehingga gejala yang dialami tidak separah dulu. Semakin kesini pun rasa cemas dan takut dapat dikendalikan. Kami yakin, progress-nya kontinu dan dapat lepas dari obat.

Sebenarnya masih panjang dan masih banyak lagi yang ingin diceritakan, seperti mengapa kondisi ini bisa muncul menyerang, bagaimana membantu penderita keluar dari “lingkaran anxiety”, dan sebagainya. Mungkin nanti di artikel berikutnya ya, Urban Mama. Harapannya, tulisan ini dapat membuka mata kita semua bahwa gangguan seperti ini biasa terjadi dan semoga dapat menyemangati orang di luar sana yang mungkin membutuhkan.

7 Comments

  1. avatar
    Ryan Richardo April 18, 2020 11:10 am

    Skrg sma psikiater konsumsi obat apa ya bu?

    1. avatar

      As .



  2. avatar
    happy trivina January 31, 2020 12:31 pm

    saya juga pernah kena panic attack, jantung berdebar kaya mau copot, rasanya kaya mau mati. setelah ditelaah ama dokter internis, panic attack sy akibat dari gangguan hipertiroid. stlh pengobatan, mulai membaik. uda 2 thn sy tidak makan obat hipertiroid lagi. karna dinyatakan uda remisi. moga ga kena lagi.

    1. avatar

      As .



  3. avatar
    Ria Rahmayanti January 14, 2020 4:09 pm

    Hai mba Liana
    Hal ini saya alami juga pada suami saya ingat sekali ketika anak saya berumur 6 bulan saat serangan panik itu datang pertama kali..
    sama persis dg yg mba liana alami saya bisa antar suami say abolak balik ke UGD di tengah malam dan periksa sana sini jantung dll tapi hasilnya alhamdulilah normal.
    lalu pada suatu kesimpulan bahwa itu pikiran..
    pikiran yang tidak perlu dipikirkan saat ini tapi dipikirkan..
    akhirnya pulih dg sendirinya dikala datang lagi dia bisa mengontrol emosi dan kepanikannya.
    sampai saya merasakan hal yg sama beberapa bulan yg lalu rasanya memang seperti serangan jantung dan mau mati mba hehehhe
    disitu jadi suami saya yang metreatment saya hehhe
    alhamdulilah sampai sekarang tidak pernah mendapatkan serangan itu lagi..
    yang penting dukungan lingkungan, dan ikhlas serta bersyukur benar sekali..
    cepet membaik ya mbaa buat suami..semangat!

    1. avatar

      As .



  4. avatar
    Bubid Anggie September 22, 2019 7:22 pm

    anxiety disorder ini bisa bahaya banget kalau dibiarin terus menerus. kalau udah merasa ada gejala langsung aja periksa ke psikolog/psikiater ya mommy2 sekalian.

    1. avatar

      As .



  5. avatar
    Kirana Renjana September 9, 2019 9:03 pm

    Kecemasan berlebih ini kerap kali tak disadari oleh penderita ataupun keluarga. Biasanya cuma dicap, lebay. Padahal bisa banget disembuhkan kalau kita tahu caranya.

    1. avatar

      As .