Anak pertamaku, laki-laki, 3 yo, banyak disebut orang sebagai anak yang hyperaktif.
Kenapa?, karena dia jaraaaang banget bisa duduk diam, bahkan dalam hitungan <5 menitpun. Baik mulut, tangan, dan kakinya selalu aktif ngomong dan ngoprek semua barang di rumah, bongkar2 mainan dan perabot sampai banyak yang rusak karena dioprek dia, loncat-loncat dari kursi/meja, lari kesana-kemari, dan tidak ketinggalan manjat sana-manjat sini. Mamah mertua sampai tiap hari pusing dibuatnya.
But, deep down in my heart, aku tidak pernah melabelinya sebagai anak yang hyperaktive, aku lebih senang menyebutnya sebagai anak yang super-aktive. Dari beberapa sumber yang kubaca dan aku sefahami (krn definisi anak hyperaktive dari beberapa sumber ternyata berbeda-beda), label hyperaktive ini baru bisa diberikan ke anak kalau usianya sdh >7 thn (sudah masuk usia SD), dan belum bisa duduk manis dan konsentrasi mengikuti pelajaran di kelasnya
Kebetulan anakku termasuk yang telat bicaranya. Karena telat ngomong+sangat aktif ini, waktu dia kami bawa ke dsa untuk konsultasi, (waktu itu usianya 2,5 tahun), dia pernah divonis ASD (autism spectrum disorder). Padahal hanya dengan sesi wawancara 30 menit dengan suamiku (aku nggak ikut waktu itu) dan tanpa interaksi langsung dengan anakku karena dia malah tertidur karena kelamaan mengantri . Suamiku syok banget waktu itu, tapi alhamdulillah aku tenang-tenang saja karena feelingku anakku bukanlah seperti yang dibilang pak dokter tersebut. Mungkin ada yang menyebutku denial, tapi aku yang mengasuhnya 24 jam sehari, aku sudah banyak membaca banyak literatur, dan di rumah ada iparku yang juga menderita autisme nonverbal, insyaAllah feelingku tidak salah.
Beberapa bulan lalu, menuruti saran dokter, anakku kami masukkan ke tempat speech therapy di Bandung. Disana tahapan yang harus dilaluinya adalah behaviour therapy dulu sebelum masuk speech therapy. Disini anak diajarkan agar mau duduk manis untuk selanjutnya diajari bermain puzzle, warna, sedikit2 kosakata dll. Speech therapy baru akan diberikan ketika si anak sudah bisa duduk manis. Jadi walaupun sudah setahun therapy kalau si anak belum bisa duduk manis, belum akan naik ke speech theraphy.
Aku hanya mengikutkan anakku behaviour therapy ini 6 bulan saja. Setelah kusadari bahwa bentuk keaktivan anakku adalah caranya belajar ini-itu. Aku merasa tidak perlu meredam keaktivannya dengan therapy segala rupa. Aku yakin, akan ada saatnya nanti seiring dengan bertambahnya usianya dimana dia akan bisa duduk manis dan berkonsentrasi mendengarkan pelajaran dari gurunya.
Kebetulan aku juga punya sepupu yang seaktive anakku, dan toh setelah besar dia bisa juga jadi anak yang kalem dan prestasi sekolahnyapun bagus (dia masuk PTN tahun ini)
Oya, untuk mama yang anak balitanya nya sangat aktif dan telat bicara (speech delay/late talker), bisa juga membaca buku "Anakku Terlambat Bicara - Anak Berbakat dengan Disinkronitas Perkembangan: Memahami dan Mengasuhnya, Membedakannya dengan Autisme, ADHD, dan Permasalahan Gangguan Belajar" karangan Julia Maria van Tiel, supaya tidak mudah panik kalau anaknya divonis autisme atau anak yang hyper-aktive. Sebab ternyata, kasus salah vonis ini lumayan banyak juga terjadi di indonesia.