Halo all, saya pengen share sedikit tapi lebih sehubungan posting pertama di thread ini yang 2010. Sorry panjang, karena ini (istri mengorbankan karir demi anak) termasuk isu yang sering saya diskusikan dengan teman dan suami.
Share dari yang aku baca baca di artikel artikel, di Eropa, di mana daycare apalagi nanny harganya mahal sekali, setiap pasangan kelas menengah yang akan punya anak akan harus duduk bersama dan bicara, siapa yang akan jadi breadwinner dan siapa yang akan kerja part time. Atau mungkinkah keduanya part time.
Pada akhirnya, meskipun gender equality di Eropa sudah lebih maju, tetap saja kebanyakan yang memilih part time adalah yang perempuan. Akibatnya, rasio perempuan dan laki laki yang memegang jabatan CEO atau profesor di universitas bisa lumayan jauh. Dalam hal ini, perempuan di Indonesia masih jauh lebih beruntung karena masih bisa pursue career sampai cukup jauh karena live-in nanny dan daycare masih bisa dijangkau oleh kelas menengah.
Saya pernah diskusi hal ini dengan teman asal Swiss. Dia bilang di Swiss pun rata rata, perempuannya yang akhirnya memutuskan part time atau stay at home. Biarpun emansipasi sudah lebih dulu di Eropa, tetap saja stay at home dad belum jadi hal yang lazim di sana, kata dia begitu. Tetapi ada satu teman dia yang memutuskan jadi stay at home dad karena mereka memutuskan bahwa istrinya yang akan pursue career sebagai dokter bedah.
Di Indonesia, jarang ada laki laki yang bisa cukup progresif dan bisa menerima kalau karir istrinya mungkin lebih moncer. Tapi ada satu temanku, pria Indonesia yang sedang menempuh PhD di Skotlandia dan dia bilang dia beneran duduk diskusi dengan istrinya yang orang Yunani yang sudah tenure profesor di universitas di Skotlandia, dan mereka memutuskan daycare dikombinasi peran ayah yang lebih banyak dan hands on, karena sang istri sudah tenure professor. Dan sama sekali bukan berarti sang ibu tidak berat dan tidak sayang.
Temanku sempat meninggalkan anak di Indonesia, dititipkan ke ibunya dan suaminya untuk menyelesaikan PhD. Saya tahu betul nangis darahnya dia. Tapi suaminya tidak mau "ikut istri" ke Belanda sambil bawa anak, meskipun dia mau aja sih mengurus anak di Indonesia dengan dibantu mertuanya. Sekarang dia sudah kembali ke Indonesia dan hubungannya dengan anaknya sangat baik.
Saya sendiri, karir suami saat ini sedang moncer, jadi saya mengalah kalau dia lebih sibuk bekerja dan, menurut saya, kurang dekat sama anak. Tapi saya sudah menegaskan, tidak bisa begini terus. Buat saya, laki laki zaman sekarang sudah tidak bisa lagi lebih mementingkan kerja daripada nemenin anak main dan berharap mamanya dan nanny yang handle semua tanpa rasa bersalah. Saya ingin dia juga dekat sama anak saya, dan ga pakai alasan, aku kan kerja cape dan lain lain. Maaf ya, meski dibantu nanny, perempuan bekerja dan ngurus anak sepulang kerja itu capek loh, meski ada kepuasan batin. Dan ga bisa juga laki laki bilang, kerjaan dia lebih penting dari anak, meski dia presiden sekalipun. Bahwa dia, misalnya, minta waktu 5 tahun untuk konsentrasi pada pekerjaan, OK, tapi he would have to make up for the lost days loh, itu kalau menurut saya.
Saya bilang pada suami, karir saya sekarang sedang saya "hold" dalam arti saya tidak ambil tanggung jawab besar (untungnya kantor paham dan cukup family friendly), tapi entahlah, mungkin beberapa tahun lagi, karir saya melesat, dan giliran saya dong hehehe.